Hatiku Mati Rasa
*****
Saat ustad NAK menyampaikan khutbah ini, Ramadan sudah separo jalan, saat kita biasanya mulai menghitung berapa hari lagi yang tersisa, pengin segera kelar puasanya. Bukannya memikirkan berapa hari lagi yang seharusnya kita sayangi dan kita dambakan, pengin supaya Ramadan jangan buru-buru pergi dulu.
*****
Ustad ingin mempersembahkan khutbah ini untuk mengingatkan diri beliau sendiri tentang apa itu Ramadan, dan apa yang sedang kita lakukan. Karena, belajar dari pengalaman ustad, lewat separo semester, murid-murid beliau kehilangan motivasi. Sehingga biasanya ustad harus mengingatkan mereka tentang apa yang sedang mereka lakukan, dan mengapa mereka melakukan itu.
Dan juga karena, dalam hal apa pun, jika kita tidak termotivasi, kita tidak akan melakukan apa yang seharusnya kita lakukan, apa yang kita lakukan tidak akan berkualitas, dan apa yang kita lakukan jadi tidak bermanfaat.
Motivasi adalah ‘bahan bakar tak terlihat’ (invisible fuel) dibalik kesuksesan apapun. Mereka yang termotivasi menyelesaikan banyak hal. Mereka yang tidak punya motivasi seperti itu pada akhirnya tidak menyelesaikan apa-apa.
Ada sasaran yang kita harus selesaikan di bulan Ramadan untuk kita sendiri. Tidak semua dari kita punya sasaran yang sama. Sasaran apapun yang kita punya, tidak akan kita raih jika kita tidak termotivasi.
Mempertahankan motivasi itu tidak mudah. Inilah kenapa Allah bilang, “Fa dzakkir in nafa’atidz-dzikroo.” (QS Al-A’la, 87: 9). Beri peringatan karena peringatan itu perlu. Mengingatkan berarti tidak mengatakan sesuatu yang baru. Mereka sudah tahu. Tapi mereka perlu untuk mendengarnya kembali. Karena ketika mereka mendengarnya kembali, kadang-kadang mereka merasa seperti mendengarnya untuk pertama kali.
Hal yang pertama yang ustad NAK ingin ingatkan untuk dirinya, dan harapannya juga bisa mengingatkan kita semua, adalah dua sasaran Ramadan yang dipetik dari ayat Ramadan, di Surat Al-Baqarah (QS 2: 185). Kata yang digunakan di akhir ayat adalah “La’alla“. Kata ini bermakna sehingga atau supaya (so that) atau mudah-mudahan (hopefully).
Allah bilang, “La’allakum tasykurun.” Supaya kamu semuanya bersyukur. Allah berharap supaya di akhir Ramadan lebih bersyukur dibandingkan sebelum Ramadan. Ini adalah hal yang luar biasa untuk dipikirkan.
Ketika Ramadan usai dan di hari raya kita bisa makan di siang hari dan mengucapkan alhamdulillah seusai makan, itu juga bersyukur, tapi makna ‘supaya kamu semuanya bersyukur’ tadi tidak terbatas pada hal itu. Maknanya lebih dari itu.
Silakan kita bertanya pada diri sendiri, apakah kita benar-benar bersyukur karena dapat hadiah dari Allah berupa Al-Quran yang diturunkan di bulan Ramadan ini? Seberapa tinggi apresiasi kita?
Apakah apresiasi kita hanya seputar makanan dan minuman yang bisa kita kunyah dan sruput jam berapapun kita kepingin makan dan minum, di hari raya? Tubuh kita mendapatkan apa yang dia butuhkan. Tapi ada sesuatu yang lain dalam diri kita yang juga punya kebutuhan. Dan kebutuhan ini seharusnya dipenuhi di bulan Ramadan.
Ada cahaya, ruh, dalam diri kita. Cahaya itu belum menyala sempurna. Dan cahaya itu hanya bisa dibantu untuk menuju kesempurnaan dengan cahaya yang diturunkan oleh Allah. Ini lah yang Allah bilang, “Nuurun ‘alaa nuur.” (QS An-Nur, 24: 35). Cahaya di atas cahaya. Allah menurunkan cahaya-Nya di atas cahaya kebaikan dalam diri kita yang belum sempurna. Dan ketika kita mampu menangkap cahaya Allah itu, kita seharusnya bersyukur.
Inilah sasaran bulan suci Ramadan, yaitu supaya kita berterimakasih, kita bersyukur, karena Allah sudah memberi kita hadiah, yaitu Al-Quran. Kita bersyukur atas pedoman ini, seperti lilin yang menjadi ‘pedoman’ kita, yang menerangi rumah kita, ketika terjadi pemadamam listrik dari PLN, sehingga dengan ‘pedoman’ tadi kita tidak tersesat di kegelapan malam, meski di rumah kita sendiri.
Hal lain tentang ayat Ramadan adalah bahwa Allah memberitahu kita untuk berdoa. “Wa idzaa sa-alaka ‘ibadii ‘annii fa innii qariibun. Ujiibu da’wataddaa’i idzaa da’aan.” (QS Al-Baqarah, 2: 186) Allah akan merespon doa apapun yang kita panjatkan.
Bulan Ramadan ini adalah bulan untuk kita banyak-banyak bicara sama Allah. Al-Quran adalah, Allah bicara sama kita. Doa adalah, kita bicara sama Allah. Dengan begini percakapan jadi lengkap. Ada yang bicara sama kamu, kamu gantian bicara sama Dia.
Allah bicara sama kita, adalah Quran. Makanya kita baca Quran, dengerin Quran, terlibat dengan Quran, itu adalah Allah bicara sama kita. Lalu kita berdoa sama Allah, kita minta sama Allah berbagai macam hal, dan itu adalah kita bicara sama Allah. Dengan begini keterhubungan kita sama Allah jadi kuat.
Allah bilang, “Minta sama Aku kapan saja. Siapapun kamu. Aku akan merespon segera.” Tapi di bagian akhirnya (bagian akhir dari ayat ke-186 Surat Al-Baqarah). Allah bilang, “Falyastajiibuu lii.” “Mereka harus merespon Aku juga.”
Kita berdoa sama Allah, Dia merespon. Allah bilang, “Aku akan merespon, tapi Aku minta, kamu harus merespon Aku juga.” “Falyastajiibuu lii, maka mereka harus meresponKu.” Atau, setidaknya, kita seharusnya mencoba untuk merespon Allah.
Ini sangat sederhana.
*****
Hatiku Mati Rasa 2
Jika kamu paham apa yang aku bilang sama kamu, lalu aku minta sesuatu sama kamu, maka kamu pasti bisa merespon permintaanku. Jika aku minta air, jika aku minta bantuan, jika aku tanya alamat sama kamu, pake bahasa yang kamu ga ngerti, maka kamu bahkan mau merespon pun ga tahu mulainya dari mana.
Jadi ketika Allah bilang bahwa mereka seharusnya mencoba merespon Allah, maka termasuk di dalamnya adalah, mereka seharusnya mencaritahu supaya mereka paham apa yang Allah minta sama mereka.
Aku tahu apa yang sedang aku minta sama Allah. Aku tahu persis apa yang aku inginkan. Aku tahu persis semua masalah yang aku punya yang perlu penyelesaian. Aku tahu hasrat dan keinginanku yang perlu pemenuhan. Aku tahu persis semua sasaranku yang aku pengin Allah bantu aku untuk mencapainya. Aku tahu persis apa yang aku inginkan.
Tapi, apakah aku benar-benar tahu apa yang Allah inginkan? Jika aku ga tahu apa yang Allah inginkan, pantas saja Allah menurunkan ayat-Nya ini, biar kita tahu yang Dia inginkan. Dan Dia bilang, “Kamu akan minta sama Aku, tapi Aku juga akan minta sama kamu.”
Jika kita bisa mulai dengan minta sama Allah apa yang kita inginkan, dan kita juga mulai dengerin apa yang Allah minta dari diri kita, lalu Allah akhirnya akan bilang, “La’allahum yarsyuduun.” Semoga mereka (kita termasuk di dalamnya) memperoleh kebenaran.
Seseorang bertanya, “Bagaimana saya bisa menjadi orang yang lebih baik? Gimana caranya mengubah hidupku?” Hidupmu akan jadi lebih baik jika percakapan itu, percakapan antara Allah dan dirimu, yang membuatmu paham apa yang Allah minta dari dirimu, benar dan nyata terjadi dalam keseharian hidupmu. Sasaran (kedua) Ramadan seharusnya seperti itu.
Sekarang, ketika Ramadan menyisakan beberapa hari lagi, ustad Nouman ingin menyoroti dan menekankan bahwa kita bukanlah umat yang pertama yang dihadiahi Allah sebuah kitab. Begitu ada wahyu (revelation) turun, seharusnya itu menjadi sebuah percakapan antara Tuhan dan hamba-Nya.
Tapi tujuan turunnya wahyu itu, yang seharusnya menjadi sebuah percakapan, mulai kehilangan arah, seiring berjalannya waktu. Bangsa yang menerima wahyu sebelum kita, mereka kehilangan arah dan tujuannya. Kitab itu telah menjadi sesuatu yang lain. Kitab itu telah menjadi sesuatu yang sekedar dibaca dengan suara yang indah.
Kitab itu diperlakukan sedemikian rupa sehingga ada sebagian orang yang tahu banyak tentang kitab itu, dan mereka terlihat sebagai pemimpin yang religius, mereka tahu banyak tentang kitab itu, dan kita semuanya tidak perlu tahu apapun tentang kitab itu. Dan jika kita punya pertanyaan, kita bisa tanyakan ke mereka.
Kitab itu bukan untuk kita semua, kitab itu hanya untuk mereka. Hanya untuk kelas sosial tertentu: ulama, pendeta, syeikh. Mereka tahu tentang kitab itu, sementara kita semua, yang penting punya kehidupan yang normal, itu sudah cukup. Yang penting, kita tahu kapan kita boleh makan. Yang penting kita dikasih tahu apakah ini masih Ramadan atau sudah Idul Fitri.
Allah menggambarkan fenomena ini. “Alam ya’ni lilladziina aamanuu an takh-sya’a quluubuhum lidzikrillaahi wa maa nazala minal haqq.” (QS Al-Hadid, 57: 16)
Ustad Nouman minta kita memperhatikan ayat ini secara cermat. Ini adalah salah satu ayat paling menakutkan di Quran, yang menjelaskan rasa takut yang seharusnya kita miliki, tentang sebuah penyakit yang menyerang orang-orang sebelum kita. Mereka diberi kitab dan mereka mengacaukannya.
Di sini Allah bilang sama kita, “Kamu sebaiknya tidak bikin kesalahan seperti mereka, dengan Kitabmu.”
Cara Allah menyampaikan pesan ini adalah dengan bertanya, “Bukankah sudah tiba waktunya, sekarang, saat ini, untuk mereka yang mengklaim bahwa mereka beriman, bahwa hati mereka seharusnya diliputi oleh perasaan kemahakuasaan Allah, karena mengingat Allah.”
Allah bertanya, “Belum tibakah saatnya, bahwa hatimu merasakan sesuatu?”
Ketika kita mendengar sebuah pesan, ketika kita membaca sebuah pesan, pikiran kita memprosesnya. Kita paham apa yang dikatakan, apa yang dimaksud. Tapi Allah bilang, itu tidak cukup. Allah ingin hati kita merasakan sesuatu. Allah ingin hati kita diliputi perasaan itu, perasaan dikuasai oleh kekuatan yang dahsyat karena mengingat Allah.
Perasaan mengingat Allah yang seperti apa? _”Wa maa nazala minal-haqq.” Artinya, hati kita merasakan kekuatan yang dahsyat yang berasal dari kebenaran ayat-ayat yang diturunkan-Nya. Ketika Quran dibacakan kepada kita, ketika Quran diperdengarkan kepada kita, apakah hati kita merasakan kekuatan yang dahsyat itu? Kenapa itu belum juga terjadi? Dia menanyakan pertanyaan yang menakutkan ini.
“Alam ya’ni lilladziina aamanuu an takh-sya’a quluubuhum lidzikrillaah.” Quran yang sama yang kita dengar di salat kita, yang kita dengarkan saat kita berdiri salat tarawih, mungkin kita sedang berada di- super islamic mode sehingga kita putar bacaan Quran di mobil sambil kita nyetir, tapi tidak terjadi apa-apa di hati kita? Hati kita tidak merasakan apa-apa? Hati kita tidak bergetar? Hati kita tidak merasakan dahsyatnya kekuatan ayat-ayat itu?
Ketika seseorang nelpon kamu kasih kabar baik, “Hey, congrats ya, kamu lulus!” Hatimu berbunga-bunga, diliputi kegembiraan. Ketika seseorang yang lain menelpon mengabarkan ada kecelakaan mobil, hatimu diliputi rasa takut. Tapi ketika Allah kasih kabar baik dan kabar buruk, ketika Allah kasih petunjuk, ketika Allah kasih nasihat, tidak ada yang terjadi. Hati kita tak tersentuh. Hati kita biasa-biasa saja. Kita seperti hanya sekedar mendengar ada bunyi-bunyian di telinga.
Buat sebagian kita, tombol Play sudah kita tekan, ada murattal Quran di mobil, dan kita lagi ngobrol di mobil, Quran terdengar sayup-sayup, seolah-olah Quran hanya dijadikan musik latar belakang (background music) semata.
“Wa idzaa quri-al qur-aanu fastami’uu lahuu wa an-shituu,” (QS Al-A’raf, 7: 204). Allah bilang, dengarkan Quran itu dengan cermat, dengan sangat hati-hati, dan diam. Tenang. Jangan berisik. Jangan ngobrol sendiri.
Quran sedang dibaca. Itu kata-kata Allah, yang sedang dibaca. Tidak peduli apakah itu mp3, atau dari aplikasi, atau apapun, itu bukan sembarang bunyi-bunyian yang sedang diputar, itu adalah kata-kata Allah. Seharusnya kita mengingatkan yang lain, “Pssssst. Allah sedang bicara.” Jika kalian memang butuh ngobrol sama teman-teman kalian, pause dululah, baru lanjutkan ngobrolnya.
Kadang-kadang kamu ada di restoran menjelang buka di bulan Ramadan, dan mereka putar musik di latar belakang. Mereka putar bacaan Quran di latar belakang. Biasanya ustad Nouman mendatangi operator dan minta supaya bacaan Qurannya dimatikan dulu. Operatornya bingung lihat ustad punya jenggot. Operator berpikir orang berjenggot bukannya minta diputarin Quran kalo lagi sepi ga ada latar belakang musik, ini sudah diputarin malah minta dimatiin.
Kenapa ustad Nouman lakukan itu? Karena, orang-orang pada ngobrol di restoran. Mereka sedang bersosialisasi. Bagaimana ini bisa terjadi, mereka ngobrol dan bersosialisasi sementara Quran hanya diperlakukan sebagai latar belakang yang bising.
Quran adalah “kalimatullahi hiyal ‘ulyaa” (QS At-Taubah, 9: 40), kata-kata Allah yang menempati tempat yang tertinggi. Jika kita tidak bisa menghormati ketinggian itu, maka kita seharusnya tidak mendengarkan Quran saat itu, di situ. Jika kamu pengin dengar Quran, maka hentikan semua yang lainnya. Diam. Tenang. Khusyuk. Khidmat. Rendahkan hatimu dengan penuh ketundukan akan tingginya kata-kata Allah.
Dan jika hati kita sudah mati rasa sama kata-kata Allah, maka bagaimana mungkin kata-kata Allah bisa bikin hati kita tersentuh dan merasakan kekuatan firman-Nya. Kita harus hormati Quran. Hargai kedahsyatannya.
Sebenarnya kita tidak pantas, tidak berhak, tidak patut menerimanya. Manusia tidak layak menerimanya. Quran adalah hadiah, “Bi fadhlillaahi wa birohmatihi.” (QS Yunus, 10: 58). “Katakanlah Muhammad kepada mereka, ‘ini adalah karunia luar biasa dari Allah, ini datang dengan kasih sayang-Nya’.”
Kita tidak pantas mendapatkan hadiah ini. “Fabidzaalika falyafrohuu,” (masih di ayat yang sama) “Dengan hadiah itu, hendaknya mereka bergembira.” “Huwa khoyrun mimmaa yajma’uun,” “Hadiah ini jauh lebih baik dari apapun kekayaan yang mereka kumpulkan.”
*****
Hatiku Mati Rasa 3
Tidak ada harta karun (treasures) yang pernah dimiliki manusia yang bisa dibandingkan dengan Al-Quran. Seandainya semua harta karun yang diburu oleh semua treasure hunters termasuk Indiana Jones dan Jack Sparrow dikumpulkan jadi satu, itu semua nilainya tidak bisa mengalahkan Al-Quran. Inilah sikap yang seharusnya kita miliki terhadap Al-Quran.
Dan di sini di Surat Al-Hadid Allah bilang, “Kenapa hatimu belum juga tergerak? Kenapa kamu belum merasakan sesuatu, ketika kamu mendengar kalimat-Ku? Tahukah kamu bahwa ini bukan yang pertama kalinya terjadi?”
Quran, kata-kata terhebat dari Allah telah turun. Sebelumnya, Taurat juga sudah Allah turunkan. Juga kitab-kitab yang sebelum itu. Dan Allah bilang, “Wa laa yakuunuu kalladziina uutul kitaaba min qablu.” (masih di ayat yang sama, QS Al-Hadid, 57: 16). Jangan sampai mereka menjadi seperti orang-orang yang telah menerima kitab sebelum itu, jauh di masa lalu, “Fathaala ‘alayhimul amadu,” kemudian mereka melalui masa yang panjang, melewati berbagai generasi di masa lalu.
Artinya, mereka memeluk kitab itu, di generasi Musa ‘alayhissalam, lalu satu generasi setelahnya, dua generasi, dua puluh generasi, tiga puluh generasi, beberapa abad pun berlalu, seribu tahun (millennial) pun berlalu, agama menjadi tua.
Seperti halnya Islam, kini sudah 1500 tahun, “Fathaala ‘alayhimul amadu,” berlalu masa yang panjang atas mereka, lebih dari seribu tahun dan Islam pun menjadi agama yang tua sekarang.
Apa yang Allah lukiskan, ketika sebelumnya mereka punya kitab yang Allah turunkan itu, mereka takjub dengan kitab itu, tapi setelah masa yang panjang berlalu, kitab itu hanya menjadi bagian dari budaya, apa yang dilakukan penganutnya sekedar menjadi kebiasaan yang biasa dilakukan, seperti mereka melakukan hal-hal yang lain, tidak seperti sesuatu yang sungguh-sungguh menggerakkan hati, Allah menggambarkannya, “Fathaala ‘alayhimul amadu faqasat quluubuhum.” Maka hati mereka menjadi keras. Hati mereka tidak bisa merasakan apapun.
Mereka berada di bulan Al-Quran (yaitu bulan Ramadan), tapi apa yang mereka pikirkan adalah melulu soal apa yang mereka makan saat iftar. Atau siapa yang mengundang iftar. Atau kompetisi iftar, ga mau kalah dengan yang punya empat macam kuliner, mereka bikin lima macam kuliner. Atau apa yang akan digunakan saat Idul Fitri, apakah sudah pilih-pilih pakaian (outfit)? Apakah sudah shopping buat lebaran yang tinggal 10 hari lagi? “Bazarnya pasti gila-gilaan, kita harus belanja sekarang. Buruan pesan di toko online.” “Apakah pesanannya sudah datang? Oh, ternyata ukurannya salah.” Hal-hal seperti itukah yang berputar-putar di kepala kita?
“Oh iya, baru kepikiran, belum belanja ayam, ketupat lebaran, belum beli ini, belum beli itu.” Hari-hari terakhir Ramadan seperti waktu salat Asar. Berasa singkat dan tak punya banyak waktu. Tiba-tiba ada target untuk dapetin ini di toko itu, dapetin itu di toko lainnya. Ini yang berputar-putar di kepala kita.
Dengarkan apa yang Allah bilang di surat yang sama, hati menjadi keras, lalu apa yang Allah bilang kemudian? Orang-orang itu bingung, perhatiannya terbagi, “I’lamuu annamal hayaatuddunyaa la’ibun wa lahwun wa ziinatun wa tafaakhurun baynakum.” (QS Al-Hadid, 57: 20). Surat yang sama.
Allah bilang, “Kehidupan duniawi bagi kebanyakan orang hanyalah permainan (playing around).” Gimana cara kamu melewatkan waktumu? Anak-anak kalo di bulan puasa, “Sekolah kagak, di luar panasnya minta ampun, main PS4 aja lah, mayan buat habisin waktu siang dan sore. Ya iya, main game aja. Ngapain lagi coba?”
Oh, kehidupan duniawi. Kalo kamu, kira-kira ngapain? Sama, bermain juga, seperti anak-anak. Kalo tidak, kalo kamu sedikit lebih dewasa, “Wa lahwun, cari hiburan (entertainment).” “Aku kan belum nonton Season 2, Maghrib masih 45 menit lagi, bisalah aku dapetin satu episode lagi.” Kehidupan duniawi diisi hiburan yang satu, hiburan berikutnya, lalu hiburan yang lainnya. Hidup kita jadi seperti itu. “Aku ingin bermain, aku ingin hiburan.”
Mungkin ada sebagian dari kita yang, “Aku ga nonton tv, aku ga nonton film, ga ada yang aku tonton. Aku juga ga suka main game.” Ustad mengingatkan, bisa jadi kelompok ini terkena virus yang lain, “Wa tafaakhurun baynakum.” Pamer. Kamu iftar masak apa? Gaunmu apa? Beli di mana? Kamu tahu ga, aku masak apa hari ini? Kamu tahu ga, berapa yang aku undang ke rumah? Orang-orang yang ga bisa datang pada nanyain lho, kapan bikin undangan lagi?
Kalo Ramadan ini kita seperti ini, ga heran kalo hati kita menjadi keras. Kita menjadi lebih duniawi di bulan yang seharusnya kita menjauhkan diri dari hal-hal yang bersifat duniawi. Ini adalah bulan di mana kita seharusnya memberi makan jiwa kita. Ini adalah bulan di mana kita seharusnya melepaskan ambisi duniawi.
Allah melatih kita untuk merasakan kelaparan (starvation) sepanjang hari, tapi saat kita buka puasa, kita makannya lebih dari biasanya, di atas normal. Ustad Nouman, mengajak para ibu yang biasa menyiapkan iftar, bereksperimen untuk menyajikan hanya kurma dan air putih sebagai hidangan buka puasa. Sambil memonitor seperti apa wajah-wajah dari semua anggota keluarga yang duduk menghadap meja makan. “Hanya ini?” “Ini serius?”
Padahal ‘dzikir’ yang biasa dilakukan sebelum iftar adalah, “Apakah aku atau dia yang akan dapetin chicken legs itu?” Tiga puluh sembilan detik lagi. Tiga puluh delapan. Tiga puluh enam. Kalau keluarga kita seperti ini, ini adalah indikasi hati kita menjadi keras.
Jika kita izinkan hati kita untuk tetap menjadi keras, lalu apa Allah bilang, “Faqasat quluubuhum, wa katsiirun minhum faasiquun.” Kebanyakan dari kita akan menjadi fasik, jahat (corrupt). Ketika hati menjadi keras, hati akan menjadi arena bermain setan, sehingga semua bentuk ketidaktaatan sama Allah, semua hal yang buruk dan jahat, semuanya masuk, dan pegang kendali.
Ini adalah bulan di mana hati kita seharusnya menjadi lembut, karena setan sedang dirantai, tidak bisa mengacaukan kita. Jika kita membantu setan melakukan pekerjaan mereka, menyiapkan hati kita untuk tetap menjadi keras, berarti kita telah gagal paham, gagal memanfaatkan Ramadan (padahal umur masih dipanjangkan sehingga kita masih bisa sampai di bulan Ramadan tahun ini saja harusnya bikin kita bersyukur tanpa henti).
Ramadan mendatanginya kembali tahun ini dengan kekuatan penuh. Tapi seolah-olah dia tak pernah berada di bulan ini. Spiritualitas seharusnya tumbuh, hati seharusnya makin terkoneksi ke Allah, tapi itu tidak terjadi. “Faqasat quluubuhum.” Kita menjadi saksi atas realitas yang menakutkan dari orang-orang yang terdahulu: penyakitnya sama.
Sifat-sifat alam tidak pernah berubah. Gravitasi akan selalu begitu (memberi bobot pada benda). Api akan selalu menyala. Ini adalah hukum-hukum Allah, Dia yang menciptakannya. Begitu juga hukum yang berlaku untuk hati kita. Jika kita melakukan hal yang sama yang dilakukan oleh orang-orang yang terdahulu, hasilnya pun sama, tidak akan lebih baik. Rumusnya tetap sama. “Wa katsiirun minhum faasiquun.” Sebagian besar dari mereka yang hatinya keras, akan mengikuti jejak orang-orang terdahulu yang seperti itu, menjadi fasik, jahat.
Lalu di ayat berikutnya Allah bilang, “I’lamuu annallaaha yuhyil-ardha ba’da mawtihaa.” (QS Al-Hadid, 57: 17). “Ketahuilah, Allah menghidupkan bumi sesudah matinya.” Allah beri hidup buat hati yang telah mati. Mungkin kamu merasa hatimu telah mati.
Ya, benar, aku tidak merasakan itu lagi. Hatiku mati rasa. Hatiku tak terkoneksi. Aku merasa hatiku telah mati. Allah bilang, “Gapapa, itu masih oke. Jika kamu merasa hatimu telah mati, tahukah kamu masih ada satu lagi sunnahnya Allah: Dia ambil bumi yang sudah mati, dan menghidupkannya kembali. Begitu juga dengan hatimu yang telah mati, Allah bisa menghidupkannya kembali.”
Masih ada harapan. “Qod bayyannaa lakumul aayaati la’allakum ta’qiluun” (masih di ayat yang sama). Allah bikin itu jelas buat kamu supaya kamu bisa memikirkannya. Allah tidak sedang bicara sama bumi, Allah tidak sedang bilang ke bumi bahwa bumi akan dikasih tanaman hijau (greenery). Tapi Allah sedang bicara sama kamu. Ya, kamu. Allah bikin perumpamaan bumi yang mati itu buat kamu. Supaya kamu mengerti bahwa Allah sedang bicara tentang kamu. Dan tentang hatimu yang mengering, seperti tanah yang tandus. Tapi itu oke. Itu bisa dibikin hidup lagi.
Sekarang pertanyaannya adalah, bagaimana caranya bumi yang mati dibikin hidup lagi? Itu kan pertanyaannya? Bagaimana cara Allah melakukannya? Kalo hujan berhenti, kalo ga ada air, bumi mati. Kalo ada hujan, kehidupan datang kembali. Dan hujan datang dari langit. Seperti halnya kata-kata Allah, datang dari langit. Inilah kenapa Allah mengiaskan Quran dengan hujan. Quran datang dari langit, hujan juga datang dari langit.
Jadi apa yang sedang Allah katakan di sini? Apa makna tersirat (between the lines) dari ayat ini? Dia sedang bilang sama kita, bahwa kamu harus benar-benar berpikir untuk connect, untuk merespon Allah ketika Allah bicara sama kamu di Quran.
Beberapa dari kamu ga tahu sama sekali tentang Quran. Beberapa dari kamu tahu banyak tentang Quran. Itu semua ga masalah. Karena yang tahu banyak, yang ga tahu apa-apa, sama saja, ketika kita bicara soal mengingat Allah. Karena bukan ini (sambil Ustad nunjuk ke pelipis, maksudnya, otak) yang sedang diisi, tapi inilah (sekarang nunjuk ke dada, maksudnya, hati) yang perlu diisi ulang terus-menerus.
Sekarang, pikirkan tentang air. Kamu tidak akan bilang, “Kemaren aku sudah minum kok, air, jadi aku sudah oke, ga butuh air lagi hari ini.” Kamu butuh air setiap hari. Kemaren kamu minum air. Hari ini kamu minum air lagi. Besok kamu masih butuh minum air lagi. Karena tanpa air, tubuhmu akan mulai meredup.
Sama juga, kata-kata Allah harus kamu ‘teguk’ lagi, lagi, dan lagi, meskipun kamu sudah pernah tahu, tetap terima lagi, masukkan lagi, lagi dan lagi, dan setiap kata yang masuk itu akan memulihkan sesuatu di hati kamu. Membersihkan hati kamu. Mengeluarkan racun (detox) di hatimu. Juga, memperbaiki (fixing) pikiran dan perasaanmu.
Mungkin ada yang salah yang terus kamu lakukan. Dan kamu ga punya kekuatan untuk keluar dari pusaran itu. Kata-kata Allah akan memberimu kekuatan. Masih ada beberapa hari tersisa di Ramadan ini. Jadikan itu hari-hari Al-Quran.
Habiskan waktu luangmu buat minta sama Allah supaya membimbingmu. “Ya Allah, aku akan menghampiri ayat-Mu, aku minta sama Kamu setiap waktu, sekarang aku siap untuk menyimak apa yang Kau minta dariku.”
Bukalah Quran. Apapun suratnya. Bacalah. Jika kamu ga ngerti, baca sedikit lebih banyak lagi. Jika masih ga ngerti juga, tanya ke seseorang. Ustad Nouman tetap humble bahwa beliau juga adalah pembelajar Quran (student of Quran) dan tidak menjamin bahwa beliau pasti punya jawabannya kalo ada yang nanya, tapi beliau membuka diri untuk menerima siapa saja yang ingin belajar Quran. Sampai akhir Ramadan, setiap selepas jam 1 siang, Ustad menerima siapa saja yang mau bertanya. Apapun pertanyaannya. Akses langsung ke Ustad. Yang mau pake medsos juga boleh posting pertanyaan di medsos.
Ustad pernah baca pertanyaan, “Apa yang Allah minta dariku?” “Apa yang Allah minta dariku ketika aku membaca ayat ini?” Allah itu bicara sama kamu saat kamu baca Quran. Biarkan percakapan itu mengalir. Biarkan percakapan itu terjadi. Terutama di hari-hari terakhir Ramadan ini. Itu yang seharusnya kita lakukan.
Dan kenapa kita seharusnya melakukan itu? Ustad mengajak kita untuk kembali ke sasaran pertama: supaya kita bisa bersyukur (so we can be grateful).
Ada pertanyaan sulit yang Ustad ga bisa jawab untuk kita, hanya kita yang bisa jawab: “Apakah kamu sungguh-sungguh merasa bersyukur Allah sudah kasih Quran, di kehidupan pribadi kamu?”
*****
Hatiku Mati Rasa Part 4 (Final)
Pernahkah kamu baca Qurannya Allah, lalu kamu merasakan sesuatu, yang bikin kamu harus mensyukurinya? Kamu merasa bahwa Quran benar-benar telah membantumu? Kamu merasa bahwa Quran telah bikin hidupmu lebih baik? Kamu merasa bahwa kamu butuh Quran banget, persis seperti kamu butuh air saat iftar? Apakah kamu merasa bahwa kamu akan selalu butuh disiram dengan kata-kata Allah setiap hari?
Jika kita belum merasakan perasaan bersyukur seperti itu, berarti kita telah gagal memahami Ramadan.
Ayat-Nya diawali dengan “Syahru ramadhaanalladzii unzila fiihil qur’aan,” diakhiri dengan “la’allakum tasykuruun“. Kita berada di bulan Quran ini supaya kita bersyukur. Supaya kita bisa menghargainya. Bagaimana kita bisa menghargai sesuatu kalo kita bahkan tidak tahu?
Ada temanmu yang bilang, “Mobil ini hebat bukan main lho, Bro.” Tapi kamu ga yakin kalo mobil itu bagus. Kenapa? Ya karena kamu ga tahu. Tapi begitu kamu datang ke dealer mobil, begitu kamu selesai melakukan uji jalan (test drive) kamu baru sadar kalo mobil itu ternyata bagus. Sekarang kamu benar-benar bisa menghargai mobil itu.
Saran Ustad, ambillah Quran untuk test drive. Cobalah jalani hidupmu bersama Quran. Apapun Quran terjemahan yang kamu punya. Apapun akses ke Quran yang kamu punya. Apapun aplikasi Qurannya. Janganlah ragu untuk bertanya. Ga usah juga cemas mikirin gimana kalo terjemahannya salah. Allah akan membimbing-Mu.
Jika kamu benar-benar tulus mencari petunjuk, dan kamu buka Quran-Nya, dan kamu benar-benar pengin cari jawaban dari Allah, maka kalo kamu punya pertanyaan, kamu akan ketemu orang-orang yang akan bantu kamu. Kamu akan ketemu orang-orang yang bisa kamu tanya. Yang siap bantu jawab pertanyaanmu.
Tapi perjalanan menggapai petunjuk-Nya ini takkan bisa dimulai kalo kamu tidak mulai mencari. Kamu harus mulai dulu, minta sama Allah, “Apa yang Allah minta dariku? Apa yang Engkau berikan padaku di dunia ini?” Dan perjalanan itu, “Wallaahil’azhiim, akan menjadi perjalanan terindah yang pernah kamu miliki.”
Ketika Isa ‘alayhissalam (Jesus) diberi Injil (Gospel), dan masa kenabiannya lewat, setelah kepergian Isa ‘alayhissalam, selama enam abad lamanya, tidak ada lagi wahyu (revelation) yang turun. Dunia berada dalam kegelapan. Allah melukiskannya, “Wallayli idz adbar.” (QS Al-Muddatstsir, 74: 33) Demi malam ketika telah berlalu. Malam menjadi semakin gelap. Dan makin pekat. Dunia berada dalam kegelapan sehingga orang-orang yang ada di dalamnya pun berada dalam kegelapan.
Selanjutnya Allah melukiskan datangnya Quran dengan ayat berikutnya, “Wash-shub-hi idzaa asfar innahaa la-ihdal kubar.” (ayat 34 dan 35). Dan demi subuh ketika menyingkap kegelapan malam. Kini pagi telah datang, dengan cahayanya yang terang-benderang. Ini adalah peristiwa terbesar yang pernah terjadi. Allah bilang, turunnya Quran adalah peristiwa paling akbar yang pernah terjadi, “La-ihdal kubar.”
Dan peristiwa terbesar itu ternyata ada di rumahku, tapi aku tak pernah tahu. Dan peristiwa terbesar itu aku punya aksesnya di hapeku, tapi aku tak pernah tahu. Ini adalah berita terbesar, peristiwa terbesar yang manusia pernah mengalaminya.
Semoga Allah mengizinkan kita masing-masing, di bulan ini, di hari-hari yang tersisa di Ramadan ini, untuk benar-benar terhubung (connected) dengan kata-kata Allah, untuk membacanya dengan cara Quran sepatutnya dibaca, untuk merenungkannya, untuk memikirkannya, untuk bertanya tentangnya dengan cara yang pantas dan penuh penghormatan.
Semoga Allah ‘azza wa jalla menjaga kelembutan hati kita saat kita berduaan dengan Quran, dan benar-benar mengemis petunjuk dari Allah ketika kita membaca Qurannya.
Semoga Allah memberkati kita dengan air mata yang tulus. Air mata seorang hamba yang mengharapkan ampunan-Nya. Air mata seorang hamba yang bersyukur atas segala nikmat-Nya. Air mata kerendahan hati. Air mata pengakuan akan kemahakuasaan-Nya.
Semoga Allah mengizinkan air mata itu menetes di momen kesendirian kita, ketika tak ada orang yang melihat. Hanya kita dan Allah yang tahu.
Semoga Allah menghadiahi kita momen-momen penuh tetesan air mata bahagia itu di bulan ini. Dan semoga Allah menjadikan momen itu sarana pengampunan dosa kita. Dan semoga Allah berkenan membukakan rahmat-Nya untuk kehidupan kita yang lebih baik setelah Ramadan berlalu. Dan juga, di masa-masa yang akan datang.
Baarakallaahu lii walakum fil qur’aanil hakiim. Wanafa’anii wa iyyaakum bimaa fiihi minal aayaati wadz-dzikril hakiim.
Resume Oleh Heru Wibowo
*****
Link video: https://www.youtube.com/watch?v=3bH8cg9oGyM
[…] via Hatiku Mati Rasa – Nouman Ali Khan — Nouman Ali Khan Indonesia […]
LikeLiked by 1 person
Maaf, yang dibicarakan bukan “hati”, tepatnya adalah “jantung” atau “qalbu”. Terimakasih, mungkn saya salah, sebab Allah yang paling mengetahui segalanya yg Haq.
LikeLike