[Transkrip Kartun Islami] Kerendahhatian Intelektual – Nouman Ali Khan


Ini adalah nasihat singkat khususnya bagi para pemuda dan pemudi kita, yang dengan cepat menyerap banyak pengetahuan, dan menjadi kontributor di dalam masyarakat. Nasihat ini sehubungan dengan menjaga rasa rendah hati kalian, khususnya kerendahhatian dalam hal intelektual.

Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Fauqa kulli dzii ‘ilmin ‘aliim.

Di atas semua orang yang berpengetahuan, ada yang lebih mumpuni, tentunya di atas semua itu adalah Allah subhanahu wa ta’ala.

Ketika saya masih muda, bersama teman-teman, kami menghadiri sebuah acara, kami pelajari sesuatu, kami catat hal-hal penting, kami merasa seperti sudah sangat paham dengan hal ini, lalu kami bisa mendebat yang lain tentang hal ini, dan kami beritahukan kepada seseorang, “Orang itu tidak tahu apa-apa.

Tidakkah dia tahu ayat ini, hadis ini, bukti ini, ulama ini bilang begini, ulama itu bilang begitu?

Kalian punya seluruh referensi ini di kepala kalian yang kalian gunakan untuk memukul mereka seperti memukul bola ping pong ke arah lawan. Kalian bidik lawan dengan semua bukti ini, seakan tujuan kalian mempelajari semua ini agar kalian bisa menjatuhkan seseorang di dalam perdebatan.

Pengetahuan yang kalian peroleh tidak membuat kalian rendah hati, sebaliknya membuang rasa rendah hati kalian. Ini adalah perilaku mereka yang tidak beriman. Mereka yang tidak beriman menuntut ilmu untuk menempatkan gelar di samping namanya. Doktor fulan, Ph.D fulan, atau Professor fulanah. Bahkan sebelum namanya, mereka sebutkan dulu gelarnya, agar Anda semua tahu; saya lebih berilmu dari Anda.

Namun jika kita berbicara tentang ilmu agama, seharusnya ia menjadi sesuatu; yang semakin ditambah, semakin rendah hati pemiliknya. Tapi jika ilmu yang kalian miliki, semakin bertambah, semakin membuat kalian mudah menghakimi, kalian semakin menjadi; ulama ini sesat, ulama itu salah, ulama ini menyimpang, yang ini begini, yang itu begitu.

Seberapa banyak sudah kalian pelajari dibandingkan mereka, sehingga kalian merasa sudah layak berkomentar? Ini bukan hanya terkait dengan mereka, tapi juga terhadap imam di lingkungan kalian, atau para tetua di tempat tinggal kalian.

Jika tidak setuju dengan sesuatu yang telah mereka perbuat, pertama, kalian tidak punya kapasitas untuk mengeluarkan fatwa tentang mereka, kalian tidak layak.

Saya seorang pemula, wallahi, saya bukan pura-pura rendah hati. Saya harus mempelajari 28 hingga 29 tafsir untuk satu ayat saja, untuk memperoleh sedikit pemahaman tentang apa yang dikatakan ayat itu. Secara pribadi, jika itu tentang hadis, saya memilih diam.

Mengapa? Karena saya sadar saya tidak layak untuk membahasnya. Banyak bidang pengetahuan yang terkait dengan hal ini, dalam mengambil kesimpulan dari hadis Nabi shalallahu alaihi wassalam, mulai dari masalah sanad hingga keadaan di mana hadis ini disabdakan, hingga masalah bagaimana hadis ini dipahami oleh kesepakatan pada sahabat radiyallahu anhum ajma’iin, hingga bagaimana ia dipahami oleh fuqaha terhebat agama ini.

Ada beberapa masalah yang rumit di sini, dan jika kalian dengan gampangnya mengambil kitab Bukhari saja, lalu membaca terjemahan sebuah hadis, kemudian mulai berdebat dengan seseorang, ini akan membahayakan bagi sunnah Nabi ‘alaihi salatu wassalam.

Kedua, kalian bahkan tidak paham bahasanya. Kalian hanya membaca dan melontarkan langsung dari terjemahan. Beraninya kalian? Ada siswa datang kepada Imam As-Shafi’i rahimahullah dan berkata, “Kami ingin belajar dari Anda.

Dia menjawab, “Innama akhsyaa ‘alayya thaalibal ‘ilm.

Hal yang membuatku paling takut adalah para pelajar ilmu pengetahuan.

Alladzii lam yata’allam min nahwa.

Mereka yang tidak mempelajari sintaksis dengan benar, tidak juga benar-benar memahami tata bahasa.

Siapa yang mengatakan ini? As-Shafi’i. Yang sepertiga dari hartanya dihabiskan untuk belajar bahasa Arab, sedang dua pertiga lagi untuk mempelajari hadis. Yang pada akhirnya mengatakan, “Seandainya saja kuhabiskan dua pertiga yang untuk hadis itu juga untuk bahasa Arab.

Begitu besar perhatiannya akan pendalaman pengetahuan bahasa yang luar biasa kaya ini. Hanya karena sudah mengambil dua kursus beberapa kitab dalam bahasa Arab sekarang ini, serta menghadiri halaqah mingguan tentang tata bahasa, kalian tidak layak untuk mengomentari sebuah hadis, kalian tidak layak. Saya tidak layak, begitu juga kalian.

Ini pekerjaan para Muhadditsuun dan para ulama. Jika hanya dengan membaca sebuah artikel, sebuah paper, dan beberapa kutipan, yang nyaris tidak kalian pahami, kalian bahkan tidak mengerti makna istilah yang ada, lalu tetiba saja kalian lontarkan itu kepada orang lain, itu sungguh menggelikan, dan itu bisa membahayakan bagi sunnah Nabi shalallahu alaihi wassalam. Kita harus hati-hati dalam berbicara atas nama beliau. Kalian pikir kalian tahu, tapi sebenarnya tidak. Rendah hatilah kepada mereka yang berilmu.

Fas’aluu ahladz dzikr“, bertanyalah kepada mereka yang berilmu, “In kuntum laa ta’lamuun“, jika kamu sendiri tidak tahu. Saya belum selesai dengan kutipan dari Imam As-Shafi’i, saya lanjutkan dan saya sudahi.

Dia berkata, “Alladzii lam yata’allamin nahwa an yadkhula fii qaulihi, shallallahu ‘alaihi wasallam an kadziba ‘alayya muta’ammidan.

Aku takut dengan pelajar yang tidak mempelajari bahasa Arab secara dalam,” dan ini hanya satu dari banyak persyaratan mempelajari sunnah. Dia bahkan menyebutkan bahasa Arab secara khusus, jika kalian tidak memenuhi syarat ini, saya takut akan mengajari kalian hadis di mana kalian akan jadi korban peringatan Nabi shalallahu alaihi wassalam, ketika beliau bersabda, “Sesiapa yang dengan sengaja berdusta tentang aku, telah memastikan sebuah tempat baginya di neraka.

Dia takut mengajari mereka tentang hadis, karena tahu mereka, orang Arab ini, yang tahu bahasa Arab, namun dia berkata, “Tidak, kalian tidak tahu bahasa Arab, tidak cukup tahu.

Aku tidak bisa mengajari kalian hadis, subhanallah. Dan sekarang di zaman kita, kalian Google sebuah hadis dalam bahasa Inggris, kalian tidak tahu apa-apa tentangnya, tapi merasa layak untuk bicara atas nama sunnah. Ini tindakan yang arogan, bukan demi agama. Jangan perdayai diri kalian sendiri, kalian masih muda. Dunia ini hitam-putih bagi kalian, segalanya sangat jelas bagi kalian.

Bagaimana bisa mereka tidak setuju, padahal saya punya semua ilmunya? Jika umur kalian bertambah, semoga kedewasaan kalian juga meningkat dan menyadari betapa tololnya saya ketika masih muda. Sebelum kalian membentur tembok, dan sudah terlambat untuk menyadari setelah banyak melakukan kesalahan kepada orang lain dan diri sendiri, sadarilah hal itu sekarang.

Jangan jatuh ke dalam perangkap orang lain yang telah mengalami hal ini, dan belajar dari pengalaman yang tidak enak. Dan itu termasuk saya sendiri, saya dulu seperti itu juga, sering mengganggap bahwa saya tahu tentang sesuatu, namun ketika saya mulai belajar dari para ulama, saya menyadari, “Aduh, saya tidak paham apa yang saya bicarakan, jadi ketika itu menyangkut sesuatu yang tidak saya ketahui, saya memilih diam.

Orang-orang bertanya tentang fikih atau hadis, saya diam, saya bilang tidak tahu, saya tidak layak membahas masalah itu. Jika mereka bertanya tentang Qur’an, saya jawab, “Saya carikan dulu, saya pelajari dulu apa kata ulama.”

Saya punya sedikit kemampuan untuk meneliti Qur’an, namun jika tentang topik lain, saya tidak bisa buka mulut. Termasuk masalah teologi. Kalian bisa mempelajari teologi kepada seorang ulama, tapi jika kalian berpikir cukup layak mendebat seseorang tentang teologi, pikirkan kembali!

Setiap ilmu dalam agama ini punya persyaratan yang belum kalian penuhi. Jika kalian serius mau belajar, maka bersungguh-sungguhlah! Jika kalian hanya belajar untuk berdebat dengan orang lain, introspeksi diri kalian!

Karena mungkin kalian bisa menyembunyikannya dari orang lain, tapi kalian tidak bisa menyembunyikan arogansi kalian dari Allah. Seseorang berjualan miras di toko mirasnya, melakukan hal haram, tindakan haram ini terbuka dan nyata, dan kita tidak setuju dengan itu. Namun jika kalian punya arogansi di dalam hati, Allah takkan menerimanya meski sangat kecil.

Jadi kalian bisa saja berkata kepada si penjual miras, “Kenapa Anda bisa begitu?

Bagaimana bisa Anda mengaku Muslim?

Tapi lihat juga ke dalam diri kalian sendiri. Jika kalian punya masalah ego, dan masalah ego itu menjadikan kalian arogan secara intelektual, dan kalian berpikir hanya akan mempelajari agama ini untuk menentang, mendebat, dan merendahkan mereka. Introspeksi diri kalian, sungguh, awasi diri kalian!

Satu komen terakhir, jangan mengoceh tentang ulama lain. Jika kalian tidak setuju tentang apa yang mereka katakan orang-orang yang berilmu, biasanya berdoa bagi mereka, lalu barulah mereka menyatakan ketidaksetujuannya. Itulah yang mereka lakukan.

Karena mereka tidak tahu posisi ulama tersebut di mata Allah. Mereka tidak tahu. Kalian tidak tahu ketika bicara tentang ulama yang telah wafat, bagaimana kedudukannya di mata Allah. Lupakan apa dosanya, apa kesalahannya, Kesalahannya yang sejati sudah diampuni Allah.

Beraninya kalian bicara tentang seseorang yang seperti itu? Ini adalah hamba-hamba Allah. Allah menginginkan kita untuk rendah hati kepada orang beriman lainnya.

Subtitle: NAK Indonesia
Donasi: https://www.kitabisa.com/nakindonesia

English Transcript: https://islamsubtitle.wordpress.com/2018/06/25/what-is-the-importance-of-intellectual-humility/

2 thoughts on “[Transkrip Kartun Islami] Kerendahhatian Intelektual – Nouman Ali Khan

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s