Serangan Empat Penjuru: Bagian 4 – Serangan dari Kanan


Serangan Empat Penjuru

Bagian 4 Serangan dari Kanan

***

Kita tahu Qur’an itu presisi. Allah itu Maha Sempurna. Termasuk dalam memilih kata-kata.

Serangan dari kanan digambarkan di Qur’an (QS 7:17) bukan dengan kata ‘yamiinihim’. Tapi ‘aymaanihim’. Artinya, serangan dari kanan itu bukan serangan tunggal. Tapi serangan ganda. Multiple rights. Jadi serangan dari kanan itu bervariasi. Lebih dari satu.

***

Satu contohnya, sudah pernah dibahas. Di bagian sebelumnya. Berikut disajikan ulang versi ringkasnya.

Setan ingin kita bangga dengan pencapaian kita. Dengan kebaikan kita. Dengan keberhasilan kita. Dengan success stories kita. Padahal harusnya kita humble. Harusnya kita mohon sama Allah. Supaya amal-amal itu diterima. Dicatat sebagai pahala di sisi-Nya.

Tapi setan memang pintar melakukan reverse-engineering. Wahum yahsabuuna annahum yuhsinuuna shun’aa (QS 18:104). Setan berhasil bikin kita berpikir bahwa kita hebat. Setelah kita melakukan kebaikan-kebaikan itu.

Tidak ada yang salah dengan kebaikannya. Yang masalah adalah merasa hebat setelah melakukan kebaikan. Karena amalan kita belum tentu diterima. Harusnya kita sungguh-sungguh berdoa. Memohon kepada-Nya. Supaya amal ibadah kita diterima oleh-Nya.

***

Contoh kedua menyerang orang-orang yang baik, yang disilaukan oleh embel-embel kehormatan.

Mereka adalah orang yang suka menyebut-nyebut titel. Gelar kebangsawanan. Gelar kesarjanaan. Atau apapun yang dijadikan embel-embel kehormatan.

Disebut namanya, nama saja, tanpa titel, marah. Dia bela-belain mengulang. Menyebut namanya sendiri. Dengan imbuhan Doktor di depan namanya.

Beda ya sama Doktor yang ga ngarep. Dipanggil pakai Doktor happy. Ga pake Doktor juga happy. Ga ngaruh. Nah. Yang begini ini aman dari serangan dari arah kanan.

Tapi kalo sampai ada orang yang sibuk mengoreksi, “Lain kali, kalo sebut nama saya, pastikan ya, tambahkan PhD.” Itu berarti dia punya masalah.

Owhhh. Berarti yang punya masalah adalah para akademisi saja?

Ternyata tidak. Serangan dari arah kanan juga masuk ke ranah agama.

Hey, ternyata Abdullah ada di sini!

Bukan. Aku bukan Abdullah. Aku Al-Haajj Abdullah.” Ternyata ada yang habis pulang dari tanah suci.

Ada kebutuhan untuk mendapatkan penghormatan. Mendapatkan pengakuan. Dari pencapaian yang baru saja dilakukan. By the way, mohon maaf buat yang namanya Abdullah. Karena ini hanya contoh. Contoh orang yang bermasalah. Terkena serangan setan dari arah kanan.

Para penghafal Qur’an juga bisa kena serangan ini. Kalo namanya Haris disebut pake Al-Haafizh. Begitu juga dengan Syeikh. Atau apapun, label-label keagamaan yang lain.

Sebenarnya aneh juga. Gelar kan tidak menambah apa-apa. Ingin diakui, ingin dihargai, ingin disebut-sebut kebaikan atau pencapaiannya. Itu semua berarti setan telah berhasil. Sukses menyerang dari arah kanan.

Amal baik itu seharusnya diikuti kerendahan hati. Dipersembahkan hanya untuk Allah. Apakah Allah ridha dengan persembahan itu? “Yaa Allah, aku mohon pada-Mu, amalan yang kulakukan itu, Engkau terima.

Shalat, haji, apapun yang aku lakukan. Aku tahu aku tidak melakukannya 100% sempurna. Pasti ada kesalahannya. Aku bisa melakukannya dengan lebih baik. Karena kesalahan dan ketidaksempurnaan itu, aku mengemis pada-Mu. Yaa Allah, terimalah amalku itu.

Itulah kerendahan hati. Tapi setan mengipas-kipaskan rasa bangga diri. Setan ingin elemen humbleness itu hilang.

***

Contoh ketiga menyerang orang yang baik, yang menganggap hidayah adalah sesuatu yang permanen.

Ada orang yang hijrah. Dari agama ga jelas terus masuk Islam. Atau dari ga shalat jadi rajin ke masjid.

Sekian waktu berselang, dia flashback. Melihat sosok dirinya di masa lampau. Saat dia belum Islam. Atau belum rajin shalat. “Beruntung sekali Allah memberiku petunjuk. Nikmat sekali rasanya kalo kita sudah dapat petunjuk itu. Terus terang aku merasa kasihan dengan mereka yang belum mendapat petunjuk.

Bentar dulu, bentar. Sepertinya petunjuk dianggap semacam stempel. Atau label. Sekali dapet nempel terus. Oke bahwa hijrah itu musti disyukuri. Itu valid. Tapi itu tidak berarti bahwa dia sudah menjadi Pemilik Petunjuk Allah. Innal hudaa hudallaah (QS 3:73). Petunjuk itu hak milik Allah. Bukan milikku. Bukan milikmu. Bukan milik dia.

Tidak peduli berapa banyak ilmu agamamu. Tidak peduli berapa banyak jumlah raka’at shalat wajib dan shalat malammu. Tidak peduli betapa shalih dan shalihah penampilanmu. Tidak peduli betapa halus tutur katamu. Itu semua tidak berarti bahwa kamu menjadi Sang Pemilik Petunjuk.

Petunjuk Allah adalah dahaga harian kita. Mengemis kita kepada-Nya setiap hari. Tanpa memandang status keimanan kita.

Yang sudah hafal 30 juz, tetap harus mengemis petunjuk Allah. Yang belum bisa membedakan tsa, sa, sya, dan sha, juga harus mengemis petunjuk Allah. Tidak ada seorang pun yang punya kedekatan akses dengan petunjuk itu. Kita semua haus akan petunjuk Allah.

Sebagaimana kita butuh air. Tidak bisa kita bilang, “Alhamdulillah dua tahun yang lalu aku sudah minum air. Aku tidak pernah lagi minum air sejak saat itu. Dan aku baik-baik saja sekarang.

Tidak. Tidak seperti itu. Kita pasti haus lagi. Kita harus minum lagi.

Kita pun haus akan petunjuk Allah. Kita ucapkan setiap kita berdiri shalat. Ihdinash shiraathal mustaqiim.

Tapi setan ingin kita berpikir bahwa petunjuk itu sudah kita miliki. Setan ingin kita berpikir bahwa petunjuk itu adalah masalah orang lain. Bukan kita. Setan ingin kita berpikir bahwa urusan petunjuk itu kita sudah beres. Sudah tidak butuh lagi.

Dengan begitu, fokusmu bukan pada dirimu. Kamu sudah merasa mendapatkan petunjuk. Fokusmu beralih pada orang-orang yang lain. Mereka yang, menurut pikiranmu, belum mendapatkan petunjuk. Menurut pikiran yang terkena serangan setan dari arah kanan.

Kalo kamu habis makan, perutmu sudah terisi, memang betul bahwa kamu sekarang bisa mengalihkan perhatian kepada orang-orang yang masih kelaparan. Setan ingin kamu juga berpikir seperti itu. Setan ingin kamu berpikir, aku sekarang sudah dapat petunjuk, alhamdulillah, beres dah urusanku, sekarang tinggal gimana caranya orang-orang itu supaya dapat petunjuk.

Tapi gimana ya? Masak kita cuek sama orang yang belum dapat petunjuk? Ga gitu juga sih. Kita ga boleh cuek sama orang lain. Tapi ada satu hal yang penting. Yang harus selalu tertanam di benak kita. Bahwa perhatian itu harus pada petunjuk untuk diri sendiri, lebih dulu. Lalu kita perhatikan petunjuk untuk orang lain, bersama kita.

Maksudnya, kalo aku kasih nasihat untuk orang lain, aku akan pastikan bahwa nasihat itu adalah untuk diriku sendiri dulu. Menasihati orang lain berarti aku menasihati diriku dan menasihati orang lain, pada saat yang sama.

Aku tidak bilang, “Inilah yang kamu butuhkan. Inilah yang kamu perlu dengar.” Aku harus mengakui, jauh di dalam lubuk hatiku, bahwa aku juga butuh nasihat itu. Aku tidak mengizinkan setan untuk bikin sekat antara nasihatku dan diriku sendiri. Aku tidak berpikir bahwa yang butuh nasihatku adalah orang yang sedang aku nasihati. Hanya dia. Tidak termasuk aku. Aku tidak berpikir seperti itu. Nasihatku itu adalah untuk dia. Dan untuk aku.

Kadang-kadang yang seperti ini juga masuk ke dalam masjid. Khatib, ustadz, da’i, penceramah, atau siapapun yang sedang berada di atas mimbar, bisa berpikir, “Aku tahu siapa-siapa orangnya yang butuh nasihatku ini. Semoga mereka ada di sini.” Atau berpikir apakah ceramahnya itu dibikin online karena dia perlu share ke orang-orang yang bermasalah yang perlu mendengar nasihatnya itu.

Setan pintar mengalihkan perhatianmu. Kamu jadi terobsesi untuk memberikan petunjuk buat orang lain. Kamu dibikin lupa untuk memikirkan bagaimana nasihat itu diterapkan untuk dirimu sendiri. Untuk memperbaiki kehidupanmu. Trik setan yang satu ini memang hebat.

Hebat, karena tampak luarnya kamu sedang melakukan sesuatu yang baik. Kamu sedang membagikan nasihat yang baik. Kamu ingin kebaikan buat orang lain. Dalam pikiranmu, ini hal yang positif. Tapi menjadi tidak positif kalo itu membuatmu tidak peduli dengan perbaikan dirimu sendiri lebih dulu. Inilah mengapa Allah bilang, quu anfusakum wa ahliikum naaroo. (QS 66:6). Jagalah dirimu. Dirimu dulu yang disebut. Dan keluargamu, dari api neraka.

Itulah juga kenapa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bilang, uushiikum wa nafsii bitaqwallaah. Wa nafsii. Bahkan Rasulullah tidak hanya menasihati jamaah. Rasulullah juga menasihati diri beliau sendiri. Untuk bertakwa kepada Allah. Rasulullah memasukkan diri beliau sendiri, shallallahu ‘alayhi wasallam, di dalam nasihat itu.

Masih tentang kesetaraan status antara yang menasihati dan yang dinasihati.

Allah berfirman, wa man ahsanu qawlan mimman da’aa ilallaah (QS 41:33). Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah? Wa ‘amila shaalihan. Dan dia sendiri mengerjakan kebajikan.

Menyeru kepada Allah adalah tentang mereka. Pada saat yang sama, orang yang menyeru kepada Allah ini, dia sendiri, berbuat kebajikan.

Dan dia mengatakan, innanii minal muslimiin. Aku adalah bagian dari muslimin. Artinya, aku bukan berada di atas mereka. Aku bukan lebih tinggi, bukan lebih hebat, dari orang-orang yang aku seru, dari orang-orang yang aku nasihati. Aku tidak di atas yang lain. Aku mencoba untuk menyerahkan diriku kepada Allah juga, seperti orang-orang yang lain.

Hanya karena aku yang bicara dan mereka yang mendengarkan, tidak berarti aku posisinya lebih baik. Aku memang yang bicara, tapi nasihat yang aku sampaikan itu, adalah untukku juga.

Tapi setan ga mau aku punya sikap seperti itu. Yang setan mau, saat menasihati, aku merasa lebih tinggi. Merasa lebih hebat. Setan juga ingin bahwa kita selalu berada dalam posisi untuk menasihati, bukan dinasihati.

Jika seseorang terkena penyakit bangga diri dan tinggi diri.

Jika seseorang terbiasa memberikan nasihat keagamaan.

Jika seseorang terbiasa menyampaikan ayat Qur’an atau hadits Nabi.

Jika seseorang biasa jadi pembicara.

Jika seseorang biasa pegang mikrofon.

Jika seseorang biasa vokal, apakah itu di forum off air atau di ruang tamu atau di Facebook atau di YouTube.

Dan jika dia, ketika diberi nasihat jadi tersinggung, dia punya masalah.

Kenapa masalah? Karena di benaknya, dia lah yang harusnya menasihati. Bukan dinasihati. Hanya dia yang boleh mengkritik. Dia tidak boleh dikritik. Dialah yang boleh mengajari orang lain, bukan diajari.

Apa? Kamu mau nasihati aku? Kamu mau mengoreksi aku, gitu? Emang ilmumu sudah banyak? Aku ini sudah ngajar puluhan tahun dan sekarang kamu mau ngajari aku?” Sikap seperti ini datang langsung dari setan.

***

Orang yang terkena serangan setan dari arah kanan, dia yakin bahwa dirinya melakukan sesuatu yang baik. Allah melukiskannya dalam bentuk sebuah frasa. Wa zayyana lahumusy syaithaanu a’maalahum (QS 27:24). Setan menjadikan terasa indah perbuatan buruk mereka.

Sebagaimana ruangan yang buruk yang oleh pakar dekorasi disulap menjadi ruangan yang tampak indah. Setan adalah pakar dekorasi itu.

***

Contoh keempat adalah serangan yang berlindung di balik kampanye kebaikan.

Rasa keadilan, perhatian, dan keprihatinan adalah hal-hal yang baik. Kita semua sepakat itu adalah kualitas yang baik. “Saya berjuang untuk keadilan!” Ini bagus. “Saya akan tegakkan keadilan!” Tidak ada yang bilang bahwa ini adalah hal yang buruk. Tapi kita gunakan kata-kata yang indah itu, termasuk juga ‘amar ma’ruf nahi munkar, untuk menyakiti orang lain. Untuk menghancurkan orang lain. Untuk memenuhi hasrat dan ambisi pribadi.

Aku bicara kebenaran kok! Ini adalah perkara tegaknya keadilan!” Labelnya bagus. Aksinya, lain cerita.

Pernah terjadi perang di Irak yang mengusung tagline “Kemerdekaan Irak.” Padahal tidak ada hubungannya. Rakyat bukannya merdeka, malah menderita. Kita bisa gunakan kata-kata yang terdengar bagus, tapi dibalik itu yang terjadi adalah lahirnya semua jenis kejahatan.

Pemerintahan yang korup bisa mengedepankan isu keamanan nasional yang terdengar indah. Tapi di balik itu, mereka menangkap warga yang tak bersalah. Mereka menahan dan menyiksa semaunya. Mereka melakukan berbagai tindak kejahatan. Kalo mereka ditanya, apa yang telah kamu lakukan? Mereka tidak akan menjawab bahwa mereka telah melanggar hak-hak asasi manusia. Mereka akan bilang, “Kami memprioritaskan keamanan nasional.” Kedengarannya bagus.

***

Di kehidupan pribadi pun ini bisa terjadi. Menghina, merendahkan, mempermalukan orang lain. Dan ketika pelakunya ditanya, dia jawab enteng saja, “Aku sedang mendidik mereka.

Di keluarga kita sendiri, hal ini juga bisa terjadi. Semua kata-kata yang buruk dilontarkan. Dan ketika ditanya, apa jawabannya? “Aku sedang mengajari mereka kerendahhatian.

Para pelaku ini yakin bahwa mereka sedang melakukan sesuatu yang baik. Meskipun kenyataannya perilaku mereka itu mengerikan dan menyeramkan. Kena sudah mereka. Kena serangan setan dari arah kanan. Setan bikin mereka yakin bahwa yang mereka lakukan adalah hal yang baik. Dan mereka ternyata telah menjadi murid yang taat.

Canggih sekali trik setan yang ini, menyerang kita. Pertama, setan bikin kita yakin bahwa kita tidak melakukan kesalahan apapun. Kedua, setan bikin kita yakin bahwa orang-orang itu adalah sumber dari segala kejahatan sehingga pantas untuk dihina, direndahkan, dipermalukan, bahkan dimusnahkan. Demi tegaknya keadilan, mereka harus dimusnahkan. Mengerikan sekali.

***

Contoh kelima berhubungan dengan firman Allah yang agung.

Ini adalah salah satu taktik yang paling mengerikan dari serangan arah kanan. Melalui kata-kata.

Kata-kata manusia itu penuh daya.

Allah menganugerahkan kata-kata pada manusia, beda dengan kata-kata yang diberikan Allah kepada fauna. Hewan juga berkomunikasi. Semut berkomunikasi. Burung berkomunikasi. Ikan berkomunikasi.

Tapi cara manusia berkomunikasi itu luar biasa. Mendalam.

Sepuluh generasi yang lalu, burung membangun sarangnya. Tapi burung tidak mengajari generasi berikutnya tentang bagaimana membangun sarang itu. Tidak pula tentang apa yang bisa diperbaiki dari sarang itu. Seharusnya keluarga burung bisa punya sarang yang lebih baik. Kenyataannya tidak seperti itu. Sarang burung ya gitu-gitu aja. Dari tahun ke tahun.

Manusia membangun rumah seratus tahun yang lalu. Generasi setelahnya melakukan perbaikan. Generasi setelahnya lagi memperbaikinya lagi. Terus seperti itu. Manusia mewariskan instruksi melalui kata-kata. Generasi berikutnya memahami kata-kata itu dan membangun rumah yang lebih baik.

Tanpa kata-kata, pengetahuan tidak bertambah maju. Kata-kata itu sungguh luar biasa.

Dan kata-kata yang paling luar biasa adalah kata-kata Allah. Petunjuk Allah. Tak terbayangkan luar biasanya. Tidak ada kata-kata yang lebih baik dari kata-kata Allah. Dan tahukah kita, apa yang terjadi dengan kata-kata yang paling luar biasa itu? Orang bisa menggunakan kata-kata Allah untuk kejahatan. Hmmm.

Allah menjelaskan, yudhillu bihii katsiiran wa yahdii bihii katsiiran (QS 2:26). Dengan Qur’an, manusia bisa mendapat petunjuk, bisa juga sesat.

Mungkin sekarang kamu terdiam dan berpikir. Bukankah di awal surah Al-Baqarah dijelaskan bahwa Qur’an itu petunjuk buat orang yang bertakwa? Dzaalikal kitaabu laa rayba fiihi hudan lil muttaqiin (QS 2:2). Masak sih di tiga halaman berikutnya, Allah bilang, Qur’an yang sama juga bisa bikin sesat?

Bisa saja. Ketika setan menghampirimu, dia membisikkan, “Ini dia caranya supaya kamu bisa meyakinkan orang-orang itu. Kamu bisa ambil ayat yang ini, comot ayat yang itu, cuplik satu frasa dari sini, kasih bumbu secukupnya, sampaikan ke mereka.” Lalu yang mendengar tertegun-tegun. Mantap nih. Ada ayat-ayat Qur’an-Nya. Kedengarannya bagus.

Padahal sebenarnya jahat. Karena maksudnya bukan untuk menjelaskan firman Allah. Niatnya adalah untuk menggolkan ambisi pribadi. Agenda individu ditempatkan di atas kata-kata Allah.

Ilustrasi berikut semoga bermanfaat untuk lebih memahami trik yang satu ini.

Seorang peneliti melakukan riset. Dia pelajari semua informasi yang ada. Dia juga minta Allah supaya ditunjukkan jalan. Dan setelah semua riset, survei dan pengumpulan data, serta sejumlah analisis yang dia lakukan, sampailah dia pada konklusi.

Jadi konklusi ini jatuhnya di akhir. Di akhir dari sebuah penelitian yang panjang. Bukan di awal.

Tapi ada orang-orang yang di benaknya sudah ada konklusi di awal. Tanpa pake penelitian. Ada agenda yang mau dikedepankan. Konklusinya sudah ada lebih dulu. Bukan di akhir, tapi di awal.

Contohnya, ada orang yang punya konklusi bahwa wanita itu lebih rendah statusnya atau kualitasnya, dalam pandangan Islam. Saya tidak setuju. Tapi di benak orang tadi, ada konklusi itu.

Karena konklusi itu sudah ada di awal, dia akan memilih ayat-ayat, memilih hadits-hadits tertentu, memilih petikan dari buku ini dan itu, dan dengan gagahnya dia bilang, “Lihatlah, saya punya begitu banyak dalil yang membuktikan bahwa wanita itu statusnya lebih rendah dibandingkan pria, dalam Islam.

Dia tidak mempelajari semua teks yang ada. Dia tidak mempelajari semua petunjuk Allah. Dia tidak menggantungkan konklusinya di akhir. Dia tidak memprioritaskan apa kata Allah di atas angan-angan yang menari-nari di benaknya. Dia tidak membiarkan konklusinya datang dari Allah. Dia tidak membiarkan konklusinya datang dari Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam.

Yang begini ini satanic. Kejam dan jahat.

Tidak ada yang lebih tinggi dari kata-kata Allah. Wa kalimatullaahi hiyal ‘ulya (QS 9:40). Kata-kata Allah menempati posisi tertinggi. Tidak ada yang lebih tinggi dari itu.

Nasihatnya memang kedengaran islami. Karena memetik ayat dan hadits. Seakan-akan sedang bicara atas nama agama. Tapi itu jahat. Karena konklusinya bukan dari agama. Konklusinya datang dari agenda pribadi yang tersembunyi.

***

Kita tidak perlu jadi ulama atau khatib atau pembicara untuk menyalahgunakan kata-kata Allah. Seorang ayah sedang berbeda pendapat dengan anaknya. Sang ayah tiba-tiba bilang, wa bil waalidayni ihsaanaa (QS 2:83). “Kamu harus berbuat baik kepada kedua orang tua.” Hmmm. Mungkin itu satu-satunya ayat yang dihafal ayah itu … 🙂

Seorang suami bisa mengancam bahwa istrinya akan masuk neraka jika begini dan begitu, dengan membacakan beberapa ayat atau hadits. Demikian pula sebaliknya, istri menyerang suami dengan ayat-ayat-Nya juga.

Agama berisi kebaikan. Allah anugerahkan agama untuk kita. Biar hidup kita penuh kebaikan. Tapi apa yang kita lakukan? Agama hanya dijadikan alat untuk memenangkan perdebatan. Digunakan untuk saling menampar.

Kata-kata Allah tidak turun untuk mendukung pendapat pribadimu.

Kata-kata Allah tidak turun supaya kamu bisa membungkam seseorang di rumahmu.

Kata-kata Allah tidak turun sehingga manusia-manusia saling menghina.

Kata-kata Allah adalah maw’idhatun min rabbikum.

Kata-kata Allah adalah nasihat yang menyentuh kalbu, yang datang dari Tuhanmu.

Ketika seseorang menyalahgunakan kata-kata Allah.

Ketika seseorang bilang, “Apa yang saya lakukan? Aku memetik Qur’an! Aku bicara tentang Islam! Tapi anak-anakku, istriku, tidak mau mendengarkan! Mereka mengabaikan kata-kata Allah!

Sama sekali tidak. Yang dia lakukan bukanlah menjelaskan kata-kata Allah. Dia hanya memberi topeng pada egonya. Pada kebanggaan dirinya. Pada kemarahannya. Dia pinjam kata-kata Allah untuk menutupi itu semua.

Menyedihkan. Kata-kata Allah dijadikan topeng.

Seorang ibu juga bisa melakukan hal serupa kepada anak perempuannya. Sesama saudara kandung juga bisa begitu. Menyalahgunakan kata-kata Allah.

Hasilnya?

Parah. Orang semakin lari dari Qur’an. Gara-gara Qur’an, orang dihina. Gara-gara Qur’an, orang direndahkan. Gara-gara Qur’an, orang disakiti. Lalu buat apa aku harus mendekat dan belajar Qur’an?

Berapa banyak keluarga yang tampak Islami, yang tampak sangat religius, tapi anak-anak di keluarga itu lari dari agama karena ada penyalahgunaan kata-kata Allah di dalam keluarga? Anak-anak itu kehilangan kehormatan dirinya karena “Islam”.

Frustrasi kita adalah satu hal. Ketundukan kita pada Allah adalah hal yang lain lagi. Kamu frustrasi dengan anakmu? Ada cara untuk mengelolanya. Kamu mungkin perlu belajar parenting. Tapi jangan gunakan kata-kata Allah untuk mengobati rasa frustrasimu.

Penyalahgunaan kata-kata Allah adalah sebuah kejahatan yang mengerikan.

***

Contoh keenam adalah jenis serangan dari arah kanan yang berhubungan dengan prioritisasi.

Hari itu kamu punya lima tugas di kantor. Bos kamu bilang, tugas nomor satu adalah yang paling penting. Selesaikan dulu tugas nomor satu itu. Kalo yang nomor satu itu sudah kelar, dan kamu masih punya waktu, boleh kamu kerjakan tugas nomor dua. Kalo yang nomor dua juga sudah kamu selesaikan, kamu boleh kerjakan tugas nomor tiga.

Delapan jam kerja hari itu kamu hanya berhasil menyelesaikan tugas nomor satu.

Itu oke. No problem. Karena tugas nomor satu adalah yang paling penting. Kamu telah menghormati prioritas yang diarahkan oleh bos kamu.

Tapi kalo seharian kamu cuma mengerjakan tugas nomor lima. Dan kamu melakukannya dengan sangat gemilang. Tugas nomor lima kamu memang bagus banget. Satu kantor ga ada yang mengalahkan kamu mengerjakan tugas nomor lima itu. Apakah bos kamu happy?

Prioritas itu bukan kamu yang tentuin. Itu urusan bos kamu. Dia punya otoritas untuk itu.

Allah sudah menentukan apa-apa yang penting dalam Islam. Apa yang harus kita lakukan. Apa yang harus kita jauhi.

Tapi setan menghampiri kita dari arah kanan. “Kenapa kamu ga kasih sumbangan ke masjid dan panti asuhan. Dan karena sumbangan kamu itu bermanfaat banget buat renovasi masjid dan anak-anak miskin di panti, kamu sudah ga perlu shalat lagi.

Ketika ada yang tanya, “Kenapa ga shalat?” Kamu sudah siap dengan jawaban itu, “Ya, aku tahu, aku tidak shalat. Tapi tahukah kamu aku sudah nyumbang banyak di sana? Pengurus DKM aja ga ribut, kenapa kamu jadi senewen gitu?

Ketahuilah bahwa sumbangan sosialmu tidak menggantikan shalat wajibmu. Itu prioritas yang sudah Allah tentukan. Tidak ada satu pun dari kita yang berhak ngatur prioritas itu. Kita adalah hamba-Nya. Jadi kita ngikut aturan-Nya. Ngikut prioritas-Nya.

Ada juga orang yang berpikir bahwa dia bebas melakukan apa saja setahun penuh selama ibadahnya bagus di bulan Ramadhan. Itu seperti dia memprioritaskan tugas nomor lima. Satu bulan ibadah kenceng, sebelas bulan submission-free.

Ada juga orang yang begitu teliti sama makanannya. Cara menyembelih ayamnya gimana. Baca bismillaahi allaahu akbar apa tidak. Tapi pada saat yang sama, orang ini tidak peduli dengan hak-hak istrinya. Orang ini menyangkal warisan yang harusnya diberikan ke saudara perempuannya. Orang ini suka menipu dalam urusan bisnis. Orang ini suka pinjam uang dan tidak pernah mengembalikan. Di benaknya urusan makan dan sembelihan itulah Islam. Di benaknya, Allah akan sangat happy hanya dengan urusan ayam.

***

Contoh ketujuh masih ada hubungannya dengan contoh keenam, tapi beda. Kali ini boleh dibilang bosnya sudah tidak dianggap sama sekali.

Trik setan yang ini lebih heboh. Kamu mulai mendefinisikan sendiri apa itu kebaikan.

Lihat contoh sebelumnya. Tentang orang yang mengerjakan tugas nomor lima. Itu masih mending. Yang sekarang ini, kamu sudah tidak peduli dengan kelima-limanya. Kamu sekarang bilang, “Nomor satu sampai lima itu tidak ada yang penting. Aku akan kasih tahu bos, apa yang benar-benar penting. Aku punya daftar prioritas sendiri.”

Perasaanmu, pendapatmu, kamu tempatkan di atas ayat-ayat-Nya. Kamu merasa kamu orang baik. Hatimu baik. Maksudmu baik. Orang-orang mengenalmu sebagai orang yang baik. Kamu terkenal jujur di kantor. Bahkan kamu terpilih jadi karyawan teladan. Kamu identik dengan sopan santun. Kamu punya tutur kata yang lembut. Apapun yang kamu prioritaskan, maka pasti Allah akan ridha sama prioritas itu.

Kamu juga punya pendapat yang tampak meyakinkan, “Aku kenal orang-orang yang shalat. Orang yang berjenggot. Orang yang berhijab. Tapi mereka kacau. Mereka suka ngebut. Mereka korupsi dan ketangkap KPK. Setidaknya aku tidak seperti mereka. Aku punya cara sendiri untuk jadi orang baik. Allah Maha Tahu.

Setan suka banget sama yang ini. “Kamu tidak perlu tunduk pada ayat-ayat Allah. Sudah banyak contoh buruk di luar sana. Bener itu kamu. Allah Maha Tahu. Kamu sudah dapat label orang baik. Kamu bisa tentukan sendiri life style seperti apa yang kamu mau. Yang penting kamu tetap jadi orang baik.”

***

Contoh ketujuh berkaitan dengan hijrah.

Ada orang yang ingin hijrah. Dia pergi ke masjid untuk mendapatkan pencerahan. Dia jadi lebih dekat sama Allah setelah bertemu orang-orang di masjid itu.

Sayangnya, tidak semua masjid itu sama. Sebagaimana tidak semua orang itu sama.

Nah. Dia mengenal Allah setelah ke masjid itu. Ketika dia pergi ke masjid yang lain, dia heran. Kok beda. Orang-orangnya beda. Penampilannya beda. Berjenggot dan tidak berjenggot. Celana cingkrang dan celana biasa. Kopyah putih dan peci hitam. Cara bersedekap juga beda.

Masjid tempat saya mendapat hidayah, alhamdulillah saya ketemu aqidah yang benar.” Lalu dia mulai memperingatkan siapa saja supaya berhati-hati. Hati-hati dengan masjid ini. Hati-hati dengan masjid itu. Hanya masjid tempat dia mendapatkan hidayah itu saja, yang menurutnya benar. Masjid-masjid yang lain, sesat.

Dia terjerumus dalam cult. Sehingga, menjadi seorang ‘muslim’ saja, tidak cukup. Harus jelas muslim dari masjid yang mana. Laa ilaaha illallaah muhammadur rasuulullaah tidak lagi cukup. Ini sudah kelewatan. Karena dia sudah mengklaim menjadi Pemilik Petunjuk Allah.

Kalaupun ada yang bikin dia tidak sreg dengan praktek keislaman dari sesama muslim lainnya, ada cara yang elegan untuk mengkomunikasikannya.

Ibrahim ‘alayhis salam, ayahnya penyembah berhala. Ibrahim punya cara yang penuh kasih untuk mengoreksi ayahnya (QS 19:42-48). Sementara itu, tidak ada satupun dari kita, sesama muslim, yang menyembah berhala. Hanya beda tata cara ibadahnya. Tapi kita telah tega sehingga tidak saling memperlakukan dengan penuh kasih. Malu dong sama ayahanda Ibrahim. Sama penyembah berhala saja, beliau memperlakukannya dengan penuh kasih.

Semoga Allah melindungi kita dari serangan setan dari arah kanan.

Dan menjaga kita untuk tetap berkomitmen berada di jalan-Nya yang lurus.

Barakallaahu lii wa lakum fil qur’aanil hakiim.

***

Ditulis oleh Heru Wibowo

Source: https://youtu.be/N8XdKjC70jc

***

3 thoughts on “Serangan Empat Penjuru: Bagian 4 – Serangan dari Kanan

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s