Semakin saya merenungi hakikat kehidupan, saya semakin memahami bahwa Islam merupakan agama yang penuh dengan ilmu. Dan tingkat pemahaman ilmu seseorang dapat mengantarkan seseorang pada keislaman yang setulus-tulusnya.
Perenungan mengenai hakikat kehidupan di hidup saya mencapai titik puncaknya ketika saya melaksanakan ibadah haji. Di Mina.. di kota yang ‘hidup’ hanya beberapa hari dalam setahun itu saya mendapatkan insight mengenai ‘the essence of life’ dan makna agung yang begitu personal (tadabbur) dari ayat teragung dalam Al Qur’an yaitu ayatul Kursy.
Para jamaah haji hanya tinggal sebentar di Mina sekitar 3-5 hari saja, 1 hari sebelum Hari Arafah, pada Hari Arafah, kemudian 3 hari ketika ritual lempar jumroh. Namun hari-hari itu adalah hari yang sangat berkesan mendalam terutama bagi saya. Hari-hari itu, manusia, –tidak peduli apapun jabatan dan tingkat kekayaannya, tanpa dikomando siapapun, melaksanakan ritual ibadah haji dengan tertib. Tidak ada yang bisa meminta cuti, meminta diundur jadwal pergi ke Arafah atau lempar jumroh, tidak bisa menawar supaya bisa lempar jumroh di waktu lain, tidak ada yang bisa melakukannya.
Di waktu lain, seringkali ada atasan yang merasa pekerjaan yang harus diselesaikan karyawannya lebih penting dari salat, ada karyawan yang ambisinya untuk memiliki mobil lebih penting daripada menunaikan zakat mal, ada yang meninggalkan salat jumat untuk bisa bertemu dengan pembesar suatu negeri, atau bahkan membatalkan rencana untuk pergi umroh karena takut kehilangan kontrak pekerjaan yang bernilai milyaran rupiah.
Tapi di hari-hari pelaksanaan ibadah haji, siapapun dia, tidak ada yang bisa menawar untuk menunda, mengganti hari dengan hari lain, tidak ada raja yang bisa membatalkan semua ibadah yang harus dilakukan selama ibadah haji. Itulah makna Allohu laa Ilaa ha illaa huwa. Al Hayyul Qoyyuum.
Empat juta manusia berkumpul di Mina, di Arafah, kemudian pergi ke Muzdalifah dan kembali ke Mina, semua dalam satu waktu yang bersamaan. Can you imagine that? Betapa Al Hayyul Qoyyum-nya Allah.. Dialah yang memberikan rejeki semua makhluk yang ada di Mina.. menyaksikan pemandangan orang-orang tidur (mabit) di Muzdalifah, 4 juta orang tidur bersamaan di Muzdalifah, it was so awesome. Dan mereka bangun bersamaan pula, Allah-lah yang menghidupkan dan memelihara kehidupan kita semua.
Menyaksikan hal itu terjadi pada 4 juta orang sekaligus, it’s so mind blowing. Dari sana saya semakin yakin bahwa Allah Maha Kuasa mematikan (membuat tertidur) 4 juta orang sekaligus sebagaimana gambaran Allah tentang kiamat, dan Allah begitu mudahnya membangkitkan 4 juta orang sekaligus ketika fajr, memberikan mereka energi untuk berjalan ke Mina tanpa dikomando siapapun. memberikan mereka semua petunjuk untuk segera melaksanakan lempar jumroh dan melaksanakan semua prosesnya dengan penuh kesabaran dan kekhusyuan. Hal itu membuat saya benar-benar haqqul yaqin.. Allohu laa ilaah illa huwa.. Al Hayyul Qoyyuum.
ٱللَّهُ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْحَىُّ ٱلْقَيُّومُ ۚ لَا تَأْخُذُهُۥ سِنَةٌۭ وَلَا نَوْمٌۭ ۚ لَّهُۥ مَا فِى ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ ۗ مَن ذَا ٱلَّذِى يَشْفَعُ عِندَهُۥٓ إِلَّا بِإِذْنِهِۦ ۚ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ ۖ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَىْءٍۢ مِّنْ عِلْمِهِۦٓ إِلَّا بِمَا شَآءَ ۚ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ ۖ وَلَا يَـُٔودُهُۥ حِفْظُهُمَا ۚ وَهُوَ ٱلْعَلِىُّ ٱلْعَظِيمُ
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Ustad Nouman Ali Khan menjelaskan makna ‘ilah’ pertama, bahwa “there is no actual worship is being done unless it is being done for Allah.” Jadi kita hanya akan merasakan pengalaman menyembah Allah hanya ketika melakukan ibadah hanya untuk Allah.
Makna kedua adalah to find peace with someone, to find contentment with someone, you can’t find any peace or contentment without Allah. Bagi Ustad Nouman makna favoritnya tentang kata “ilah” ini adalah bahwa Allah is someone you turn to when you’re in desperation.. someone you have intense love for.
Intense love for Allah inilah yang ingin dibuktikan oleh jamaah haji dengan melaksanakan semua ritual ibadah haji yang menguras seluruh fisik, jiwa, umur, ilmu, serta harta ini. Banyak jamaah haji yang umurnya berhenti ketika melaksanakan ibadah ini. Banyak juga muslimin yang hartanya dihabiskan untuk bisa melaksanakan ibadah ini. Ibadah yang begitu istimewa dan balasannya pun surga.
Mina itu kota mati. Tanpa ibadah haji, Mina benar-benar kota yang tidak ada apa-apanya. Tidak ada air, tidak ada tumbuhan, tidak ada apapun. Mina menjadi hidup hanya karena ibadah haji. Di Mina semua jamaah haji tinggal di tenda. ada hotel berbintang sih, tapi itu hanya untuk segelintir orang. Tapi intinya Mina itu adalah kota untuk persinggahan, bukan kota untuk ditinggali selamanya.
Jamaah haji di Mina harus sabar antri di toilet karena di sana sangat terbatas toiletnya. Harus antri untuk dapat makanan, harus antri ketika berwudhu, semuanya harus antri karena keterbatasan sumber daya yang ada dan betapa banyaknya manusia yang ada di sana.
Di Mina ini karakter seseorang sungguh sangat-sangat diuji. Jika berbuat baik kepada sesama jamaah haji selama di Mina, you will get an everlasting friendship. Dan jika berbuat buruk pada jamaah haji lain di Mina, you will forever have bad memories. Padahal itu cuma 4 hari. Tapi karena segala keterbatasan selama 4 hari itu, semua kebaikan jadi terasa lebih bermakna, semua pertolongan akan tersimpan dalam memori yang terdalam, dan semua keburukan menjadi begitu tersimpan lama.
Hal tersebut sungguh membuat saya tersadar bahwa that’s the very essence of life. Mina itu adalah representasi hidup singkat kita di dunia ini. It could be 40-50 years, some people reach 60-70 years, some only reach 10-20 years.
Dunia ini seperti kota Mina, kota persinggahan untuk menguji karakter kita, dan juga ujian apakah kita akan meninggalkan dunia ini penuh dengan kebaikan atau keburukan. Di sinilah saya tersadar kenapa di dunia ini begitu banyak keterbatasan, begitu banyak ujian yang menguji kesabaran, begitu banyak hal-hal yang tidak sesuai dengan harapan.
Four days in Mina.. makes me aware of the very essence of life, the very meaning of “lahu maa fissamaawaati wal ardh”. Apapun yang ada di langit dan di bumi sejatinya adalah milik Allah.. bukan milik raja.. bukan milik presiden, rektor, atasan, kepala dinas, bukan. Semuanya milik Allah dan Allah bisa kapanpun mengirim orang untuk menguji kesabaran kita, mengirim banyak masalah untuk meningkatkan kesadaran kita akan begitu dekat pertolonganNya.
To always turn to Him in the most desperate times, cause He owns everything and everyone is this dunya. Tugas kita hanyalah keep making every effort to stay in His path. to always turn to Him. to do good and to be better in being His servant.
Ketika jamaah haji pergi, Mina kembali menjadi kota mati. Tidak ada yang mau tinggal di sana. Semua orang ingin meneruskan hidupnya. Mina kembali menjadi kota yang tidak berarti. Seperti dunia ini, kelak kita pasti mati, dan menjelang ajal kita tersentak.. tersadar betapa tidak berartinya dunia yang kita kumpulkan sepenuh hati itu.
Tidak ada gunanya harta yang terus menerus ditumpuk itu, karena kita harus meneruskan hidup di alam yang berbeda. Yang berguna hanya iman dan amal saleh yang kita kumpulkan selama hidup yang singkat itu. Kedekatan kita dengan Allah yang insya Allah akan menstabilkan jiwa kita dalam menghadapi saat-saat mengejutkan ketika sakaratul maut datang.
Setelah maut datang, kita akan menjalani alam lain.. di mana ‘Man Dzalladzii yasyfau indahu illa biidznih’.. tidak ada yang dapat memberi syafaat kecuali dengan seizin-Nya. Ustad Nouman menjelaskan bahwa syafaat itu ‘kedekatan’. Bayangkan ada orang yang hendak berlaku buruk kepada kita lalu tiba-tiba datang orang yang menghalau orang yang berniat buruk tersebut dan mengatakan bahwa kita adalah teman dekatnya.
Begitulah syafaat, kedekatan tersebut adalah kedekatan yang terjalin karena ketaatan yang tulus, karena iman yang penuh dengan ilmu, karena ibadah yang mukhlis, karena hati yang penuh kerendahan hati nan bersih. Rasa dekat yang ditampakkan ke dalam hati hambaNya olehNya, rasa tentram karena kita tahu kita telah berupaya maksimal untuk bertakwa kepadaNya hanya karena adanya ‘the intense love for Him.’
Dampak lain dari adanya kedekatan tersebut adalah rasa ringan meninggalkan dunia. Melihat dunia secara proporsional, adil, dan apa adanya. Seperti Mina yang semua orang begitu ringan meninggalkannya seusai semua ritual ibadah haji, selayaknya begitu pula sikap kita terhadap dunia. Kita seharusnya bisa dengan ringan meninggalkan dunia karena kita tahu kita akan meneruskan hidup ke alam yang lebih nyata.. alam yang sesungguhnya. Kita akan meneruskan hidup ke alam kubur.. dan alam akhirat..
Setelah pengalaman di Mina, saya jadi termotivasi untuk berkarya tanpa batasan mental. Saya tahu bahwa Allahlah satu-satunya atasan saya yang sesungguhnya, dan saya sadar Dia akan selalu menjaga segala sesuatunya dengan baik. It keeps me optimistic. Di kala disertasi tak kunjung usai, di kala semuanya tampaknya tak berjalan sesuai harapan, saya selalu yakin bahwa Allah ‘ya’lamu maa baina aidihim wa maa Kholfahum.. walaa yuhituuna bisyai’in min ‘ilmihi illaa bimaa syaa..’
Saya tahu keterbatasan pengetahuan saya tentang banyak hal bisa merupakan berkah untuk tidak banyak mengkhawatirkan banyak hal, untuk tidak terlalu banyak pertimbangan dalam melangkah, untuk tetap yakin bahwa yang saya ketahui saat ini adalah tingkatan pengetahuan yang Allah berikan secara proporsional untuk saya dan pasti banyak kebaikan di dalamnya.
Banyak kebaikan yang bisa tercipta karena Allah menganugerahkan keterbatasan pengetahuan ini.. termasuk keberanian untuk melakukan terobosan-terobosan berpikir tanpa rasa takut akan masalah-masalah yang tetap hadir pada waktunya dia harus hadir. Dan masalah itu pun tidak akan pergi hanya karena kita mengkhawatirkannya di awal.
Saat situasi dalam hidup saya dengan segala permasalahannya terlihat stagnan, tidak ada progress, tidak terlihat seperti akan ada jalan keluar, ayat ‘wasia kursiyyuhussamaawati wal ardh’ menguatkan saya.
It keeps me aware, bahwa pertolongan Allah bisa datang dalam bentuk apapun.. karena kekuasanNya menjangkau hal-hal yang tidak saya ketahui, dan penyelesaian semua masalah selalu penuh kejutan. Karena saya tidak pernah menyangka darimana datangnya pertolongan Allah, beberapa dalam bentuk surprise-surprise yang menyenangkan seperti penguji yang baik hati, reviewer yang sibuk sehingga disertasi saya tidak banyak revisi, dan surprise-surprise lain yang begitu manis.. maa syaa Allah.. laa quwwata illa billah..
Bagi saya yang pernah diizinkanNya mengalami masa-masa di Mina, di Arafah, masa-masa haji yang begitu penuh emosi yang campur aduk dan penuh dengan ketidakpastian situasi antara hidup dan mati, saya semakin yakin akan penjagaanNya.. ayat ‘wa laa yauduhu hifzhuhuma.. wahuwal ‘Aliyyul Adziim..’ sungguh menggugah jiwa. Tidak berat bagi Allah menjaga langit dan bumi.. tidak berat sama sekali bagi Allah untuk menolong hamba-hambaNya yang beriman.
It keeps me motivated, serta merasa ringan pula dalam menjaga hubungan denganNya, untuk terus menjalani siklus rukun iman dan islam sampai umur ini usai. Bukan karena apa-apa, tapi karena dengan menjalani hal-hal tersebut saya bisa menyaksikan betapa Maha Tinggi dan Maha Agungnya Allah dari sisi manapun. Maha Tinggi Allah dengan melihat dari segi syariat yang ditetapkanNya, yang meninggikan derajat seseorang yang melaksanakan syariatNya dengan tulus. Maha Agung Allah dengan segala kekuasaanNya, dari mulai sisi terdalam jiwa seseorang sampai seluruh denyut galaksi dan nebula. Sungguh saya saksikan Al ‘Aliyyul Adziim..
Wallahu’alam bisshawab.
Sri Nurhayati
Wednesday, 14 ramadhan 1439H