Abu Mihjan Ats-Tsaqafi (رضي الله تعالى عنه) adalah sahabat Nabi (ﷺ). Dia adalah seorang pecandu alkohol. Dan subhanallah dia bahkan biasa menulis puisi tentang khamrnya. Dan salah satu hal dalam wasiatnya kepada anak-anaknya, dia berkata, “Jika aku mati, aku ingin kalian merendam kuburanku dengan khamr agar tulangku bisa menyerapnya.”
Bicara tentang seorang pecandu, bahkan dalam wasiatnya. Ketika dia menjadi seorang Muslim, dia sangat kesulitan membuang kebiasaan minumnya. Dan subhanallah dia hadir dalam pertempuran dengan Nabi (ﷺ), dia bersama kaum Muslimin, tapi dia secara rutin akan dicambuk karena dia selalu ketahuan sedang mabuk.
Dan ini adalah sesuatu yang terus berlanjut bahkan pada zaman Khilafah Abu Bakar (رضي الله عنه), bahkan ketika dia sudah berusia senja pada kekhalifahan Umar bin Khattab (رضي الله عنه). Kemudian pada kekhilafahan Umar bin Khattab (رضي الله تعالى عنه), saat kaum Muslim berperang dengan bangsa Persia dalam pertempuran Qadisiyyah, bertempur melawan penindasan Kisra, bahkan membebaskan orang-orang Persia dari penguasa mereka, dari kaisar mereka, dia masih saja mabuk.
Sa’ad bin Abu Waqqas (رضي الله عنه) adalah komandan pasukan Muslim, dia mencambuk Abu Mihjan lagi. Dan kemudian ketika pertempuran Qadisiyyah dimulai, tahukah Anda apa hukuman Abu Mihjan (رضي الله تعالى عنه)?
“Kau akan diikat, sementara kami bertarung dalam pertempuran Qadisiyyah.”
“Kau tidak bisa keluar dan berperang melawan Persia dan melayani umat.”
Abu Mihjan menangis… dan menangis… dan menangis… dan dia memohon Sa’ad (رضي الله تعالى عنه), “Jangan melarangku dari melayani Allah. Aku tahu aku bersalah. Beri aku kesempatan lagi. Jangan melarangku untuk melayani Allah. Aku tahu aku bermasalah dengan khamr, tapi jangan melarangku untuk melayani Allah (سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى).”
Beberapa dari Anda kecanduan pornografi, beberapa dari Anda sering melakukan dosa, tapi Anda tetap mencintai Allah (سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى), Anda mencintai Rasul (ﷺ), tapi masalahnya adalah Anda tidak menjadikan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya kekuatan untuk menjauh dari dosa itu.
Itu tidak berarti Anda tidak mencintai Allah dan Rasul-Nya. Tetapi Anda perlu menghentikan kebiasaan itu, Anda harus menyingkirkannya. Itu adalah i’ttiba’ yang Allah inginkan dari Anda, mengikuti apa yang Allah inginkan dari Anda.
Lalu Sa’ad (رضي الله عنه) berkata, “Dengar, aku tidak bisa berurusan denganmu lagi. Aku akan kembali setelah pertempuran Qadisiyyah.”
Maka dia mengikat Abu Mihjan di sebuah ruangan tepat di sebelah rumahnya. Dan ketika dia berangkat ke pertempuran Qadisiyyah, istri Sa’ad (رضي الله عنه), Salma (رضي الله تعالى عنها), dia mendengar Abu Mihjan menangis dengan kerasnya.
Dia berpikir bahwa sesuatu terjadi padanya. Maka dia berlari ke ruangan itu untuk melihat apa yang terjadi dengan Abu Mihjan (رضي الله تعالى عنه) dan dia berkata, “Ada apa?”
Dan Abu Mihjan mulai berkata lagi, (لا تحرمني من خدمة الله)
“Jangan melarangku dari melayani Allah (سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى). Biarkan aku pergi dan bertarung dengan mereka.”
Salma said, Salma berkata, “Bagaimana aku bisa membiarkanmu pergi bertarung?”
“Suamiku komandan pasukan Muslim, dia mengikatmu, apa yang bisa meyakinkanku bahwa engkau akan kembali?”
Lalu dia berkata, “Aku bersumpah demi Allah jika kau membiarkanku pergi, aku akan menutup wajahku, aku akan bertarung dalam pertempuran Qadisiyyah, aku akan datang kembali, aku akan mengikat diri kembali, dan aku tidak akan pernah memberitahu siapapun apa yang aku lakukan.”
Salma percaya padanya. Dia melihat keikhlasannya dan itu adalah firasat seorang Mu’min. Dia bisa melihat kebenaran dari apa yang Abu Mihjan katakan, jadi Salma membebaskan Abu Mihjan.
Abu Mihjan pergi ke pertempuran Qadisiyyah, dia membungkus wajahnya dan dia bertempur dengan gagah berani, sampai saat Sa’ad (رضي الله عنه) menyaksikan pertempuran, dia bertanya-tanya siapa pria ini.
Dan setelah pertempuran berakhir Sa’ad (رضي الله عنه) berkumpul dan dia berkata, “Di mana prajurit yang wajahnya ditutupi?”
“Di mana dia?”
“Sehingga kita bisa memujinya dan memberinya hadiah, mendo’akannya.”
Tidak ada yang maju. Sa’ad (رضي الله عنه) bingung, “Siapa pria itu?”
Abu Mihjan kembali ke Salma, dia mengikat dirinya kembali, dan dia tidak pernah memberitahu siapapun. Sa’ad (رضي الله عنه) kembali dari pertempuran Qadisiyyah dan dia kembali ke istrinya. “Saat kami di pertempuran Qadisiyyah…”
Dan dia berkata, “Ada seorang pria tetapi wajahnya ditutupi. Dan dia bertempur dengan gagah berani. Dan ketika aku bertanya kepada orang-orang siapa dia, tidak ada yang maju.”
Lalu Salma berkata, “Kau ingin tahu siapa dia?”
“Dia adalah tahananmu, Abu Mihjan.”
Sa’ad (رضي الله عنه) sangat terkejut. Dia berkata, “Bagaimana dia bisa pergi? Aku mengikatnya.”
Salma berkata, “Aku membiarkannya pergi dan dia kembali.”
Kemudian Sa’ad (رضي الله عنه) menemui Abu Mihjan dan dia terengah-engah, dan dia terluka di sekujur tubuhnya. Kemudian Sa’ad (رضي الله عنه) mulai menangis dan dia memeluk Abu Mihjan, dan dia berkata di telinga Abu Mihjan, dia berkata, “Wallahi, aku tidak akan pernah memarahimu lagi, meskipun engkau meminum khamr, setelah tindakanmu ini.”
Dan tentu saja dia mengatakan ini sebagai sebuah ekspresi, “Aku tidak bisa mencambukmu lagi.”
Abu Mihjan menangis dan dia berkata, “Ya Sa’ad, wallahi, aku tidak akan pernah kembali meminum alkohol lagi.”
Dan dia tidak pernah melakukannya. Mengapa? Karena dia menyadari bahwa ada ‘sebab’ yang lebih besar dari dirinya sendiri.
“Aku tidak punya waktu untuk khamr dan dosa-dosa dan hal-hal sepele dalam hidup.”
“Aku punya ummah yang memiliki harapan besar terhadapku.”
Dan kita sebagai ummah, Allah (عَزَّ وَجَلَ) memiliki harapan akan kita.