Dari sekian banyak ayat-ayat al-Qur`an yang dibahas oleh Ustad Nouman Ali Khan dengan sangat indah dan mendalam, kalau saya harus memilih satu yang menurut saya paling luar biasa adalah surah al-Baqarah QS. 2 ayat 143.
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَـٰكُمْ أُمَّةًۭ وَسَطًۭا لِّتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًۭا ۗ وَمَا جَعَلْنَا ٱلْقِبْلَةَ ٱلَّتِى كُنتَ عَلَيْهَآ إِلَّا لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ ٱلرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِن كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى ٱلَّذِينَ هَدَى ٱللَّهُ ۗ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَـٰنَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِٱلنَّاسِ لَرَءُوفٌۭ رَّحِيمٌۭ
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.“
Ayat ini bukan hanya begitu dalam maknanya tetapi juga merupakan salah satu mu’jiz dari sekian banyak mu’jizat yang ALLAH subhanahuwata’ala jadikan dalam al-Qur`an.
Seperti kita ketahui, setiap surah dalam al-Qur`an memiliki jumlah ayatnya masing-masing. Pada masa Rasulullah, jumlah ayat ini tidak pernah ditegaskan dalam angka seperti saat ini. Barulah ketika Al-Qur`an sudah berbentuk mushaf kemudian disempurnakan, mulai hadir nomor urut surah dan jumlah ayat dari setiap surah. Sehingga bisa dikatakan bahwa baik Rasulullah shalallahu alaihi wassalam dan para sahabat tidak pernah kenal dengan berapa banyak jumlah ayat dari surah tertentu dalam Al-Qur`an.
Surah al-Baqarah memiliki 286 ayat. Separuh dari 286 adalah 143, yang artinya ayat 143 berada di tengah surah. Pada ayat tersebut terdapat kata wasathan (wawu-sin-tha) yang memiliki arti “tengah-tengah”. Maka ayat 143 berada di tengah surah dan mengandung kata yang memiliki arti “tengah”.
Ayat 143 merupakan salah satu ayat dalam rangkaian ayat yang memiliki topik tentang perubahan kiblat. Peristiwa perubahan kiblat terjadi di Madinah, di mana posisi kota Madinah berada di antara kota Makkah (Bayt al-Haram) dan kota Jerusalem (Bayt al-Maqdis). Kata wasathan (wawu-sin-tha) juga memiliki arti “di antara”. Maka ayat 143 diturunkan di kota Madinah yang berada di antara dua kiblat.
Sebelum ayat 143 terdapat rangkaian ayat-ayat tentang Bani Isra`il, dan setelah ayat 143 merupakan rangkaian ayat-ayat tentang orang-orang yang beriman. Dengan kata lain, ayat 143 berada di antara umat yang berkiblat ke kota Jerusalem (Bayt al-Maqdis) dan umat yang berkiblat ke kota Makkah (Bayt al-Haram). Maka ayat 143 berada di antara dua umat.
Ustad Nouman membahas tentang betapa dalamnya makna yang terkandung di dalam ayat 143 tersebut.
“Wa kadzalika ummatan wasathan;” dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ummatan wasathan.
Pada ayat 128, Ibrahim ‘alayhissalam berdoa dan menyebutkan ummatan muslimatan. Pada ayat 143, Allah subhanahu wa ta’ala menjawab doa Ibrahim ‘alayhissalam dan menambahkan dengan ummatan wasathan. Maka umat muslim adalah umat wasathan.
Kata wasathan bukan hanya memiliki arti “tengah-tengah” tetapi bagi Bangsa Arab juga memiliki makna “terbaik” (seperti yang juga dibahas oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya). Di sekitar kita banyak hal di mana bagian tengah adalah yang terbaik; tubuh manusia, perhiasan, istana/benteng, dll. Sehingga ummatan wasathan memiliki makna “umat yang terbaik”; umat muslim = umat terbaik. Demikianlah tugas yang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada umat Islam, dan kita menampilkan kinerja yang jauh dari standar.
Banyak umat sebelum umat Islam yang tidak seimbang, misalnya hanya mementingkan intelektual tapi melupakan emosional, ketidakseimbangan di amal dan ilmu, termasuk ketidakseimbangan antara dunia dan akhirat.
Umat Islam seharusnya menjadi umat terbaik dengan menjadi umat yang seimbang. Seperti dalam doa, “Rabbanaa atina fi ad-dunya hasanatan wa fi al-akhirati hasanatan wa qina ‘adzab an-nari.” Dalam doa tersebut kita meminta kebaikan di dunia (kini) dan kebaikan di akhirat (nanti).
Umat Islam seharusnya menjadi umat yang seimbang dalam intelektual-spiritual, dalam urusan dunia-akhirat, dalam sains-agama, dalam rasional-emosional, dalam personal-sosial. Di dalam umat Islam seharusnya para ‘ulama ilmu agama paham ilmu sains, dan para ilmuwan sains paham ilmu agama. Karena mempelajari ilmu sains dan ilmu agama artinya sama-sama mempelajari ilmu Allah subhanahu wa ta’ala.
“Litakunu syuhadaa`a ‘ala an-nasi;” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia.
Kehormatan yang Allah tetapkan bagi umat Islam bukanlah tanpa tanggung-jawab. Umat Islam ditetapkan Allah subhanahu wa ta’ala untuk menjadi syuhada (saksi) atas semua manusia. Seluruh manusia. Ustad Nouman menyebutkan umat Nuh (seperti yang dibahas oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya) dan ashabu al-kahfi sebagai contoh di antara mereka yang diberi kesaksian oleh umat Islam; umat Muhammad shalallahu alaihi wassalam.
Namun untuk bersaksi atas semua manusia, umat Islam haruslah meneladani para nabi dan rasul. Mereka adalah teladan yang hidup. Mereka menyampaikan pesannya, mereka melakukan isi pesannya. Mereka menyuarakan kebajikan, mereka melakukan kebajikan. Dakwah bukan hanya menyampaikan pesan, tetapi juga menjalani isi pesannya.
“Wa yakunu ar-rasulu ‘alaykum syahidan;” dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu
Jika umat Islam tidak melakukan apa yang menjadi tugas yang ditetapkan Allah subhanahu wa ta’ala, maka selanjutnya Rasulullah akan diminta untuk bersaksi tentang umat Islam. Bersaksi bahwa beliau telah mencontohkan segala sesuatunya sesuai petunjuk Allah subhanahu wa ta’ala; menjalani kehidupan sesuai petunjuk Allah dan menyampaikan petunjuk Allah kepada semua orang.
Muhammad shalallahu alaihi wassalam adalah rasul terakhir, maka tugas beliau dilanjutkan oleh umat Islam. Jika umat Islam tidak memenuhi tugas tersebut, betapa mengkhawatirkannya jika Rasulullah bersaksi bahwa teladan yang beliau tunjukkan dan tugas yang beliau titipkan tidak dilanjutkan.
Ustad Nouman menyebutkan sebuah ayat dalam al-Qur`an, al-Furqan QS-25 ayat 30, di mana Rasulullah akan bersaksi di Hari Qiyamah, “Ya Rabbi inna qawmit-takhadzu hadza al-qur`ana mahjuran.” Kata mahjuran berasal dari kata hajara yang berarti “pergi, meninggalkan, migrasi, melarikan-diri”. Sehingga Ustad Nouman menjelaskan bahwa ayat itu bermakna, “Ya Rabbku, sungguh kaumku menjadikan al-Qur`an sesuatu yang ditinggalkan dengan sangat jauh.” Semoga Allah tidak menjadikan kita termasuk dari mereka yang menerima kesaksian bertentangan dari Rasulullah.
Selain penjelasan di atas, ustad Nouman juga menjelaskan banyak hal lain tentang ayat ini. Dari penjelasan ustad Nouman saya mengambil kesimpulan sebagai berikut.
Ayat 143 surah al-Baqarah bagi saya begitu luar biasa, bukan hanya karena terkandung beberapa mu’jizah yang ALLAH subhanahu wa ta’ala tetapkan, tetapi juga karena makna yang begitu dalam yang terkandung di dalamnya.
Secara keseluruhan, pelajaran yang bisa diambil dari ayat 143 surah al-Baqarah berdasarkan penjelasan dari Ustad Nouman adalah sebagai berikut:
1. Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan umat Muhammad shalallahu alaihi wassalam sebagai umat yang terbaik yaitu yang seimbang berada di tengah antara dua sisi ekstrim, yang ditandai dengan sebentuk “monumen peringatan” yaitu penetapan Ka’bah sebagai qiblah, di mana Ka’bah juga bertindak sebagai “monumen peringatan” atas agama Ibrahim ‘alayhissalam.
2. Ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala bahwa umat Islam dijadikan umat terbaik diikuti dengan tanggung-jawab besar yaitu menjadi saksi atas semua manusia, di mana kesaksian itu bahkan melibatkan umat yang terdahulu yang hanya diketahui kisahnya melalui al-Qur`an.
3. Kesaksian umat Islam hanya akan bernilai jika sesuai dengan teladan para nabi dan rasul, terutama Ibrahim dan Muhammad. Mereka memberikan teladan bahwa kesaksian haruslah dalam dua bentuk yaitu menjalani hidup sesuai petunjuk Allah subhanahu wa ta’ala dan menyampaikan petunjuk-Nya kepada semua manusia.
4. Perubahan qiblah bertindak sebagai sistem seleksi, siapa yang teguh mengikuti Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shalallahu alaihi wassalam dan siapa yang berbalik lari layaknya lari dari medan perang.
5. Perubahan qiblah juga merupakan ujian yang sungguh besar bagi umat Islam, kecuali bagi mereka yang dianugerahkan petunjuk oleh ALLAH subhanahu wa ta’ala, yaitu mereka yang dengar-taat (sami’na wa atha’na) dalam mengikuti ALLAH subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shalallahu alaihi wassalam; bukan mereka yang dengar-tolak (sami’na wa ‘ashayna).
6. Qiblah sangat erat kaitannya dengan ibadah, khususnya shalat. Bagi Allah subhanahu wa ta’ala, shalat dan keimanan tidak terpisahkan. Shalat dengan didasari keimanan jauh lebih utama dibandingkan arah qiblah.
7. Selama shalat didasari dengan keimanan, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan senantiasa menganugerahkan belas-kasih dan kasih sayang-Nya, khususnya karena shalat kita akan selalu disertai dengan kesalahan-kesalahan dan ketidak-sempurnaan di sana-sini.
Saya tersentuh oleh ayat ini karena melihat keadaan umat Islam di Indonesia sangat terasa seperti apa yang Ustad Nouman sebutkan; adanya ketidak-seimbangan antara spiritual dan intelektual.
Saya punya beberapa pengalaman pribadi dalam interaksi dengan beberapa ustadz/ustazah.
– Seorang ustad dengan tegas menolak sharing ilmu apapun kepada jama’ah masjidnya dari saya yang – maaf – bukan dari latar belakang pesantren dan/atau sekolah ilmu agama
– Seorang ustad cukup terbuka dengan sharing ilmu dari saya, tetapi menilai bahwa jama’ah di sekitar kita masih cukup awam sehingga khawatir topik tersebut terlalu “berat”
– Seorang ustazah pembina dari sebuah komunitas Muslim mempertanyakan apa relevansi antara riset yang saya lakukan tentang mu’jizah dalam al-Qur`an terhadap keimanan dan keislaman seseorang. Ustazah itu menyatakan tidak setuju dengan riset tentang mu’jizah angka dalam al-Qur`an; yang mana Ustad Nouman pribadi takjub terhadap mu’jizah angka tersebut.
Di lain sisi, saya amati di masyarakat, betapa banyak hal yang terlihat tidak mencerminkan ummatan wasathan.
– Motor naik ke atas trotoar tempat pejalan kaki dalam kemacetan; tidak sabar?
– Melawan arus dan/atau menerobos trotoar taman kota; malas?
– Petasan di malam menjelang Idul Fitri dengan alasan merayakan; hura-hura?
– Demo karyawan pabrik rutin setiap tahun menuntut kenaikan upah; kurang bersyukur?
– Kerusuhan saat pembagian sembako gratis; takut kehilangan rizki?
Bahkan jama’ah dari majelis ta’lim pulang dengan mengendarai motor tanpa helm; hanya berpeci dan berkerudung panjang. Saya bahkan belum bicara tentang korupsi dan riba (perbankan).
Saya prihatin terhadap keadaan ini khususnya karena umat Islam di Indonesia adalah mayoritas; sekitar 80%-90% dari total penduduk Indonesia. Logika sederhana: umat Islam di Indonesia 80%-90%, besar peluangnya hal-hal tersebut di atas 80%-90% dilakukan oleh Muslim/Muslimah.
Padahal, jika setiap ‘ulama dan ustadz/ustazah di Indonesia menghayati satu ayat ini, kemudian senantiasa diingatkan kepada para jama’ahnya, betapa besar potensi Islam di Indonesia untuk menjadi contoh teladan ummatan wasathan.
Saya melihat umat Islam di Indonesia sangat baik dari sisi spiritual, maka kini saatnya untuk diseimbangkan dengan dari sisi intelektualnya. Qalbu diseimbangkan dengan ‘aqal. Amal diseimbangkan dengan ilmu. Emosional diseimbangkan dengan rasional. Rasa diseimbangkan dengan logika.
Penghayatan terhadap ayat 143 surah al-Baqarah tentang perubahan qiblah akan senantiasa mengingatkan umat Islam akan dua hal, yaitu:
– Berjuang dalam satu kesatuan untuk menjadi umat yang terbaik
– Berteguh-hati dengan teladan para nabi dan rasul terutama Ibrahim ‘alayhissalam dan Muhammad shalallahu alaihi wassalam.
Umat Islam akan lebih bersatu dalam kemajuan umat, baik dalam hal spiritual maupun intelektual. Para ustad dan ‘ulama Islam akan menguasai ilmu pengetahuan sains, dan para ilmuwan Islam akan menguasai ilmu pengetahuan agama. Tidak ada lagi dinding pemisah antara spiritual dan intelektual. Tidak ada lagi klasifikasi antara mereka yang fokus dengan agama dan mereka yang fokus dengan sains. Semua hal dilakukan dengan satu dasar yang sama: keimanan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shalallahu alaihi wassalam.