[MFA2019] Surga Itu Luas, Sayang – Lestariyani


وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”

(QS. Adz-Dzariyat 51:56).

Aku sangat menyukai ayat ini, karena menjadi alarm terindah untukku dalam menjalankan hidup. Dalam hal apapun itu. Bahkan sangat aku rindukan jika alarm itu tidak berdering.

Aku rasa ayat ini sudah mewakili apa yang aku sampaikan saat itu. Saat aku memiliki kesempatan untuk berbicara di depan banyak orang di salah satu acara perusahaan. Bahwa “Di mana pun dan kapan pun kita berada, kita harus bisa melakukan yang terbaik dari potensi yang kita miliki.” Tidak lain karena kita bekerja pun untuk beribadah. Hal itu yang selanjutnya akan memberikan kita pemahaman akan tanggung jawab, bagaimana kita melakukan pekerjaan yang sudah menjadi amanah untuk kita tunaikan.

“Kita percaya sama Allah, Dia Maha Melihat dan Maha Mengetahui. Tetap semangat teman-teman meski di bulan ke-4 ini gaji kita belum mengikuti Upah Minimum Provinsi (UMP). Semoga bulan depan gaji kita sudah mengikuti UMP bersamaan dengan keluarnya Tunjungan Hari Raya (THR).” Kurang lebih begitulah inti yang aku sampaikan saat itu.

Dugaanku benar bahwa ternyata tidak semua orang mengerti sudut pandang yang aku bicarakan. Sebagian atau mungkin hampir semua orang yang mendengar ucapanku saat itu, tidak sependapat denganku. “Aku tidak setuju, aku tidak munafik, aku bekerja untuk mencari uang, bukan untuk ibadah. Kalau aku bekerja untuk ibadah mending aku kerja bantuin ibu di rumah,” kata temanku menanggapi saat duduk santai setelah acara itu selesai. Membuat hati ini sesak ingin marah tapi tak bisa. Sedih lebih tepatnya, karena orang yang mengatakan itu adalah salah satu orang yang aku sayangi. Aku ingin dia sependapat denganku, namun aku mengerti, memang mustahil untuk selalu sependapat dalam segala hal.

“Izinkan aku menjelaskan. Bahwa benar adanya, bekerja adalah ibadah. Apalagi yang bekerja memang yang diberi amanah karena fitrahnya, misalnya seorang lelaki yang telah menjadi suami serta ayah bagi anaknya. Bekerja menjadi manifestasi ketundukan dan ketaatan manusia kepada yang ditaatinya. Jadi sudah seharusnya hidup dan aktivitas kita dilandasi ketundukan kepada Allah SWT. Dan caranya tentu saja harus sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah”.

Ustadz Nouman, saat membahas Adz-Dzaariyaat 56, menyebutkan bahwa ayat ini adalah reminder buat kita tentang tujuan penciptaan kita. Supaya kita tidak lupa, untuk apa kita diciptakan. Manusia yang sudah paham dan menyelaraskan hidupnya dengan tujuan penciptaan, it’s fine. Yang bermasalah adalah ketika kita melihat orang-orang yang sama-sekali mengabaikan, bahkan melanggar hukum-hukum Allah. Berjalan di muka bumi tidak sesuai dengan harapan Allah.

Sungguh bikin frustasi melihat orang-orang yang sikapnya tidak merefleksikan tujuan penciptaannya. Sungguh mengecewakan mengetahui bahwa yang bersikap seperti itu adalah mereka yang dekat dengan kita. Keluarga kita sendiri. Teman kita sendiri.

Mereka keliru, jika berpikir bahwa aku tidak pantas menanyakan soal gaji yang tak tuntas dibayarkan hanya karena sebelumnya mengatakan bahwa bekerja adalah ibadah. Aku bekerja, aku melaksanakan tugasku, aku memenuhi tanggung jawabku, karena Allah. Tapi soal nominal gaji yang harus dibayarkan, itu hak yang wajar aku pertanyakan. Karena itu adalah tanggung jawab yang bersangkutan untuk ditunaikan. Bahkan itu pun bernilai ibadah, karena kita mengingatkan bahwa “hutang memang harus dibayar” bukan?

Tak masalah jika kita menginginkan upah dengan nominal yang besar selagi kita tahu bahwa hasil akan berbanding lurus dengan kemampuan, dan hak selalu berteman baik dengan kewajiban. Bukan karena bekerja adalah ibadah lalu kita tak pantas hitung-hitungan soal nominal yang bisa didapatkan. Kita bekerja maksimal tapi tidak digaji sesuai dengan peraturan pemerintah, lantas karena niat ibadah kita terima dengan ikhlas apapun yang diberi perusahaan? Tentu tidak. Peraturan adalah tetap peraturan. Allah mencintai peraturan, dan ikhlas itu jika Allah ridho dengan aturan yang sudah dipatuhi, bukan sebaliknya.

Bahkan Al-Qur’an saja mengajarkan banyak hal soal mu’ammalah (sebuah hubungan manusia dalam interaksi sosial sesuai syariat, karena manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri). Jadi sudah jelas, segala hal yang kita lakukan pun bisa bernilai ibadah.

Allah berfirman bahwa kita diciptakan memang untuk beribadah. Allah lebih tahu tentang apapun yang kita butuhkan selama kita hidup, dari sejak dalam kandungan hingga ajal menjemput. Percayalah bahwa kita bisa menggunakan seluruh jatah hidup kita di dunia untuk beribadah, apapun itu aktivitasnya.

Kurang seminggu setelah acara tersebut, aku mendapatkan informasi bahwa gaji bulan ini sudah mengikuti UMP bahkan keluar dengan THR serta rapelan gaji dari bulan ke-1. Masya Allah. Jika Allah sudah memberikan kemudahan datangnya tidak pernah tanggung-tanggung. Jika kita mengejar akhirat maka kita akan mendapatkan dua hal: akhirat dan dunia. Sudah kubilang surga itu tidak mungkin sempit. “Surga itu sangat luas, sayang.”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s