Pelangi memang indah. Musisi A.T. Mahmud sampai mengekspresikannya dalam sebuah lagu. Judulnya sama: Pelangi. Tapi sejak Gilbert Baker merancang bendera Pelangi untuk merefleksikan keragaman LGBT, pelangi jadi tak indah lagi.
Pelangi ciptaan Tuhan masih indah dan alami. Pelangi buatan Baker tidak indah dan tidak islami.
Melampiaskan syahwat kepada sesama lelaki bukanlah sesuatu yang indah. Tapi sebuah perbuatan yang keji (QS Al-A’raf 7:80-81).
Wa luuthon idz qoola liqowmihii ata’tuunal faahisyata maa sabaqokum bihaa min ahadin minal ‘aalamiin. Dan Kami telah mengutus Luth. Ketika dia berkata kepada kaumnya, “Mengapa kamu melakukan perbuatan keji, yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun sebelum kamu di dunia ini.”
Innakum lata’tuunarrijaala syahwatan min duuninnisaa-i bal antum qowmun musrifuun. Sungguh, kamu telah melampiaskan syahwatmu kepada sesama lelaki. Bukan kepada perempuan. Kamu benar-benar kaum yang melampaui batas.
Ayat ini merupakan penggambaran (depiction) Alquran terhadap homoseksualitas (homosexuality). Masalah yang sudah ada di jaman old. Yang juga menjadi masalah kontemporer di jaman now.
Ada aturan dan prinsip umum (general rule and principle) terkait masalah ini.
Pertama, Allah telah menetapkan masalah ini sebagai sebuah kekejian (abomination). Sesuatu yang sangat dibenci. Allah menggambarkan masalah ini sebagai sebuah kesalahan mendasar (fundamental wrongs) dalam masyarakat.
Kedua, surah Al-A’raf berkaitan dengan fahsyaa’. Perbuatan-perbuatan yang keji. Dan ayat ini adalah kelanjutan dari topik itu. Di ayat sebelumnya, ada kisah Nabi Shalih yang meninggalkan kaumnya. Setelah mereka bergelimpangan ditimpa gempa. Karena mereka angkuh terhadap perintah Allah. Malah berbuat lebih parah: menantang Nabi Shalih untuk membuktikan ancamannya. Berarti jelas bahwa homoseksualitas tidak akan pernah diterima oleh ajaran Islam.
Ketiga, hukuman atas homoseksualitas pernah dijatuhkan oleh seorang kepala negara seperti Umar radhiyallahu ‘anhu. Tapi hukuman seperti itu tidak mewakili syari’ah. Kepala negara bisa mengambil inisiatif untuk menetapkan hukuman terhadap pelaku homoseksualitas. Karena dia punya executive power. Tapi itu bukan merupakan bagian dari agama. Kebijakan di masa Umar radhiyallahu ‘anhu, kita menerima dan menghormatinya, tapi kita tidak bisa mengatakan bahwa itu adalah kebijakan Islam. Pintu-pintu terbuka untuk konseling dan rehabilitasi. Terlebih ketika kita melihatnya sebagai suatu penyakit.
American Psychological Association menyatakan bahwa homoseksualitas adalah sebuah penyakit genetik (genetic disease).
Berbagai institusi dari Barat tidak hanya melakukan riset terhadap masalah ini. Tapi juga meneliti siapa yang membiayai riset-riset terhadap masalah ini. Keduanya sama pentingnya. Apakah riset itu dibiayai oleh sebuah perusahaan farmasi? Apakah riset itu dibiayai oleh sebuah lembaga psikologi?
Ada kelompok minat (interest group) yang ingin mendorong hasil riset ke arah tertentu.
Institusi yang melakukan riset bisa saja adalah sebuah institusi yang memiliki reputasi yang baik (reputable institution). Tapi hasil risetnya tetap saja belum tentu tidak bias.
Sifat tak tahu malu (shamelessness) menjadi lebih terbuka. Didorong oleh media yang modern. Orang makin mudah mengakses informasi. Semua penyakit yang berasal dari sifat tak tahu malu jadi merajalela (rampant) di masyarakat.
Sifat tak tahu malu itu sudah ada sejak dulu. Di masyarakat manapun. Tapi di jaman old belum ada alat yang membuat informasi ketidaktahumaluan itu tersebar. Masyarakat jaman old tidak bisa mengakses informasi seperti kita yang hidup di jaman now.
Internet tidak hanya menyebarkan informasi yang bermanfaat (beneficial) tapi juga berbahaya (harmful) buat masyarakat. Kotoran (filth) seperti pornografi dan homoseksualitas adalah industri bernilai triliunan rupiah (multi-billion dollar industry). Industri ini telah menjadi sebuah perekonomian tersendiri. Kita tidak sedang menghadapi sebuah pertempuran yang kecil.
Di bangku perkuliahan ada yang namanya media psychology. Seorang profesor dari Inggris melakukan sampling tentang persepsi homoseksualitas di media. Selama tiga dekade. Mulai tahun 1970-an hingga tahun 1990-an. Salah satu hasil penelitiannya: mereka yang fobi (phobia) terhadap homoseksualitas adalah pengidap kelainan psikologis (psychological disorder).
Definisi dari phobia adalah ketakutan yang tidak rasional terhadap sesuatu (irrational fear of something). Jadi kita harus bilang, “Engga kok, saya ga ada masalah dengan mereka yang homoseksual.” Biar dianggap normal.
Kita berhak untuk menarik nafas panjang.
Pertama, karena homoseksualitas telah mengalami reframed. Menempati bingkai yang baru. Bukan lagi perbuatan keji. Tapi sesuatu yang normal.
Kedua, bahkan sesuatu yang normal pun mengalami reengineering. Rekayasa ulang. Yang seharusnya tidak normal, kini dibilang normal.
Politisi bisa lebih parah kondisinya. Bisa saja dia aslinya mengutuk homoseksualitas. Sikap yang normal sesuai ajaran dari langit. Tapi dia harus mengikuti versi rekayasa ulang yang menganggap normal homoseksualitas. Dan dia lakukan itu demi keberhasilan kampanye dan perolehan suara.
Bisa dibilang bahwa Islam dan politik tidak bisa berjalan beriringan. Karena politik adalah sebuah permainan kompromi (a game of compromise). Dan Islam punya prinsip-prinsip yang tidak bisa dikompromikan.
Musrifun berarti kaum yang melenceng di luar batas yang normal. Normal menurut Alquran. Termasuk kategori normal adalah bertemu dengan godaan. Karena godaan akan selalu ada. Yang penting adalah membentengi diri dengan iman untuk melawan godaan. Supaya tidak terjadi penyimpangan (deviation).
Kabar baiknya, penyimpangan itu bisa dicegah. Menurut Sinyo Egie, pendiri dan penggiat lembaga konseling LGBT PS (Peduli Sahabat) caranya adalah dengan menerapkan pola asuh anak secara benar.
Bagaimana dengan mereka yang sudah terlanjur menyimpang? Yang juga tidak memiliki orang tua lagi yang mengasuh mereka?
Pintu untuk kesembuhan masih terbuka. Kisah-kisah mantan gay yang serius hijrah dan berproses menjalani berbagai tahapan menuju hijrah total, bisa disimak di grup fb Peduli Sahabat.
Mereka bukan musuh kita. Mereka adalah ladang amal kita. Yang mau membantu menunjukkan jalan. Supaya kembali ke jalan-Nya.
I’m watching 10. Al-A’raf (Ayah 80-85) – A Concise Commentary http://bit.ly/2hDH5Kd
Resume oleh Heru Wibowo