Menjadi Juara Bersama Muhajirin dan Anshar
Surat Al Hasyr (59): 7-10
Oleh: Ilham Permata
Jawaban dari bagaimana menjadi juara bersama Muhajirin dan Anshar terdapat dalam awal surat Al Hasyr. Ayat 7-10 surat Al Hasyr ini dibahas oleh Ustad Nouman Ali Khan dalam video khutbah Jumat yang beliau sampaikan dua tahun yang lalu.
Judulnya adalah Guidance from Surah Hasyr – Khutbah by Nouman Ali Khan. Ketika saya melihat video tersebut, saya tertegun dan terkagum. Ini adalah jawaban dari permasalahan umat Islam sekarang ini, yakni persaudaraan dan persatuan.
Kita pasti merasakan ketidaknyamanan komunikasi dalam umat Islam. Apalagi di era sosial media sekarang ini, komunikasi yang tak elok antar kelompok semakin nampak menjadi-jadi. Saling mencela, saling menjelekkan, saling menuduh, saling curiga, saling tidak percaya, hingga saling bertengkar. Fenomena ini bukan hanya di Indonesia, tapi juga di Timur Tengah, bahkan seluruh dunia. Kita sebagai salah satu dari milyaran umat Islam di dunia sangat kebingungan.
Belum tuntas memahami permasalahan umat Islam di Indonesia, apalagi memahami permasalahannya di tingkat dunia. Bukan hanya tentang komunikasi antar kelompok, tetapi sikap kita sebagai individu terhadap muslim yang lainnya juga menyumbang kegaduhan yang terjadi. Maka, sikap seorang Muslim yang Allah gambarkan dalam ayat ini sangatlah relevan.
Latar belakang diturunkannya ayat ini adalah pembagian harta rampasan tanpa perang (fa’i) yang didapatkan umat Islam setelah peristiwa penyerbuan Khaibar. Khaibar adalah tempat benteng-benteng kaum Yahudi Bani Nadhir dan Bani Qainuqa’ yang sebelumnya pernah diusir karena melanggar perjanjian damai dengan Umat Muslim di Madinah.
Penyerbuan tersebut dilatarbelakangi kaum Yahudi Bani Quraizhah (kaum Yahudi terakhir yang masih tinggal di sekitar Madinah) berkhianat dengan membukakan jalan bagi pasukan gabungan kaum Quraisy dalam perang Khandaq. Mereka berhasil setelah diyakinkan oleh utusan dari Bani Nadhir.
Oleh karena itu, umat Islam Madinah menyerbu kaum Yahudi di Khaibar karena mereka seringkali berkhianat dan menjadi ancaman. Sebagian besar harta rampasan yang didapatkan diperoleh tanpa perlawanan. Mereka menyerah tanpa syarat, sehingga harta rampasan tersebut dinamakan “fai’” (disebut dalam ayat keenam surat Al Hasyr), bukan “ghonimah”. Ustad Nouman menggambarkan harta rampasan tersebut dalam ceramahnya:
“After Badr, there’re some shields on the ground, some horses are left behind, and we captured those and those are distributed. But once Khaibar was taken over, once the Jewish forts were taken over, there was more wealth, more produce, more land that Muslims had ever seen before. So, all of a sudden we went from our GDP you can say, went from thousands to the millions (in $ US), may be even hundreds of millions overnight. When this much wealth comes in, people start asking where should it go? How should it be distributed?”
Hasil rampasan dari pengusiran ini sangat luar biasa, tak pernah didapatkan umat Islam sebelumnya. Bayangkan jika GDP Indonesia meningkat dari 1T USD menjadi 1000T USD hanya dalam satu malam. Seperti itulah banyaknya jumlah “fa’i” yang didapatkan ketika mengusir kaum Yahudi dari Khaibar.
Mendapatkan harta sebanyak ini, terjadi kasak-kusuk di antara sahabat. Bagaimana “fa’i” ini akan dibagikan di antara pasukan? Para sahabat tak sabar mendengarkan dan mendapat bagian, berharap dapatkan bagian yang besar. Inilah peristiwa yang Allah jelaskan dalam Surat Al Hasyr ayat 7-10, inti dari tulisan ini.
Dalam ayat ke-7, Allah menegaskan bahwa harta rampasan ini milik Allah, kemudian Rasulullah, “… kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”
Intinya, harta rampasan ini adalah untuk kepentingan sosial dan supaya tidak terjadi kesenjangan. Kemudian, Allah menjelaskan dalam ayat 8-10 tentang tiga golongan lain yang berhak mendapat harta rampasan tersebut.
لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS Al Hasyr: 8)
Golongan pertama, dalam ayat ke-8, adalah kaum fakir dari Muhajirin. “Faqar” dalam Bahasa Arab juga berarti bangkrut, punggung yang patah, bangkrut secara ekonomi seakan-akan punggungnya patah.
Bagian selanjutnya menjelaskan bagaimana mereka bangkrut. Mereka meninggalkan rumah dan harta mereka untuk karunia, pemberian, anugerah, bonus dari Allah. “Fadlan minallah” juga berarti supaya Allah melihat mereka secara spesial. Dan orang-orang ini terus-menerus menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka adalah orang beriman yang paling sejati, “Ulaaika humush shoodiquun.”
Mendengarkan Rasulullah membacakan firman ini, bagaimana perasaan orang-orang Anshar. Mereka merasa cemburu. Satu ayat firman Allah untuk mengapresiasi kaum Muhajirin dengan segala pengorbanannya, tapi, “Bagaimana dengan kita?”
“Para Muhajirin dilabeli sebagai mukminin sejati, apakah berarti orang-orang kita tidak?“ Lalu turunlah ayat selanjutnya.
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۚ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (QS Al Hasyr: 9)
Allah menyebut kaum Anshar sebagai kaum yang telah beriman sebelum kedatangan Muhajirin. Mereka punya potensi keimanan yang melampaui orang-orang Mekkah. Di saat dua pertiga Al Qur’an turun sebelum hijrah, tidak banyak penduduk Mekkah yang masuk Islam. Tetapi berbeda dengan penduduk Madinah, mereka yang datang berhaji dan mendengar seruan Muhammad lekas masuk Islam dan bertambah pada musim haji berikutnya. Lalu Allah menambahkan kualitas selanjutnya dari kaum Anshar yakni kecintaan mereka terhadap kaum yang migrasi atau berhijrah ke tempat mereka.
“What is the great quality of this Madinah people? They love those who migrated towards them. You know when every country that has an economic problem, they say the first problem is the immigrants. These people are taking our jobs, these people are security threat, we don’t know if these people are good things for our nation, we should put them in special neighbourhood, we should have registration for them, their contaminating our language, all this kind of stuff. Yet Allah describes the Anshar, people who love the Muhajirin.”
Kualitas kecintaan kaum Anshar ini Allah gambarkan, sampai mereka tak punya rasa berat atau keinginan dalam dada mereka terhadap apa yang diberikan. Ditambah lagi mereka mengutamakan Muhajirin atas diri mereka sendiri.
Kata “khoshoshoh” yang diterjemahkan kesusahan memiliki arti yang dalam. Kesusahan yang dimaksud di sini seperti kelaparan yang sangat hingga kita mungkin meninggal karenanya, not only hunger but starvation.
Bagian terakhir dari ayat 9 ini dijelaskan oleh Ustad Nouman sebagai kondisi perasaan ketika orang merasa lebih daripada orang yang kita bantu. Merasa lebih baik, merasa lebih terhormat, merasa lebih beruntung, dan melihat yang di bawah dengan rendah. Mereka yang bisa memelihara dirinya dari perasaan ini adalah orang-orang yang beruntung. Allah menutup kualitas orang-orang Anshar dengan luar biasa.
Lalu di mana posisi kita sebagai umat yang tidak membersamai Rasulullah? Setelah dijelaskan hal-hal yang membuat Muhajirin dan Anshar mendapatkan pujian dan penghargaan oleh Allah, apakah kita harus meninggalkan harta benda kita untuk berhijrah? Apakah kita harus berlomba-lomba mengajak umat Islam di negara-negara yang sedang konflik untuk ditolong?
Di ayat selanjutnyalah kemudian Allah menyebutkan kelompok ketiga orang beriman yang datang setelah masa Rosulullah.
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS Al Hasyr: 10)
“Walladzina jaa’u min ba’dihim,” and those who came much after them. Dari segi bahasa, kelompok ketiga ini mencakup kita semua hingga Hari Kiamat. Jika kita bandingkan dari kelompok pertama atau juara pertama, kaum Muhajirin, mereka berhijrah dan meninggalkan harta bendanya dan penghidupannya.
Kemudian juara kedua, Anshar, mereka menunjukkan kecintaan dan bantuan meskipun mereka harus kelaparan hingga akan meninggal. Mereka melakukan pengorbanan yang besar. Mari kita cermati pengorbanan apa yang dilakukan oleh juara kelompok ketiga ini yaitu orang-orang beriman yang datang sesudah masa Rasulullah hingga akhir zaman.
“Yaquuluuna Rabbanagh firlanaa,” they say, “O Allah, forgive us.” Mereka yang meminta ampun kepada Allah atas diri mereka. Mereka juga memintakan ampun untuk saudara mereka. Dan mereka berasumsi bahwa saudara mereka punya iman yang lebih baik dari pada yang dia miliki, “Sabaquunaa bil iimaan,” bukan “madhou iimaanan.”
Kemudian mereka juga meminta supaya Allah tidak memunculkan dalam hati mereka “ghillan” terhadap orang beriman. Kata “gholla” dalam Bahasa Arab berarti haus yang sangat dan panas. Selain itu ia juga berarti curang, benci, cemburu, merendahkan. “Ghillan”, juga berarti secara ekstrim menganggap orang lain sangat sempurna seperti malaikat dan kita tidak menerima fakta bahwa mereka juga manusia yang bisa melakukan kesalahan.
Inti pencapaian kelompok ketiga ini adalah mereka tidak ingin muncul dalam hati mereka sikap membenarkan diri untuk berlaku curang terhadap sesama mukmin karena muncul sikap sentimen setelah mereka melakukan kesalahan.
Mereka tidak ingin membenci satu sama lain, mereka tidak merasa lebih baik atas yang lain, mereka memilih berpikir positif terhadap mukmin yang lain. Ketika mukmin yang lain terbukti salah, mereka tidak ingin ada sikap sentimen yang membenarkan perbuatan curang terhadap mukmin tersebut. Itu adalah pencapaian terbesar mereka.
Dan Allah menutup ayat ini dengan menyebutkan bahwa Dia-lah yang “rouf”. “Rouf” berarti bahwa Hanya Allah-lah yang mengetahui apa yang tengah dihadapi seseorang, ketakutan, kecemasan, frustasi, dan semua perasaan yang dirasakan dalam menghadapi situasi tersebut. Allah menunjukkan bahwa Dia tahu dan Dia memahami apa yang kita rasakan.
Semoga Allah menjadikan kita memiliki kualitas juara ketiga ini.
Wallahu’alam bish showab.
[…] Artikel versi lengkapnya ada di sini:https://nakindonesia.com/2018/06/14/mfa2018-menjadi-juara-bersama-muhajirin-dan-anshar/ […]
LikeLike