يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Ali-Imran ayat 102)
Seorang gadis Yahudi berusia 16 tahun yang tinggal di Israel tertarik kepada Islam melalui riset online-nya sendiri. Dia belajar Islam dari sebuah kelompok Muslim yang memiliki website berbahasa Hebrew. Dengan materi yang dipelajarinya dari kelompok tersebut, dia mulai belajar salat sendiri. Begitu umurnya genap 18 tahun, ketika undang-undang sudah memperbolehkan, gadis ini mengepak barang-barangnya dan meminta kelompok tersebut untuk mencarikannya tempat tinggal karena agama barunya ditentang oleh keluarganya.
Mereka berhasil mengeluarkannya dari Yerusalem, dia lalu ditampung oleh sebuah keluarga Muslim di luar kota itu. Pada usia 18 tahun, setiap penduduk Israel terkena wajib militer, demikian pula dengan gadis ini. Dengan ditemani seorang brother, dia berangkat menuju perbatasan untuk menyerahkan surat-suratnya. Si brother hanya mengantarnya hingga jarak satu mil dari pos penjagaan karena mengkhawatirkan keselamatannya sendiri.
Gadis ini dengan hijabnya melangkah sendiri ke pos penjagaan, lalu menyerahkan surat-suratnya sambil mengatakan bahwa dia sekarang adalah Muslim. Setelah melalui proses panjang akhirnya diputuskan bahwa dia dibebaskan dari wajib militer. Saat ini dia giat mempelajari bahasa Arab dan menghafal Al-Qur’an.
Termahsyur di dalam sirah adalah kisah Islamnya Bilal bin Rabah, penghulu para muazin. Bilal yang blasteran Arab dan Ethiopia adalah seorang pangeran karena ibunya adalah seorang putri Ethiopia. Ayah dan ibunya dijual sebagai budak ke tanah Arab. Suatu hari Bilal mendengar tuannya Umayyah bin Khalaf membicarakan dakwah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang tauhid. Meskipun pembicaraan Umayyah itu pada dasarnya adalah hujatan bagi dakwah beliau, Bilal dengan cahaya dari Allah azza wa jalla berhasil menyimpulkan bahwa apa yang beliau sampaikan adalah benar, dan akhirnya dia masuk Islam.
Iman yang dimilikinya begitu dahsyat sehingga mampu menghadapi siksaan fisik dan mental yang datang dari majikannya. Dia diikat dan dibiarkan kelaparan, lalu dipaksa untuk mencium dan menyembah patung Latta dan ‘Uzza. Bagaikan hewan, dia diseret dengan tali yang diikat pada kalung di lehernya. Mereka juga menempelkan besi yang membara ditubuhnya. Pada akhirnya mereka membaringkannya di padang pasir dan menghimpitkan batu besar di tubuhnya. Selama berlangsungnya semua siksaan ini, Bilal tiada henti mengucapkan ‘ahadun ahad, satu satu,’ dan memang inilah satu-satunya yang dia ketahui tentang Allah azza wa jalla.
Jika kita berkaca kepada mereka, tidakkah besarnya rasa cinta mereka terhadap Islam membuat kita iri? Apapun mereka berikan demi Islam, termasuk keluarga, teman, bahkan nyawa. Sementara kita sendiri yang diberi karunia Islam sejak lahir berikut segala fasilitasnya, terkadang masih tidak mampu untuk meninggalkan perbuatan dosa (the petty little sins, maaf untuk istilah yang mungkin kurang tepat). Apa lagi untuk merelakan sesuatu yang besar, sesuatu yang kita cintai untuk Islam.
Kapan terakhir kalinya kita melihat seseorang yang memiliki iman sekaliber persecution proof seperti Bilal bin Rabah, atau setidaknya ketangguhan seperti yang dimiliki oleh gadis muallaf itu? Apakah kita memerlukan tantangan sehebat yang mereka alami untuk memicu kita untuk bangkit, bersyukur, dan berusaha untuk menjadi Muslim yang lebih baik? Atau ketidaktahuan kita tentang hakikat menjadi seorang Muslim, yang membuat kita kehilangan semangat itu?
Banyak di antara kita tidak menyadari betapa beruntungnya kita telah dipilih Allah azza wa jalla terlahir sebagai Muslim. Seringkali kita mengganggap Islam layaknya hak lahir, sesuatu yang lumrah menyertai keberadaan kita. Keadaan memburuk setelah kita beranjak dewasa, karena satu-satunya yang menjadi penghubung antara kita dengan Islam hanyalah orang tua kita.
Kita salat dan puasa karena disuruh orang tua. Mengapa saat enak-enaknya tidur harus bangun untuk subuhan, dan mengapa harus bersusah payah menahan haus dan lapar ketika Ramadan tiba? Simply karena disuruh orang tua.
Jadi begitu tiba saatnya kita mandiri, jauh dari orang tua, tidak ada lagi perintah yang harus kita taati, maka perlahan Islam pun kita jauhi. Kultur timur tidak banyak memberi ruang bagi pola pikir kritis, padahal Islam mengajarkan kita untuk bertanya dan mencari tahu, hingga kita paham.
Ustad Nouman Ali Khan mengatakan bahwa bertanya itu bukan hanya hak namun sekaligus tanggung jawab. Apa yang sedang terjadi saat ini adalah terhentinya proses berpikir di kalangan Muslim yang menjadi Muslim karena keturunan.
Jika kita kembalikan kepada para muallaf tadi, barangkali inilah yang membedakan kita dengan mereka. Mereka berangkat dari sebuah pencarian, rasa ingin tahu yang besar, yang memicu mereka untuk bertanya dan belajar hingga mereka paham. Pada akhirnya pemahaman yang baik inilah yang menumbuhkan rasa cinta yang begitu dahsyat sehingga sehingga siap menghadapi tantangan dalam bentuk apapun.
Lebih jauh Ustad Nouman menjelaskan bahwa seseorang menjadi Muslim adalah karena kehendak Allah Azza wa Jalla, pilihanNya. Seorang manajer HRD yang berpengalaman pastilah memilih orang yang cakap untuk diterima di perusahaannya. Yang memilih kita untuk menjadi Muslim adalah Allah azza wa jalla, bukan seorang manajer HRD. Bahwa kita mengucapkan laa ilaaha illallah, Muhammad rasullullah adalah pilihan yang tepat dan terseleksi olehNya.
Ada begitu banyak manusia yang hidup di planet ini, tapi Allah memilih kita untuk menjadi Muslim. Jika kita adalah pilihan Allah, maka sudah tidak ada ruang lagi bagi kita untuk meragukan diri kita sendiri. Bukankah seorang mahasiswa akan sangat bangga jika dipilih sebagai mahasiswa teladan oleh rektornya, dan seorang pegawai akan naik harga dirinya jika disematkan pin employee of the month oleh direkturnya? Dan keduanya pasti akan berusaha sekeras mungkin untuk mempertahankan bahkan meningkatkan capaiannya.
Demikian juga kita, Muslim, manusia pilihan, seharusnya bersyukur dan berbangga terlahir menjadi seorang Muslim. Ini diwujudkan dalam suatu kerja keras, struggle for Allah whatever it takes. Kedengarannya tidak mudah mengingat apa yang harus kita hadapi saat ini. Namun Dia tahu persis tantangan seperti apa yang akan kita hadapi dan Dia menjanjikan kemudahan bagi kita untuk menghadapinya. Yakinlah, Allah azza wa jalla tidak salah pilih.
Sumber:
Stories of Israeli Jewish Converts Embracing Islam | Dr. Sh. Yasir Qadhi https://www.youtube.com/watch?v=bZgmQ1V0LDQ
Bilal ibn Rabah (#Unbreakable) – Omar Suleiman – Quran Weekly
https://www.youtube.com/watch?v=Bn-g6MSKiVo
ALLAH CHOSE YOU! (MOTIVATIONAL VIDEO) | Subtitled
https://www.youtube.com/watch?v=6izGDKkfF_Y
Why We are Muslim? | Subtitled
https://www.youtube.com/watch?v=DoBi3MwYPZo