Part 3 Manusia Bodoh
Tadabbur Al-Qur’an Surah Al-Baqarah 142-144
*****
Memang begitu. Allah memang menyebut mereka seperti itu. Manusia bodoh.
Sayaquulussufahaa-u minannaas (QS 2: 142). Orang-orang yang bodoh diantara manusia, akan berkata. Ini adalah yang ketiga kalinya, di surah Al-Baqarah, Allah menyebutkan sufahaa’. Manusia bodoh.
Yang pertama adalah anu’minu kamaa aamanassufahaa’ (QS 2: 13). Apakah kami akan beriman seperti manusia bodoh yang beriman itu?
Yang kedua adalah wa man yarghabu ‘an millati ibraahiima illaa man safiha nafsahu (QS 2:130). Dan orang yang berpaling dari agama Ibrahim hanyalah orang yang membodohi dirinya sendiri.
Dan sekarang, di ayat 142, sufahaa’ muncul lagi. Orang-orang yang bodoh di antara manusia, akan berkata. Di antara manusia di sini, maksudnya adalah manusia yang ada di sekitar Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam. Ada yang muslim. Ada yang munafik. Ada Yahudi. Ada Kristen juga. Ada musyrikin. Jadi di antara semua orang itu, di antara semua manusia itu, yang bodoh di antara mereka akan mengatakan hal ini. Apa yang dikatakan?
Maa wallaahum ‘an qiblatihim. Allatii kaanuu ‘alayhaa (QS 2: 142). Mereka berkata, “Apa yang membuat mereka berpaling dari kiblat mereka?”
Untuk memahami pertanyaan manusia bodoh ini, kita simak dulu latar belakang sejarahnya.
Rasulullah sebelumnya shalat menghadap ke Yerusalem. Bahkan ketika masih di Mekah. Bilamana memungkinkan. Beberapa riwayat menjelaskan, Nabi akan berdiri sedemikian rupa sehingga Ka’bah ada di depan beliau, dan menembus Ka’bah lurus di depannya, adalah Yerusalem yang juga jauh di depan beliau. Posisi Yerusalem, Ka’bah, dan Rasulullah ada di satu garis lurus. Jadi Rasulullah menghadap Ka’bah, dan pada saat yang sama, juga menghadap Yerusalem. Begitulah Rasulullah melaksanakan shalat.
Masalah mulai muncul ketika Rasulullah pindah ke Madinah. Posisi Madinah kira-kira ada di tengah. Antara Yerusalem dan Mekah. Jadi sekarang, di Madinah, Rasulullah tidak bisa shalat menghadap Yerusalem dan Ka’bah sekaligus. Secara teknis tidak mungkin. Kalo menghadap Yerusalem, berarti membelakangi Ka’bah. Tapi Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam masih shalat menghadap Yerusalem. Baik di Mekah maupun di Madinah.
Siapakah yang juga sembahyang menghadap Yerusalem? Kaum Yahudi. Mereka ibadahnya menghadap Yerusalem.
Saat ngomong di depan publik, orang-orang Yahudi itu bilang bahwa Islam bukanlah agama yang benar. Di depan publik, orang-orang Yahudi itu bilang bahwa Islam itu dibuat-buat. Bukan kebenaran, tapi karangan. Rasulullah bukan Nabi, tapi pembohong. Dan hal-hal semacam itu.
Namun secara pribadi, secara sendiri-sendiri, lubuk hati terdalam mereka mengakui bahwa Muhammad adalah Nabi-Nya. Hari berganti hari dan mereka makin yakin bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Menjadi makin jelas dan terang-benderang. Tapi suara hati kecil mereka itu tidak mereka tampakkan. Di keramaian, mereka mengumbar kata-kata yang bertentangan dengan hati nurani mereka.
Dan Qur’an, ayat-ayatnya terus menggambarkan kenyataan tentang mereka. Bahwa mereka menyembunyikan sesuatu. Menyembunyikannya di benak mereka. Menyembunyikannya di hati mereka.
Mereka sebenarnya mengetahui itu. Mereka menyembunyikan kebenaran. Layaktumuunal haqqa wa hum ya’lamuun (QS 2: 146). Mereka menyembunyikan kebenaran. Padahal mereka tahu.
Di depan umum, mereka bilang tidak, tidak, dan tidak. Mereka nyinyir sama Islam. Tapi dalam kesendirian, mereka terpaksa mengusap-usap jidat mereka sendiri. Geleng-geleng sendiri. Rasanya ingin membuat pengakuan akan kebenaran Islam. Tapi ga bisa.
*****
Ada insiden yang terkenal saat Umar bin Khattab radhiyallahu ta’ala ‘anhu berjalan memasuki ruangan tempat para pendeta Yahudi sedang belajar di sebuah sinagoga. Umar bertanya, mengapa mereka tidak suka sama Islam? Apa masalahmu dengan Qur’an?
Mereka bilang, Qur’an terus mengungkap rahasia mereka. Apa yang mereka sembunyikan, berulangkali diungkap Qur’an. Mereka tahu itu. Tapi mereka mengingkarinya. Yang penting buat mereka adalah, mereka bisa menyuarakan kepada dunia bahwa Islam adalah agama yang salah.
Sekarang bayangkan ini. Jika aku punya teman seorang Yahudi. Dia bilang kalo agamaku, Islam, agama yang salah. So, apakah aku shalat menghadap Ka’bah, atau aku shalat menghadap Disney World, atau menghadap Menara Eifel, harusnya dia ga terganggu dong. Harusnya dia ga mikirin. Harusnya ga ada masalah buat dia. Kan kata dia, agamaku itu agama yang salah, kenapa dia harus mikirin.
Ketika Allah mengarahkan Rasulullah untuk shalat menghadap Ka’bah, komunitas Yahudi menjadi sangat tersinggung.
“Lho, gimana ini? Ada apa ini? Kenapa dia pindah kiblatnya???!!!”
Jika agama ini, Islam, bukan agama kamu, kenapa kamu pikirin?
Fakta bahwa mereka, kaum Yahudi, sangat tersinggung dengan berpindahnya arah kiblat, menyingkapkan sebuah tabir. Mengungkapkan sesuatu. Membongkar apa yang selama ini tersembunyi. Bahwa mereka sebenarnya tahu. Tahu bahwa Islam adalah agama yang benar.
Saat Rasulullah masih shalat menghadap Yerusalem, arah yang sama dengan arah mereka menghadap saat sembahyang, mereka berpikir bahwa Allah tidak akan terlalu marah. Setidaknya mereka masih menghadap kiblat yang sama.
Rasulullah juga dulu puasa di hari-hari yang sama dengan hari-hari mereka berpuasa. Membuat mereka lebih nyaman menjalani agama mereka.
Tapi ketika ibukota itu berubah, ketika Rasulullah tidak lagi menghadap Yerusalem, ketika Ka’bah adalah arah kiblatnya, maka diproklamasikanlah bangsa yang baru. Mereka tidak termasuk bagian dari bangsa yang baru. Kalo mau join jadi member dari bangsa yang baru ini, mereka harus mengubah arah kiblatnya juga.
Mereka kesal. Apa yang mereka sembunyikan selama ini, keluar ke permukaan. Sehingga mereka bilang, maa wallaahum ‘an qiblatihimullatii kaanuu ‘alayhaa (QS 2: 142). “Apa yang membuat orang-orang Muslim berpaling dari kiblat yang dulu? Kan dulu kiblatnya Yerusalem?”
Saat bertanya seperti itu, kaum Yahudi itu secara bodoh menjelaskan di depan publik bahwa mereka menyembunyikan kebenaran. Itu lah kenapa mereka disebut orang-orang yang bodoh di antara umat manusia.
Kenapa mereka disebut manusia bodoh? Karena mereka tidak bisa lagi menahan apa yang selama ini mereka sembunyikan.
Allah bilang, sayaquulussufahaa’. Mereka akan berkata. Allah tidak bilang sayaquulul yahuud. Atau sayaquulunnashaaraa.
Bukan “Kaum Yahudi akan berkata”.
Bukan “Kaum Nasrani akan berkata”.
Tapi “Orang-orang bodoh akan berkata.”
Mungkin kamu akan berpendapat bahwa saat itu, saat ayat ini turun, para sahabat bertanya-tanya. Siapa yang dimaksud dengan orang-orang yang bodoh itu. Siapa yang akan berkata maa wallahum ‘an qiblatihimullatii kaanuu ‘alayhaa itu.
Belakangan baru mereka tahu. Oh, ternyata itu dia orang-orangnya yang ngomong gitu. Iya, bener. Mereka protes seperti itu. Apa yang mereka katakan persis seperti yang sudah diprediksi oleh Al-Qur’an. Berarti mereka itu tuh yang disebut sebagai orang-orang yang bodoh.
Seakan-akan Allah bilang tidak ada yang lebih bodoh dari mereka itu.
*****
Lantas bagaimana merespon kata-kata manusia bodoh itu? Apa jawabannya? Qul lillaahil masyriqu wal maghrib. “Bilang sama mereka, Allah pemilik timur dan barat.”
Kenapa jawaban ini penting? Karena jawaban itu menegaskan bahwa satu-satunya yang penting adalah bahwa kamu taat sama Allah. Arah kiblat itu tidak lebih penting. Yang lebih penting adalah kamu patuh sama Allah.
Bahkan sebelum ayat ke-142 ini. Di ayat ke-115, Allah juga bilang “wa lillaahil masyriqu wal maghribu fa aynamaa tuwalluu fatsamma wajhullaahi innallaaha waasi’un ‘aliim”. Timur dan barat itu milik Allah. Di mana pun kamu berada di bumi, ke mana pun kamu menghadap, di sanalah wajah Allah.
Ini bukan ayat tentang kiblat. Juga bukan tentang masjidil haram. Allah bilang, kamu akan ketemu Allah di mana pun kamu berada.
Untuk kaum Yahudi, jika mereka tidak menghadap Yerusalem, itu seperti mereka diklaim kafir. Seperti mereka keluar dari agama mereka.
Begitu Rasulullah arah kiblatnya pindah ke Ka’bah, mereka panik. Mereka ingin, kiblat Umat Islam tetap Yerusalem.
Di ayat ini Allah menjawab, Allah tidak di sana. Allah pemilik timur dan barat. Ke mana pun wajahmu menghadap, tidak masalah. Di sanalah wajah Allah.
Di mana pun kamu berada, Allah bersamamu. Di mana pun itu. Innallaaha waasi’un ‘aliim. Allah Maha Luas. Allah Maha Mengetahui.
Kadang-kadang anak-anak melihat gambar Ka’bah di dinding rumah. Atau pernak-pernik dengan simbol Ka’bah. Atau dapat tugas dari sekolah bikin miniatur Ka’bah. Dan kita menyebutnya rumah Allah.
Untuk seorang anak, apa yang mereka pikirkan?
Allah hidup di sana. Imajinasi seorang bocah mungkin bertanya, apakah Allah perlu satu tempat tidur? Apakah Allah punya ruang tambahan di dalam rumah itu?
Anak kecil berumur tiga tahun bisa berpikir seperti itu. Ga masalah.
Tapi kadang-kadang tanpa kita sadari kita ketemu bahkan seorang muslim dewasa, yang pergi ke Ka’bah, bawa gunting, menggunting sebagian kain dari Ka’bah, memasukkannya ke ihram, membawanya pulang, dan menempelkannya di dinding rumahnya. Apakah potongan kain itu punya nilai? Punya nilai ibadah? Sesuatu yang suci?
Tidak. Yang suci adalah mematuhi perintah Allah untuk shalat menghadap ke arah tempat kain itu berasal.
Bagian paling suci dari Ka’bah adalah hajar aswad. Paling bernilai. Tapi bagaimana sikap seorang Umar bin Khattab terhadap bagian yang paling suci dari Baitullah ini?
Umar bin Khattab memandang hajar aswad. Beliau bilang, “Aku tahu kamu cuma sebuah batu. Tidak bermanfaat dan tidak membahayakan. Aku hanya menciummu karena Nabi menciummu. Itu saja. Kamu tetap saja sebuah batu.”
Apakah kita punya kejernihan berpikir dalam menyikapi rumah Allah dan hajar aswad? Bagaimana kondisi umat ini saat ini? Saat mereka ke Baitullah? Berebut menciumnya? Mereka seperti tergila-gila dengan batu itu! Padahal pelajaran dari ayat ini adalah, loyalitas kamu bukan kepada batu itu. Loyalitas kamu dan pengabdianmu hanyalah kepada Allah. Lillaahil masyriqu wal maghrib. Tuhannya timur dan barat.
*****
Ditulis oleh Heru Wibowo
Source:
Depth Study of Surah Al Baqarah || Nouman Ali Khan || 25th October 2016 || Malaysia Tour
*****