Mau Salat Kok Minta Ditemenin
Mengejar deadline sebuah proyek membuat kami sering harus pulang malam. salat Maghrib memang, di mushalla kantor. Salat Isya beda-beda. Ada yang salat Isya di mushalla kantor juga, ada yang di masjid sedapatnya di perjalanan pulang ke rumah, ada juga yang berikrar, “Nanti di rumah saja salatnya karena waktu Isya yang panjang.”
Mushalla kantor kami ada di lantai dua sedangkan office rooms ada di lantai satu. Biasanya ada beberapa yang on time, langsung naik ke lantai dua begitu masuk waktu salat. Mereka adalah jamaah Maghrib kloter pertama. Disusul beberapa menit kemudian oleh kloter kedua. Tidak jarang ada yang kloter ketiga juga, bisa karena sedang ada paket pekerjaan yang tidak bisa serta merta ditinggal, atau karena mengalah biar tidak terlalu berdesak-desakan semuanya di awal waktu.
Malam itu saya baru saja turun setelah salat Isya di mushalla, kembali ke laptop – dalam arti yang sebenarnya – menenggelamkan diri lagi dalam pekerjaan di workspace saya, lantai satu. Sebuah pertanyaan tiba-tiba memecah keheningan. Suara itu datang dari seorang ibu yang duduk di seberang depan saya, ditujukan ke beberapa ibu lainnya yang duduk di seberang belakang saya. Rupanya tinggal ibu itu satu-satunya yang belum salat Isya, dan minta ditemenin.
Meski saya tidak begitu terpengaruh dan tetap fokus ke pekerjaan, di perjalanan pulang malam itu kejadian tadi melintas kembali di pikiran saya. Iya, ada yang menarik. Seseorang yang ingin menemui Tuhannya, tapi kenapa ya dia seperti takut terhadap sesuatu dan minta ditemani.
Mungkin saya cukup lelah hari itu, sehingga segera berhenti memikirkan hal itu, kemudian berganti memikirkan bagaimana caranya menghilangkan kepenatan tubuh ini dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Sampai rumah tidak ada yang ingin dilakukan melainkan tidur.
Saya lupa persisnya, antara dua atau tiga tahun setelah kejadian malam itu, saya sudah berada di negeri orang. Penugasan dari kantor, long-term assignment selama dua tahun. Berada di apartemen yang disediakan perusahaan, sendirian. Istri masih tetap bekerja di tanah air, anak-anak practically tidak ikut saya. Salah satu alasannya karena tidak ada Islamic school di sini.
Di apartemen dua lantai itu, kejadian ‘salat minta ditemenin’ itu terulang. Saya biasa tidur di kamar tidur lantai bawah, salatnya di lantai atas. Malam itu begitu senyap, dan entah kenapa, saya merasa ada yang sedikit berbeda, bulu kuduk jadi merinding, gambaran hal-hal yang menyeramkan melintas silih berganti. Mau salat munfarid tapi rasanya ingin ada seorang teman yang menemani.
Sebelum salat, saya buka mushaf Al-Quran, berharap bisa membantu menenangkan hati. Ada satu halaman yang saya buka saat itu, sesuai posisi pita pembatas bacaan, pas di halaman 73 atau QS Ali Imran, surat ke-3, ayat 174 hingga 180. Dari satu halaman itu, ayat yang paling membekas adalah ayat ke-175,
إِنَّمَا ذَٰلِكُمُ ٱلشَّيْطَـٰنُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَآءَهُۥ فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Sesungguhnya mereka hanyalah setan yang menakut-nakuti kamu dengan teman-teman setianya, karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu orang-orang beriman.”
Dalam kesendirian itu, saya menginterogasi diri: apakah mau dimasukkan ke dalam kategori orang yang tidak beriman? Jawabannya: tidak mau! Nah, jika yang saya mau masuk ke dalam kategori orang yang beriman, berarti takutnya harusnya hanya sama Allah, dong! Bukan yang lain!
Ayat 175 itu saya baca dalam salat malam, malam itu. Agak saya keraskan bacaannya, karena, meski barusan berasa dapat suntikan kekuatan dari Allah, tetap saja kesenyapan malam itu seperti menciptakan suasana ‘dunia lain’ yang dipenuhi bayangan-bayangan yang menakutkan, yang coba kulawan dengan sedikit mengeraskan bacaan untuk meneguhkan hatiku.
Tentang ayat ini, saat memberikan lecture di depan audiens peserta MAS-ICNA Annual Convention tahun lalu, Ustad Nouman menuturkan, “Every time I and you stand in front of Allah, it’s not just because we worship Allah, it’s not just because we believe in one God, that is also an acknowledgment that you fear no one but Allah, that we bow before no one but Allah, we humble ourselves before no one but Allah.”
Setiap kali kita berdiri salat menghadap Allah, itu bukan semata-mata karena kita menyembah Allah, itu bukan semata-mata karena kita percaya hanya pada satu Tuhan, itu adalah juga sebuah pengakuan bahwa kita tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah, bahwa kita tidak membungkuk di hadapan siapapun kecuali kepada Allah, kita tidak merendahkan diri kecuali kepada Allah.
Dan setiap kali aku berdiri di malam hari, dan sepi menghinggap, diikuti bayangan-bayangan maupun sayup-sayup suara yang bikin bulu kuduk berdiri, aku membaca ayat ini. Bukan untuk jompa-jampi, tapi sebagai peneguh hati, bahwa hanya Allah lah yang layak ditakuti.
=================
Video: “Nouman Ali Khan – surah Ali Imran verse 175-180”
Link video: https://www.youtube.com/watch?v=ax8BiXutCpo
Publisher: gibreya
MFA: QS Ali Imran, 3:175
Word count: 748 words