Kita semua sudah sama-sama tahu, dalam hidup ini ada pertanyaan-pertanyaan yang bisa merusak mood seseorang. Namun yang saya herankan, mengapa orang-orang masih sering mengajukan pertanyaan yang berpotensi menyinggung perasaan?
Tentang jenis-jenis pertanyaan yang bisa merusak mood, mungkin setiap orang punya pendapat yang berbeda-beda. Tergantung dengan fase yang tengah dialaminya. Dahulu ketika saya sudah semester 10 dan belum lulus kuliah, saya pikir pertanyaan yang paling sulit dalam hidup ini adalah, “Kapan lulus kuliah?”
Namun ketika saya berumur 27 tahun dan sudah lulus kuliah, saya berubah pikiran. Pertanyaan tersulit adalah, “Kapan kamu nikah?”
Mungkin tidak semua orang tahu, bagaimana perasaan wanita berumur 27 tahun ketika belum ada sedikitpun tanda adanya pria yang hendak melamarnya, dan ditanya kapan nikah?
Kali ini saya akan share pengalaman saya saat itu. Perasaan saya kala itu bisa dibilang labil. Ketika pertanyaan itu datang, kadang saya bisa menganggapnya sebagai angin lalu. Tapi di saat-saat tertentu adakalanya saya menjadi begitu sensitif. Terutama saat menjelang PMS. Dan saya harus siap menghadapi pertanyaan itu di berbagai situasi.
Pertanyaan “kapan nikah” ibarat kerupuk, nggak begitu penting, bukan main menu tetapi selalu hadir di berbagai menu makanan apapun. Kadang diutarakan hanya untuk mengisi basa-basi pembicaraan. Apalagi kalau ada kabar teman yang nikah, maka selalu muncul pertanyaan, “Giliran kamu kapan?”
Jangan mengira, kita yang hanya diam dan sok cool ini, tidak mencemaskan keadaaan diri sendiri. Tentu kecemasan-kecemasan itu ada dan terkadang datang menghantui pikiran saya, “Nanti kalau sampai tua baru nikah, bisa punya anak apa nggak ya?”
“Kalau nanti beneran nggak ada cowok yang mau nikahin saya, apakah saya harus hidup seorang diri menghabiskan masa tua saya?”
Tentu saja kekhawatiran-kekhawatiran itu tidak kita utarakan ke publik. Saat itu saya sempat curhat ke salah seorang sahabat karib, “Kenapa ya orang selalu menanyakan hal-hal yang ia tahu kita nggak mungkin menjawabnya dengan terus terang.”
Contohnya saya. Kalau orang tanya kapan kamu nikah, nggak mungkin kan sekarang aku jawab, “Iya aku sebenarnya mau nikah. Apalagi adik perempuan kandungku baru dilamar orang. Sebenarnya keluargaku udah mendesak banget buat aku nikah, maunya dinikahkan bareng! Tapi gimana lagi sampai sekarang belum ada yang ngajakin nikah, padahal aku pingin banget buat nikah.”
Inilah perasaan terus terang yang saya alami waktu itu, tapi nggak mungkin kan saya bilang kayak gitu ke semua orang, gila aja.
Masih tentang pertanyaan, “Kapan menikah?”
Pertanyaan itu terasa semakin menyakitkan, apabila datang dari orang yang kita anggap dekat. Karena mungkin kita berharap orang-orang dekat selalu bisa mengerti kondisi kita.
Saat itu ada sobat yang menasihati, “Udahlah Din, yang sekarang jadi prioritas itu bagaimana caranya agar tahun ini kamu bisa nikah. Kata abangku, cowok bakal mikir berkali lipat buat nikahin cewek yang usianya melampaui 30 tahun.”
Saya harus jawab gimana coba. Masalahnya nikah itu nggak semudah ‘jual motor’, Nggak mungkinkan kita cari jodoh seperti kita ngiklanin motor:
“Tersedia wanita Jawa, umur 27 tahun, tanpa depe, bunga 0%, perawatan mudah, tidak puas bisa dikembalikan. Hanya berlaku pada masa promo sampai Desember 2018!”
Nggak mungkin kan saya kayak gitu? Dari semua orang yang menanyakan, hal yang terberat adalah dari keluarga. Kalau misalkan nemenin ortu di acara kondangan lalu ortu nanya, “Giliran kamu kapan nikahnya?”
Itu masih wajar ya, karena konteksnya masih sesuai dengan kondisinya saat itu. Tapi kalau misalkan di segala keadaan orang tua selalu meneror dengan pertanyaan, “Kamu nikahnya kapan?”
Itu bisa bikin stress juga.
Contoh:
– Komentar ortu saat tahu kita lagi sakit, “Makanya lekas nikah, agar kamu ada yang rawat.”
– Komentar ortu saat tahu lagi jualan online, “Makanya lekas nikah, agar ada yang bantuin.”
– Komentar ortu saat ada tetangga lahiran, “Tuh si Iyem udah punya anak dua, kamu kapan?”
Jadi inget kata-kata Raditya Dika, dia pernah bilang, “Saya khawatir ama nyokap, mungkin bentar lagi kalau ada kucing tetangga beranak, nyokap akan billang, ‘Lihat tuh kucing tetangga sudah beranak, kamu kapan?’”
Menjawab pertanyaan kapan nikah itu nggak gampang. Karena saking ngga gampangnya, hal ini sering jadi becandaan tragis antara saya dan teman karib saya. Kebetulan dia juga seorang wanita, sama seperti saya, umurnya 27 tahun dan belum nikah. Kalau kita pas jalan bareng, terus kita lihat pesawat.
Di antara kita berdua ada yang nyeletuk, “Yuk dada-dada ke pesawat, jangan-jangan di didalamnya ada jodoh kita,” kemudian kita dada-dada ke pesawat kayak orang gila. Begitu juga dengan metromini atau bus yang lewat. “Yuk dadah-dadah, jangan-jangan di dalamnya ada jodoh kita.”
Karena kemungkinan itu sangat amat banyak. Bayangkan dari semua orang yang kita temui itu cuma satu yang jadi jodoh kita. Dari ribuan bahkan jutaan orang cuma satu. Perlu campur tangan Allah untuk menyatukan dua orang sebagai pasangan suami istri.
Oleh sebab itu, Allah dalam ayatnya menyebutkan bahwa penyatuan itu sebagai tanda adanya kekuasaan-Nya. Penyatuan itu sampai disebut sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah. Which is, kalau Allah menyebutkan sesuatu sebagai tanda-tanda kuasaNya, maka artinya itu adalah suatu perkara yang amat besar.
Oleh sebab itu kalau ada orang yang bertanya kapan nikah, ngga bisa kita jawab dengan mudah. Semisal kita jawab “nanti akhir tahun” Karena jodoh tidak seperti THR yang selalu keluar akhir tahun. Atau juga nggak bisa kita jawab, “Iya saya akan nikah, kalau nanti nggak hujan.” Emang ente pikir nikah segampang beli roti bakar? Jadi kenapa nggak tanya pertanyaan-pertanyaan yang kita bakal seneng jawabnya. Seperti, “Kapan Futsal lagi? Kapan makan bareng lagi?” Gitu kan lebih enak.
Saat itu saya sempat kesal pada pertanyaan yang mendesak “kapan nikah”. Seolah-seolah saya ini adalah makanan yang sebentar lagi jatuh tanggal kadaluarsa. Kalau nggak segera nikah, seolah-olah saya adalah makanan basi yang sangat amat disayangkan karena tidak bisa dikonsumsi alias tidak ada gunanya lagi.
Kalau ada kerabat yang bilang agar saya tidak terlalu pilih-pilih, saya mesem aja. Walau sebenarnya dalam hati berontak. Gimana bisa dikatakan pilih-pilih, ada orang datang aja nggak. Pilih-pilih kan kalau ada yang melamar, lha ini ada yang datang aja nggak. Itu orang kan nggak tahu, sudah dua tahun yang lalu saya berazam. “Nanti di umur 25 tahun, jika ada seorang laki-laki yang datang melamar, saya akan menerimanya. Saya tidak mempedulikan pendidikan, pekerjaan dsb. Asal laki-laki itu mempunyai akhlak yang baik saya akan menerimanya.” Namun apa daya, di umur yang di umur 27 tahun ini belum ada yang ngelamar.
Dahulu pada saat saya berumur 19 tahun, sudah ada yang mentaarufi saya, namun ketika itu saya belum siap, dan istikharah saya juga mengatakan tidak. Lantas saya menolak ikhwan tersebut. Salah seorang kerabat mengatakan, “Andai saja dulu saya menerima lamaran orang tersebut.”
Untuk itu saya mau berdiri dan mengatakan pada dunia, jika ada wanita yang belum menikah di usianya yang sudah matang, jangan buru-buru men-judge dia itu pilih-pilih. Begitu juga dengan taaruf dia yang selalu gagal. Bisa jadi itu adalah jalan yang harus ia tempuh untuk mendapatkan jodoh yang sebenarnya.
Sekarang, ketika seorang laki-laki yang sama sekali tidak saya sangka datang melamar saya dengan cara yang tidak saya duga begitu dimudahkannya. Saya berpikir, bisa jadi penolakan saya waktu itu, dan kegagalan taaruf di masa lalu adalah jalan untuk menemukan jodoh saya yang sebenarnya.
Btw kalau flash back jaman-jaman getir mengenang pertanyaan kapan nikah, ada pelajaran berharga bagi hidup saya. Saat itu saya merasa hidup saya oke-oke saja, namun pertanyaan dan pendapat dari orang-orang (terutama orang terdekatlah) yang sering membuat saya down. Padahal pertanyaan dan pendapat-pendapat itu sama sekali tidak akan bisa memberi pengaruh pada hidup kita, cuma persepsi pada diri sendirilah yang mempengaruhi kinerja kita. Jadi pintar-pintarnya kita saja, untuk memfilter agar persepsi buruk mereka tidak mempengaruhi bagaimana kita memandang diri sendiri.
Kira-kira seperti itulah yang saya ceritakan kepada seorang kawan ketika dia curhat, bagaimana pertanyaan teror “kapan nikah” di usia dia yang ke-35 tahun ini membuat dia sering merasa down.
Padanya saya juga katakan: “Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri untuk sesuatu yang di luar jangkauan kita. Juga jangan gampang down dengan banyak desakan dan pendapat. Tetaplah menjadi pribadi yang bersemangat jika kamu yakin, kamu berada di koridor yang tepat.” 🙂
Tulisan Arkandini Leo
Sumber: https://www.facebook.com/notes/arkandini-leo/menghadapi-teror-kapan-nikah/10155809683154542/
Ya klo bagi saya yg nanya msh tetangga, tmen g sakit hati, tp klo keluarga besar yg nanya sakit sih, apalgi kluarga yg ktemunya aja cm 1 thn skali, udh bkin sesak dan sakit hati kdg2, tp skrg udh mles nanggepin, cm blg minta doa aja
LikeLike