[MFA2018] Wasiyyah, Bukan Kritikan – Miranti Banyuning Bumi


Bismillahirrahmaannirrahiim.

Aku suka, tapi… bla bla bla…
Masya Allah, ide kamu bagus, tapi… bla bla bla…
Keren, tapi menurutku seharusnya dia begini, bukan begitu.

Ada yang pernah juga kah mendapat komentar seperti itu?
MFA2018 - Miranti Banyuning Bumi-

Rasanya kita sekarang hidup di era yang penuh dengan kritikan, awalnya terlihat memuji atau tampak setuju, tapi ternyata ujung-ujungnya ada kalimat yang lebih panjaang “you know it”. Era sekarang sangat mendukung semua orang bebas mengeluarkan opininya, bahkan kadang seolah-olah lupa dengan etika. Dan ketika seseorang mengeluarkan suatu pendapat, maka orang lain akan terpancing untuk mengatakan pendapat lainnya, dan terus menerus seperti rantai yang tak terputus.

Bahkan ada pepatah Arab mengatakan:

Li-kulli khitab jawab.” (Every time somebody voices an opinion, somebody’s got something counter to say)

Semuanya diberi komentar, semuanya dikritik, dari produk-produk jualan online, film/buku, video di YouTube, hingga akun medsos para seleb jadi sasaran empuk kritik! Coba deh sekali-kali iseng melihat bagian komentar (jangan terlalu lama tapi ya melihatnya, nanti jadi pusing/mual bahkan bisa tergoda ikut berkomentar), duh harus banyak-banyak istighfar setelah membacanya.

Entah apa yang ada di dalam pikiran dan hati pembuat komentar-komentar tersebut, ada beberapa yang terasa sangat tidak etis, menyakitkan, dan “mengerikan”. Bahkan beberapa orang berkelit dengan mengatakan, “Ini adalah kritik yang membangun,” atau “Aku mengkritik agar dia sadar/berubah jadi lebih baik.

Oooh, benarkah?

Fenomena kritikan tadi mengingatkanku pada buku “Revive Your Heart”, Nouman Ali Khan. Buku tersebut berisi pilihan ceramah-ceramah Ustad Nouman Ali Khan yang mengajak kita melakukan transformasi spiritual. Ada bab khusus yang membahas tentang kritikan.

Surat yang dikaji lebih dalam di bab tersebut adalah surat Al ‘Asr. Aku yakin sebagian besar muslim telah menghafal surat tersebut, bahkan termasuk salah satu surat favorit yang dibaca saat salat kan ya, he he.

Nah pertanyaannya, “Apakah kita sudah memahami makna surat yang sangat pendek tersebut?

بِسْمِ اللَّـهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ
وَالْعَصْرِ ﴿١﴾ إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿٢﴾ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ﴿٣﴾

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada di kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menta’ati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS Al ‘Asr)

Karena salah satu inti surat Al ‘Asr ternyata adalah prinsip tentang kritikan.

Pada bab itu, Ustad Nouman mengajak kita untuk merefleksi lebih dalam ayat ke-3, khususnya frase “wa-tawasaw bi-l-haqq“. Di frasa pertama ada kata “tawasaw,” ternyata dalam bahasa Arab asal katanya adalah “al-wasiyyah”.

Apa itu “al-wasiyyah”? “Al-wasiyyah” dapat diartikan sebagai pesan terakhir dari orang yang mau pergi atau meninggal. Saat “wasiyyah” disampaikan, biasanya orang-orang yang mendengarnya merasa sedih hingga menangis, mereka akan mendengarkan dengan seksama, memberikan perhatian 100% pada pemberi “wasiyyah”, dan berusaha untuk mengingat pesan tersebut selamanya. Ya, diingat selamanya!

Coba bandingkan dengan kritikan yang sering kita terima, bukannya mau diingat, melainkan ingin dilupakan secepat mungkin! Ya kan? Jadi, intinya “wasiyyah” diberikan pada orang yang kita cintai, tidak mungkin diberikan pada orang asing.

Berdasarkan buku itu, ada 3 makna penting dari “TAWASAW-WASIYYAH”:

1. Ketika kamu ingin menyampaikan kebenaran, kamu harus mengingat makna dari kata “WASIYYAH”, kamu harus menyampaikannya dengan rasa sayang.
2. Ketika kamu berniat memberikan “WASIYYAH”, bukan berarti kamu boleh berkata kasar atau menyerah.
3. “TAWASAW” artinya terjadi hubungan timbal balik. “Aku memberikan nasihat ke dalam hatimu dan aku siap menerima nasihatmu ke dalam hatiku.

Ada 4 hal yang harus diperhatikan saat menyampaikan “WASIYYAH”:

1. Nada bicara
2. Waktu
3. Emosi
4. Pemilihan kata

Keempat hal tersebut harus berdasarkan rasa sayang, cinta, dan peduli. Sampaikan “wasiyyah” dengan cara yang halus, bukan dengan sikap yang agresif.

Ketika sampai pada penjelasan itu, benar-benar mengusik hatiku. “Ya Allah, selama ini niat baikku sudah mencerminkan caraku memberi nasihat belum ya…

Sepertinya Allah ingin menegurku melalui ayat ini, ayat yang selama ini merupakan ayat favoritku tapi (ternyata) belum aku maknai lebih dalam. Seringkali aku berniat memberi nasihat pada orang-orang terdekat (keluarga atau sahabat) tapi karena sudah emosi duluan melihat kesalahannya, eh yang keluar malah kata-kata bernada sinis. Bukannya menyentuh hati, malah menyakitkan hati. Bukannya memberikan efek dia berubah, melainkan dia semakin jauh dari kebaikan yang kita harapkan. Astaghfirullah…

Aku mencoba menanamkan pola pikir bahwa bukan orangnya yang aku tidak suka tapi kesalahannya, maka aku harus berusaha mengajaknya berubah dengan cara yang halus dan baik. Nada bicara juga rasanya jadi susah dikontrol jika terbawa emosi yang meluap-luap. Seharusnya aku menenangkan diri dulu, mencoba merangkai kata-kata yang tepat, dan mencari waktu yang tepat pula untuk memberi nasihat. Intinya mengajak bicara dari hati ke hati.

Di buku itu juga tertulis: Jangan sampai, atau jangan-jangan sering ketika kita memberi nasihat, orang yang menerima nasihat tersebut malah marah, menjadi agresif, bahkan menjadi lebih parah dari sebelumnya!! Gara-gara cara kita memberi nasihat! Astaghfirullah… Jleb jleb jleb!

Meskipun yang kita sampaikan kebenaran, tapi jika caranya menyakitkan, itu artinya kita tidak melakukan “wa-tawasaw bi-l-haqq“.

Kesimpulan dari Ustad Nouman adalah ketika kita ingin memberi nasihat, kita harus tulus karena kita benar-benar peduli. Bukan karena kita sedang membutuhkan sesuatu dari orang tersebut sehingga kita berharap setelah kita membantunya dengan nasihat maka ia akan membantu kita pula. Tidak, prinsipnya tidak seperti itu!

Setelah membaca ulang bab ini, aku mencoba untuk merenungi lebih dalam, ternyata untuk mengamalkan sebagian isi surat yang sangat pendek ini tidak semudah saat membacanya. Ya Allah, begitu dalamnya makna frase “wa-tawasaw bi-l-haqq“.

Benar-benar harus hati-hati ketika ingin menyampaikan nasihat kepada orang lain, harus cek dalam diri dulu, apakah niat kita menasihati untuk memperbaiki orang tersebut? Apakah sudah atas dasar peduli? Atau jangan-jangan cuma mau asal komentar tapi tidak memberikan solusi?

Terutama ketika harus memberi nasihat pada anggota keluarga sendiri, kadang di sana lebih susah, lebih menantang, kadang ada emosi-emosi negatif yang keluar. Harus lebih sabar.

Jadi, jangan saling mengkritik yaaa, tapi saling memberi “wasiyyah” ❤ “Wasiyyah” itu atas dasar kepedulian dan rasa sayang, kita memberikannya harus dengah sepenuh hati.

Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang “tawasau bi-l-haqq” dan “tawasau bi-l-sabr” ❤❤❤

Sumber: Buku Revive Your Heart – Nouman Ali Khan

2 thoughts on “[MFA2018] Wasiyyah, Bukan Kritikan – Miranti Banyuning Bumi

    1. Contoh paling atas yang mana mas? Yang sehabis mengapresiasi lalu bilang “tapi” yah?

      Mungkin penulisnya merasakan yang pernah saya alami, yakni pendapat saya selalu dibantah 😁

      Yang kayak gitu ngeselin mas 🤣

      Liked by 1 person

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s