Islam tidak datang dengan sesuatu yang tidak rasional, namun membawa hal-hal yang supra rasional, artinya rasionalitas tidak bisa dan tidak mampu berperan menilai validitasnya. Islam itu melampaui jangkauan akal budi. Islam tidak datang dengan segala sesuatu yang bertentangan dengan akal budi, namun dengan hal-hal yang bisa saja tidak dipahami oleh akal budi, bahkan dianggap tidak logis. Islam akan mengatakan hal tersebut kepada Anda.
Mungkin saja pikiran kita tidak sepenuhnya memahami, namun Islam takkan mengatakan hal-hal yang melawan yang bertentangan dengan pikiran, yang telah Allah subhanahu wa ta’ala berkahi kita dengannya.
Dan ketika kita perhatikan pertanyaan yang ditanyakan pemuda dan pemudia berusia 17, 18, 19, 20, hingga awal 20an, kesemuanya mau tidak mau terpusat kepada isu, yang kesemuanya modern, kesemuanya muncul dari paradigma budaya tertentu.
Dengan kata lain pertanyaan yang orang-orang dari generasi kita tanyakan tidak pernah muncul pada generasi sebelumnya, atau generasi sebelum mereka, atau generasi setelahnya lagi hingga kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan sebelumnya. Inilah pertanyaan yang diajukan oleh masyarakat modern.
Pertanyaan tentang keberadaan Tuhan, seksualitas dan orientasinya, peran gender. Hal ini tidak pernah ada, masyarakat pada umumnya menerima hal ini sebagai kebenaran. Dan seratus tahun dari sekarang pertanyaan yang akan dilemparkan generasi Muslim masa itu sama sekali tidak diketahui, tidak pernah terpikirkan, oleh generasi kita saat ini.
Jadi, alih-alih begitu mudah mempertanyakan Islam, mundurlah selangkah dan jadilah sama kritisnya terhadap pertanyaan Anda sendiri dan dari mana pertanyaan itu berasal. Dari pada langsung meloncat kepada Al-Qur’an, dan berkata, “Mengapa Qur’an mengatakan ini?”
Mundurlah selangkah, dan tanyalah diri Anda, “Mengapa saya mempertanyakan hal ini, dan bukan mempertanyakan pertanyaan 500 atau seribu tahun lalu berada di posisi teratas pikiran orang-orang masa itu?”
Dan ketika Anda mulai mempertimbangkannya, Ingatlah! Anda dan saya, kita semua adalah produk dari peradaban tertentu, dari aturan, etika, dan nilai moral tertentu, dari paradigma tertentu. Dan pertanyaan yang disuapkan kepada kita oleh kondisi dimana kita berada, kita juga harus cukup berani untuk menantang pertanyaan tersebut.
Mengapa kita tidak cukup bernyali untuk menantang pertanyaan itu bahkan seberani menantang Qur’an? Pertanyaan itu akan berubah, sedangkan Al-Qur’an seperti kita tahu tetap tidak berubah.
Teolog besar, Ibnu Taimiyyah, mengkritik pendapat bahwa; akal budi saja akan selalu bisa mencapai kebenaran. Beliau mengemukaan contoh-contoh yang indah. Pertama dan yang utama, bahkan kemustahilan menjabarkan apa itu pertimbangan akal budi apa yang dimaksud dengan rasional, apa itu intelektual.
Apa yang kita anggap sebagai intelektual, tidak dianggap intelektual satu generasi yang lalu. Apa yang kita anggap rasional, tidak rasional seratus tahun lalu. Rasionalitas itu sendiri berubah menurut masyarakat, waktu, dan tempat.
Oleh karenanya tidak ada yang bisa kita nilai dari rasionalitas itu sendiri. Faktanya dalam kehidupan kita sendiri, sudah berapa kalikah kita sudah bertindak setelah mempertimbangkan bahwa hal ini sangat logis dan masuk akal, bahwa ini adalah keputusan yang tepat.
Dan hari, minggu, bulan, tahun berikutnya, kita kembali bercermin dan berkata, “Betapa bodohnya keputusan yang telah saya buat.”
“Bagaimana bisa saya berpikir demikian?”
Bukankah kita sendiri sudah mengalami hal ini? Lalu bagaimana mungkin kita mengambil dalam tanda kutip “akal budi” sebagai sesuatu yang melebihi dan berada di atas segalanya dan selalu mengambil kebenaran hakiki berdasarkan akal budi?
Apakah ini berarti sebagaimana saya katakan tadi bahwa Islam tidak ada hubungannya dengan akal budi? Tidak, sama sekali tidak.
Allah subhanahu wa ta’ala menyuruh kita untuk berpikir, merenung. Allah subhanahu wa ta’ala menyuruh kita di dalam Al-Qur’an, untuk mentafakkuri, mentadaburi, mentadzakuri tanda-tanda kebesaranNya.
Namun jika kita perhatikan perintah Al-Qur’an untuk berpikir dan bercermin Al-Qur’an tidak pernah menyuruh kita, “Tantanglah wahyu Allah!”
Sebaliknya Al-Qur’an menyuruh non-Muslim, dan berkata, “Pikirkanlah! Apakah Islam itu benar atau tidak?”
“Pikirkanlah! Apakah Nabi shallallahu alaihi wa sallam itu benar atau tidak?”
“Pikirkanlah! Apakah buku ini, Al-Qur’an, berasal dari Allah atau tidak?”
Begitu Anda sampai kepada kesimpulan, bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang berasal dari Allah, dan bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam benar-benar seorang utusan, disitulah terlihat bahwa Anda sudah menggunakan pikiran Anda.
Begitu Anda tunduk dan menerima bahwa Al-Qur’an adalah kita dari Allah subhanahu wa ta’ala, maka Anda tidak seharusnya mempertanyakan pertanyaan sehubungan dengan setiap detil, hukum, dan kebijakan.
Kita takkan pernah memahami mengapa kita salat lima kali sehari, dan bukan empat atau enam kali. Tidak ada jawaban tuntas yang bisa kita berikan, kita takkan bisa memahami mengapa harus berwudhu dengan cara tertentu, mengapa harus rukuk sekali tapi sujud dua kali setiap rakaat.
Ini bukanlah sesuatu yang sepenuhnya bisa dimengerti secara rasional, namun bukan berarti ini tidak rasional. Ini tidak menentang akal budi, tapi ini ada untuk dipatuhi.
Seeorang bisa saja berkata, “Saya tidak mengerti alasan dibalik lima kali salat sehari.”
Itu konsekuensinya, Anda sudah menerima Al-Qur’an, -kami asumsikan Anda sudah menerima Al-Qur’an-, jika sudah menerimanya maka Anda harus menerima keseluruhan isinya.
Jadi, akal budi punya peran dan tempat untuk menuntun Anda kepada fakta bahwa Nabi Mohammad shallallahu alaihi wa sallam adalah seorang utusan, bahwa Al-Qur’an adalah kitab dari Allah subhanahu wa ta’ala. Begitu Anda mengakuinya, Anda harus menerima semua hal yang berhubungan dengannya.
Jika kita perhatikan pertanyaan yang diajukan para pemuda dan pemudi ini, selalu tentang masalah fikih yang tidak terlalu signifikan. “Mengapa Islam mengizinkan ini, mengapa Al-Qur’an mengatakan itu?”
Kesemuanya berhubungan dengan aspek legal (hukum). Mereka tidak terkait dengan landasan atau esensi dari agama. Dan kita tidak menilai validitas suatu agama dari setiap detil hukumnya.
“Bagaimana mungkin Islam itu benar jika kita diharuskan salat lima waktu sehari semalam?”
Bukan begitu cara menilai Islam. Apa dasar kita menilai Islam? Teologi, tujuan hidup, fakta bahwa Al-Qur’an adalah kitab dari Allah. Begitu kita bisa menetapkan bahwa semua itu benar, setelahnya baru kita bisa menerima bahwa pesan itu apa adanya.
Subtitle: NAK Indonesia
Donasi: https://www.kitabisa.com/nakindonesia
English Trancript: https://islamsubtitle.wordpress.com/2018/08/01/why-muslims-leave-islam/