Ramadan Nightly Reminder June 8
*****
Kebaikan Sejati Duniamu Adalah Pengantar Kebaikan Abadi Akhiratmu
*****
“A’uudzu billaahi minasy-syaithaanirrajiim. Faminannaasi man yaquulu robbanaa aatinaa fiddunyaa wa maa lahuu fil-aakhirati min khalaaq. Wa minhum man yaquulu robbanaa aatinaa fiddunyaa hasanatan wa fil aakhirati hasanatan wa qinaa ‘adzaabannaari. Ulaa-ika lahum nashiibun mimmaa kasabuu wallaahu sarii’ul hisaab.” (QS Al-Baqarah, 2: 200-201)
*****
“Robbisyrohlii shadrii wa yassirlii amrii wahlul ‘uqdatan min lissani yafqohuu qowlii. Falhamdulillaah. Wash-shalaatu wassalaamu ‘alaa rasuulillaah. Wa ‘alaa aalihii wa shahbihii ajma’iin.”
Salam dari Ustad Nouman untuk kita semua.
*****
Di akhir ayat ke-190 dan di awal ayat ke-200 dari Suratul Baqarah, ada bagian yang dikhususkan untuk membahas tentang haji. Di bagian ini Allah menjelaskan bahwa haji adalah sebuah ritual yang sudah ada sejak zaman Nabi Ibrahim ‘alayhis salam.
Mereka yang datang setelah Nabi Ibrahim, setelah anak-anaknya, mereka mengalami kebingungan dan tersesat jalan, mempraktekkan paganisme alias menyembah berhala. Mereka tambahkan ritual yang aslinya tidak ada. Ritual yang tidak pernah diajarkan Allah.
Terjadilah ritual gado-gado. Ritual yang sesuai dengan yang diajarkan Nabi, dan ritual yang menyimpang. Misi Rasulullah adalah untuk menghilangkan (to decontaminate) ritual yang menyimpang itu. Mengembalikan ke ritual yang murni, yang asli.
Doa Nabi Ibrahim adalah “Wa arinaa manaasikanaa wa tub’alaynaa,” tunjukkan kepada kami cara-cara melakukan ibadah haji, ibadah haji yang seharusnya (actual ritual) dan terimalah taubat kami (QS Al-Baqarah, 2: 128).
Dan salah satu yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam adalah ritual ibadah haji yang asli. Ayat ini tidak saja ditujukan untuk memperbaiki ritual ibadah haji, tapi sebenarnya juga spirit di balik ibadah haji.
Haji memang penting dalam peran yang dijalankan oleh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam yang terlihat dari salah satu misi Beliau untuk mengembalikan Ka’bah ke tempat aslinya. Upacara untuk memperingati kembalinya Ka’bah ke tempat asalnya itulah sesungguhnya yang menjadi ritual ibadah haji.
Allah menceritakan bahwa ritual ibadah haji itu pernah rusak, menyimpang. Ada orang yang datang, ingin menyembah Allah, tapi yang mereka lakukan itu menyimpang. “Fa minhum man yaquuluna robbanaa aatinaa fid dunya,” di antara mereka ada yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berikanlah kepada kami di dunia.”
Beri aku pekerjaan, beri aku pasangan hidup, jagalah anak-anakku, hilangkan penyakitku, jagalah kedua orang tuaku. Ini semua adalah contoh-contoh yang kita inginkan di dunia ini. Tampaknya tidak ada yang salah dengan berdoa untuk kehidupan dunia.
Tapi ayat ini begitu keras, Allah bilang, “Wa maa lahuu fil aakhirati min khalaaq.” Orang ini ga kebagian, sama sekali, kebaikan di akhirat. Dia ga dapat apa-apa. Semua yang dia inginkan, dia dapat di dunia, tapi dia ga dapat apa-apa di akhirat.
Itu merupakan pernyataan yang keras untuk seseorang yang sebenarnya sedang berdoa. Mereka berdoa kepada Allah, dan mereka meminta hal-hal yang baik. Tapi kenapa permintaan ini dapat respon keras seperti itu, bahwa mereka tidak akan dapat apa-apa di hari kemudian?
*****
Ini bukan semata-mata persoalan perubahan ritual, tapi juga perubahan pola pikir (a change in mindset). Untuk kebanyakan orang, mari kita lepaskan dulu bicara soal Islam sementara ini, kita coba berpikir untuk semua agama, untuk kebanyakan orang, agama itu bukan persoalan tentang melayani Allah. Sebenarnya agama adalah persoalan tentang bagaimana mendapatkan apa yang kalian inginkan.
Saya mau salat, karena saya butuh dapat promosi. Aku mau salat karena aku pengin masalahku terselesaikan. Aku berjalan mendekati Tuhanku, karena Tuhanku akan mengatur urusanku yang ini dan yang itu, di kehidupan ini.
Kenyataannya, perantara (intermediary) alias penyambung lidah antara Allah dan mereka, seperti yang biasa mereka jadikan idola atau sesembahan atau mereka anggap anak Tuhan, setiap kali mereka datang ke perantara ini, mereka punya tujuan supaya intermediary ini bisa kasih solusi buat masalah keduniaan mereka.
Sehingga keseluruhan tujuan dari agama menjadi, bagaimana agama itu bisa melayani kamu dengan cara tertentu. Dan kenyataan berikutnya adalah, hal ini menjalar ke generasi-generasi berikutnya sebagaimana kita amati dan saksikan hari ini.
Seseorang datang dan bertanya, “Apa yang akan saya dapatkan dari Islam?”
“Oke, thanks kamu sudah menerangkan ke aku soal agama ini, ada salat, ada ibadah yang lain, dan seterusnya, tapi aku sudah punya pekerjaan yang bagus, lalu agama ini manfaatnya buat aku apa ya?”
Dengan kata lain, jika agama tidak bisa melayani kita segera, maka agama menjadi tidak relevan. Dan inilah sebenarnya yang membuat agama itu menjadi menyimpang dari apa yang sudah pernah diajarkan oleh Allah, yaitu untuk menyatakan bahwa tujuan agama adalah untuk melayani Allah.
Memang benar, ngikutin ajaran Allah bikin hidupmu lebih mudah, ya, itu benar. Kamu dapat manfaatnya. Menaati Allah menghilangkan bebanmu, ya, itu juga benar. Memberimu perlindungan, penghasilanmu jadi barakah, kamu menjadi aman, kamu jadi sehat, itu semua benar. Semua manfaat itu mengalir deras di kehidupanmu kalo kamu mengikuti agama yang benar, itu betul. Ga ada salahnya. Tapi, itu bukanlah tujuannya. Itu semua tadi bisa kamu anggap sebagai perks buat kamu.
Bahasa slang Amerika ini, perks, maknanya selaras dengan benefits. Contohnya untuk karyawan yang bekerja di perusahaan adalah pinjaman tanpa bunga, beasiswa untuk anak karyawan yang berprestasi, cuti hamil 3 bulan yang juga diberikan untuk karyawan sebagai ayah yang istrinya melahirkan, bantuan berupa uang untuk orang tua yang meninggal dunia, pembelian buku untuk pengembangan diri dengan nilai tertentu dan lain-lain.
Maksud dari analogi ini adalah, karyawan yang bekerja bisa memperoleh perks ini, tapi tujuan karyawan bekerja bukan untuk mendapatkan perks ini, melainkan untuk memberikan added value buat perusahaan. Sebagaimana kita ber-Islam, bukan untuk kita dapat benefits dari Allah, alias dilayani Allah, melainkan sebaliknya, melayani Allah.
Nah, sekarang ini yang terjadi, benefits itu malah dijadikan tujuan ber-Islam kita. Ini’kan ga sopan sama Allah. Menjadikan agama ini untuk memenuhi ambisi-ambisi pribadi, itu sebenarnya ga sopan (offensive) sama Allah.
Ritual haji itu sebenarnya harus dimaknai bahwa hidupmu itu sebenarnya lebih dari apa yang kamu dapat di hajimu itu. Kamu, sebelum dikubur, akan pake pakaian seperti yang kamu gunakan saat berhaji. Kita, berada di tanah Arafah, mensimulasikan apa yang kita hadapi di Hari Kemudian (the day of judgment) di mana kita butuh kasih sayang dan ampunan Allah. Keseluruhan ritual haji seharusnya membuat kita memikirkan bagaimana persiapan kita menghadapi Hari Pembalasan.
Jutaan orang berkumpul bersama, berpakaian dengan cara yang sama, tanpa gelar, tanpa titel, tanpa jabatan, semua embel-embel keduniaan dibuang, yang milyuner dan yang rakyat jelata ga ada bedanya, mereka semua berdiri di hadapan Allah seperti di Hari Pembalasan, benar kan?
Tidak ada lagi pangkat, tidak ada lagi yang dianggap VIP, tidak ada lagi status, tidak ada lagi yang tersisa. Kamu dan pakaian ihrammu, itu saja yang tersisa. Buat kita, untuk pergi haji ke sana, dengan obsesi-obsesi dunia, itu bermasalah.
Oleh karena itu Allah merespon dengan “Wa minum man yaquulu robbanaa aatina fiddunya hasanah.” Allah menambahkan satu kata di sini, “Hasanah.” Sebelumnya, mereka hanya bilang, “Ya Allah, berilah aku di dunia ini.”
Rasulullah memberi kita hal-hal yang bagus dan indah. Ini masuk akal. Kalo kita pengin mobil, pasti kita penginnya mobil yang bagus, bukan yang odong-odong. Rumah juga gitu, kita penginnya rumah yang bagus.
Tapi ada makna yang lebih mendalam dari “bagus” di dalam doa yang diajarkan Allah ini. Dan seseorang yang meminta itu tidak lain adalah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam. Kita sudah tahu bahwa Beliau senantiasa memikirkan umatnya. Jadi doa beliau pun bukan doa untuk diri Rasulullah sendiri. Ga pake kata “robbi” (Tuhanku), tapi “robbanaa” (Tuhan kami). Tuhan kita semua.
Ini adalah doa yang paling sering diulang oleh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam. Ini juga doa yang kita ulang-ulang di akhir kita thawaf. Umrah maupun haji. Berikan kami kebaikan dalam kehidupan ini. Beri kami keindahan dalam kehidupan ini.
Apa maksud kebaikan dan keindahan di situ? Ustad Nouman membawa kita kembali sebentar untuk memikirkan syaithan. “Wa idz zayyana lahumusysyaithaanu a’maalahum.” (QS Al-Anfal, 8: 48) Setan menjadikan indah amalan mereka walaupun itu sebuah dosa.
Salah satu tugas setan adalah untuk menjadikan keburukan itu jadi terlihat indah dalam pandangan manusia. Dan kebaikan dijadikan terlihat buruk. Perbuatan baik jadi berat dan susah. Terlihat sepertinya ga mungkin (impossible) dan ga boleh (not permissible). Yang terlarang jadi terlihat menarik. Itu yang setan inginkan.
Allah bilang, bukan. Dan doa kita sama Allah, “Berikan kepada kami yang sungguh-sungguh indah. Bukan yang terlihat indah, tapi yang benar-benar indah, Hasanaat dari dunia ini. Yang bagus dan yang indah dari dunia ini.”
Lalu Allah mempertalikan itu dengan sesuatu yang lain, “Wa fil aakhirati hasanah.” Dan juga keindahan di Hari Akhir. Jadi ada permintaan untuk dua kehidupan: di dunia ini, dan di kehidupan selanjutnya. Dan keduanya saling terhubung satu sama lain.
Satu-satunya cara supaya kamu mendapatkan keindahan di kehidupan berikutnya, adalah dengan mendapatkan keindahan di kehidupan yang sekarang. Kebaikan apapun yang kita peroleh di dunia ini, harus kita pertanyakan lagi, apakah kebaikan ini hanya bagus di dunia ini, ataukah juga akan bagus di kehidupan akhirat nanti?
Inilah doa kita. Ya Allah, semoga kami tidak dibikin terlena dengan keindahan yang palsu, dan kebaikan apapun yang Engkau berikan di kehidupan dunia ini, yang memang aku juga butuh itu, semoga itu juga akan memberikanku kebaikan di kehidupan berikutnya nanti, “Robbanaa aatinaa fiddunya hasanah, wa fil aakhirati hasanah.” Keduanya berjalan seiring.
Kata “Hasanah” di sini merujuk pada “Laqod kaana lakum fii rasuulillaahi uswatun hasanah.” (QS Al-Ahzab, 33: 21) Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu. Keteladanan yang indah. Pemimpin yang baik.
Rasulullah tidak hanya memperhatikan kehidupan yang akan datang, di hari akhir. Kalo beliau shallallahu ‘alayhi wasallam seperti itu, maka yang beliau perhatikan melulu soal hal-hal yang akan terjadi di Hari Kemudian. Dan dunia ini menjadi tempat yang seratus persen menyedihkan (miserable).
Ga usah menikah, salat aja terus. Jangan memikirkan hasrat untuk menikah. Hasrat seperti itu dosa. Agama Islam datang bukan seperti itu. Allah sendiri bilang bahwa hasrat seperti itu memang ada dalam diri manusia.
Fakta bahwa kita suka mobil yang bagus, Allah memang kasih itu dalam diri manusia. Tapi Allah kasih hasrat seperti itu ada alasannya. Apa yang indah di dunia ini adalah pratinjau atau semacam displai produk (preview) dari apa yang akan kita peroleh di Hari Akhir. Allah tidak kasih kita pratinjau berupa pohon, kebun, atau gunung yang indah saja. Kalo cuma itu saja, lalu apa yang akan memotivasi kita?
Jadi dunia ini seharusnya membuat kita berpikir, kalo yang begini saja indah di dunia ini, bagaimana kalo di akhirat nanti ya? Jadi ini menjadi pratinjau untuk kehidupan yang berikutnya. Jangan jadikan yang di dunia ini sebagai tujuanmu. Jadikan dunia ini sebagai persiapan (prep) untuk kehidupanmu nanti.
Dapatkan yang terbaik di dunia ini, supaya kamu bisa dapatkan yang terbaik di akhirat nanti. Kehidupan di dunia ini tidak boleh kamu jadikan tujuan akhirnya. Itulah yang seharusnya kita ingat dari doa “Robbanaa aatinaa fiddunya hasanah, wa fil aakhirati hasanah.”
Pikirkan ini. Kita berhaji, seperti yang sudah saya bilang, kita pake pakaian seperti yang akan kita pake (atau, yang akan orang kenakan ke kita) sebelum kita dikubur. Kita kumpul saat berhaji seperti kita dikumpulkan di Hari Akhir. Itu seharusnya menjadi pengalaman spiritual di mana kita melupakan semua hal yang berbau duniawi.
Kamu tinggalkan semua hasrat, semua obsesi, semua yang bisa memalingkanmu dari akhirat. Allah bilang, saat kita pergi haji, kalo kita lihat lagi ke belakang, orang-orang ga pake pesawat untuk berangkat haji, mereka jalan kaki, mereka naik unta, mereka pake kapal, mereka pamitan sama semua anggota keluarga seakan-akan mereka akan mati dalam perjalanan itu, itu yang mereka lakukan.
Apa yang Allah bilang? “Laysa ‘alaykum junaahun an tabtaghuu fadhlan min rabbikum.” (QS Al-Baqarah, 2: 198) Bukanlah sebuah dosa bagimu mencari karunia dari Tuhanmu. Artinya, jika kamu ada bisnis di sana juga, itu oke. Kamu mau jualan, boleh. Dapatkan relasi baru. Kamu ke sana untuk berhaji, itu jelas. Tapi kamu di sana juga punya kesempatan untuk menjemput karunia-Nya dengan bisnismu, itu tidak dilarang.
Luar biasa sekali bahwa Allah menjelaskan ini, bahwa di perjalanan yang boleh dibilang paling spiritual ini, Allah membolehkan kita untuk masih mengambil manfaat duniawi. Begitu juga Ramadan, bulan di mana seharusnya kita melupakan apapun tentang kehidupan duniawi satu bulan ini. Tapi ternyata Allah bilang di ayat yang masuk di cluster ayat-ayat Ramadan bahwa kita boleh ‘mendekati’ pasangan kita di malam-malam hari bulan Ramadan (QS Al-Baqarah, 2: 187)
Ini kenapa? Karena “Fid dunya hasanah, wa fil aakhirati hasanah.” Kalo hubungan suami-isteri diperkuat (reinforced), akan bermanfaat untuk kehidupannya di dunia maupun di akhirat. Allah sudah pasti paham itu. Dan Allah juga membantu manusia untuk memahami itu.
Dan Allah akhirnya bilang, “Wa qinaa ‘adzaabannaar.” Lindungi kami dari azab neraka (QS Al-Baqarah, 2: 201) Agama ini bikin indah tidak saja di dunia, tapi juga di kehidupan berikutnya.
Kita biasanya minta yang bagus-bagus di dunia ini, dan berharap Allah kasih surga juga, tapi kita tidak peduli keduanya berhubungan apa tidak. Padahal keduanya berhubungan. Itulah satu-satunya cara supaya bagian terakhir doa ini, “Wa qinaa ‘adzaabannaar,” jadi masuk akal. Karena kalo kita jadi materialistis, yang penting selama itu bisa bikin kita hepi, maka kita tidak sedang melindungi diri kita dari api nerakanya Allah.
Semoga Allah memberikan kita yang terbaik dari kehidupan ini, sebagai cara untuk mendapatkan yang terbaik buat kehidupan berikutnya, dan melindungi kita dari hukuman api neraka, “Robbanaa aatinaa fiddunyaa hasanah, wa fil aakhirati hasanah, wa qinaa ‘adzaabannaar.”
Barakallaahu lii walakum. Wassalaamu ‘alaykum wa rahmatullaahi ta’aalaa wa barakaatuh.
*****
Resume oleh Heru Wibowo