[Transkrip Indonesia] Mengapa Sesama Muslim Terpecah-Belah? – Nouman Ali Khan


Ada berbagai posisi dalam beragama, ada perbedaan di dalam tradisi sejarah kita. Bahwa kita bisa saja mengikuti salah satu atau yang lainnya.

Bagaimana kita menginformasikan kepada jemaah dalam kaitannya dengan pemahaman atau pandangan kita mengenai kebenaran? Bagaimana kita menjelaskan mereka yang tidak memiliki pemahaman tersebut?

Hal kedua, bagi kalangan yang bisa kita pengaruhi, bagaimana memberi pengertian tentang mereka yang berbeda perspektif tersebut? Memang ada sesuatu yang ingin saya kemukakan. Saya mulai saja? Oke, baiklah.

Saya kira kita tidak bisa mengabaikan kebenaran atau pengamatan psikologi tertentu, khususnya yang terkait dengan bidang psikologi keagamaan, dalam artian, hal yang paling sering Anda bicarakan.

Contohnya; hal yang paling sering kita bicarakan di dalam Islam, dianggap sebagai Islam. Jika seseorang selalu mengingatkan Anda tentang seberapa tinggi celana Anda ketika salat, maka itu sebenarnya adalah tanda yang membedakan seorang Muslim yang tulus dengan yang tidak.

Jika seseorang selalu menekankan, misalnya pentingnya cara berpakaian, – saya tidak menyangkal semua ini, seperti besar proporsi hal yang kita pilih untuk kita tekankan. Mengenai posisi yang Anda bicarakan itu, bahwa ada perbedaan pendapat mengenainya, sebagian besarnya, bahkan mungkin seluruhnya di dalam sejarahnya ini tidak menyangkut masalah hidup atau mati, hanya karena sekelompok orang menjadikannya masalah hidup atau mati.

Biasanya ini menyangkut bidang-bidang filsafat aqidah, kadang filsafat yang abstrak, yang dianggap penting oleh sekelompok orang, lalu mereka menyulut pertengkaran dan yang lain ikut meramaikannya, dan semuanya menjadi tidak terkontrol.

Di dalam bidang fiqih sebagai contoh, ada sopan santun di antara para fuqaha yang tidak sependapat satu sama lainnya, menjadi makmum bagi satu sama lain meski menurut pendapat mereka yang mengimami tidak sah wudhunya, karena halaqahnya tidak masuk hitungan, tapi mereka bisa menerima hal itu dan tetap menjadi makmumnya. Mereka ini adalah para imam.

Namun para pengikutnya menjadi sangat keras tentang hal yang sama, dengan kata lain, para ulama besar lebih memiliki nuansa dan lebih permisif, seraya pengetahuan itu diturunkan kepada yang saya istilahkan dengan pecundang yang ilmunya setingkat lulusan SMA dari ajaran yang sama yang kemudian menjadi bandit.

Ini adalah versi populer atau yang paling sering kita lihat, karena orang yang berada di puncak (pimpinan), bisa dikatakan bukan seorang pembicara yang fasih, mereka adalah ulama. Mereka tidak bisa mengumpulkan banyak orang, hanya orang yang serius belajar.

Jadi seringkali yang sampai ke mimbar, khalayak, YouTube, dan sebagainya, adalah ceramah yang memecah belah. Ini adalah salah satu poin yang penting untuk dimengerti.

Poin kedua adalah, – kebetulan saya punya latar belakang sekolah bisnis – jadi saya membawa semacam perspektif iklan bisnis dan pangsa pasar ke dalam layar Islami. Bukan memandang Islam sebagai sebuah bisnis, namun membantu masyarakat untuk bersikap selayaknya dalam sebuah bisnis kompetitif.

Begini maksud saya…. Andaikan ada seseorang yang membuat khutbah yang kemudian populer ditonton oleh sejuta orang atau angka fantastis lainnya. Di tempat lain ada seorang lelaki yang membuat halaqah di masjidnya, di pesisir timur yang hanya dihadiri oleh empat orang. Lelaki ini menjadi frustrasi, “Yang saya sampaikan ini kebenaran, tapi dia yang ditonton jutaan orang.

Sekarang dibuatnya video yang dijuduli dengan nama lelaki yang satunya, “Mengapa orang ini (nama yang tadi) termasuk kafir, atau judul apa saja. Dia akan memperoleh banyak penonton, mungkin tidak sampai sejuta, tetapi banyak. Karena pada dasarnya dia membonceng ketenaran nama lelaki itu.” Itu yang sedang dilakukannya.

Rasa percaya diri yang rendah, dia tidak punya bahan sendiri jadi dia butuh banyak waktu. Pada video ke-7 dari serialnya, pada menit ke-49, dia berkata… Saya pikir, orang ini punya banyak waktu… Ini pekerjaan yang sangat serius; mencari-cari kesalahan orang.

Menurut saya pribadi, itu sangat mengesankan. Ketika salah satu dari Anda hadirin di sini, menemui Syekh Omar atau salah satu ulama terhormat kita di sini, dan mengatakan, “Sudahkah Anda melihat video tentang diri Anda ini?

Bagaimana Anda akan menanggapinya?

Dan si ulama bertanya, “Anda percaya pada video ini?

Bukan begitu… Saya cuma memberi tahu tentang video ini.

Kebanyakan Anda (hadirin) menanyakan ini atau menonton videonya, bukan karena percaya, tapi hanya ingin tahu apa yang mereka bicarakan.

Saya hanya ingin tahu apa yang dibicarakan, astaghfirullah mereka bicara begitu?

Anda sudah masuk dalam hitungan sejuta penonton video tersebut. Anda sudah menjadi bagian dari fitnah ini, ketika Anda mengakui keberadaan video itu. Pembelaan Anda tidak bisa mengakhiri keterlibatan Anda, kecuali Anda langsung memasukkannya ke dalam kotak “spam”. Respons yang benar adalah jika Anda tidak pernah meng-klik video itu.

Namun kenyataannya kadang pembicara juga kurang dewasa, dan seringkali penonton juga menyiramkan bensin ke api, yang seharusnya tidak terjadi. Sementara dua hal itu. Anda mengingatkan saya kepada hal lain, yaitu…

Jika kita benar-benar mengakui bahwa Nabi kita shallallahu alaihi wa sallam adalah Nabi seluruh umat, artinya kita benar-benar percaya pada risalah ini, bahwa beliau adalah Nabi seluruh umat, dan kita pikirkan implikasinya terhadap setiap manusia di muka bumi ini, dari zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam hingga akhir zaman, bahwa dari jauhnya jarak geografis, perbedaan warna kulit, latar belakang sosial ekonomi dan seterusnya, apakah Nabi kita shallallahu alaihi wa sallam memang dikirimkan kepada semua manusia tersebut?

Jika itu digabungkan dengan firman Allah tentang beliau, bahwa Musa berdoa, “Robbisyroh lii shodrii wa yassir lii amrii,

Ya Allah lapangkan dadaku dan mudahkan urusanku.

Dan bahwa Allah berkata kepada Nabi, “Alam nasyroh laka shodrok.

Bukanlah Kami telah melapangkan dadamu.

Bagi saya dada Nabi shallallahu alaihi wa sallam cukup luas untuk merangkul mereka semua. Namun jika kita melihat diri kita sendiri, subhanallah, bahkan mereka yang ada di ruangan ini tidak mampu kita rangkul, kecuali seperempat dari mereka, apalagi seluruh manusia.

Saya kira menilik pengalaman saya sebagai muallaf, bahwa semua anggota keluarga saya bukan Muslim, bahwa 99% dari orang yang dulunya saya kenal, bukan Muslim. Bahwa Allah memberkahi saya dengan agama ini, dan bagi saya adalah kejahatan untuk menerima berkah dari Allah ta’ala, lalu menjadikannya alat untuk menghakimi orang lain.

Saya tidak tahu apa yang saya lakukan, jika saya tidak dibawa masuk Islam, hanya Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi pada saya. Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa kita terlalu picik dalam pemahaman tentang implikasi sebenarnya dari kesemestaan Islam. Serta bagaimana kaitannya dengan setiap manusia di muka bumi ini secara harfiah.

Dan bagaimana Anda dan saya berhubungan dengan semua orang, dan bagi saya sulit untuk mempercayai bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam akan berinteraksi dengan manusia mana pun.

Mereka yang kita sukai atau tidak, yang berada dalam atau di luar kaidah Islam, yang kenal atau tidak kenal Islam, mereka yang menindik seluruh tubuhnya, yang bekerja di pemerintahan, atau di antara pemerintah dengan masyarakat, bahwa beliau hanya akan berinteraksi dengan mereka untuk menolong mereka dan untuk mengeluarkan yang terbaik dari dalam diri mereka.

Saya kira ini adalah cara paling praktis bahwa kita bisa menolong orang lain untuk berfokus kepada ajaran universal dari Nabi kita shallallahu alaihi wa sallam, dan bahwa ada perbedaan, namun saya kira itu mendasari pemahaman yang dimiliki orang-orang, memiliki sudut pandang yang sangat berbeda terhadap perbedaan kelompok lain.

Saya boleh ikut nimbrung? Silahkan.

Satu hal yang unik tentang ceramah mengenai fitnah dalam tradisi Islam, Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika bicara tentang zaman fitnah dan fitnah secara umum, beliau selalu menyuruh umat untuk kembali berfokus pada diri sendiri, “Wal yas’aka baitu“, jadikan rumahmu mencukupimu’ dalam pengertian berbaliklah dan berfokuslah pada hatimu, dan saya percaya bahwa ada krisis serius tentang adab. “Wad’ussyai fi mahallihi“, adab maksudnya menempatkan sesuatu pada tempatnya.

Jika membahas adab, kita akan membicarakan tentang karakter secara umum, kondisi hati, kondisi nafsu, kesombongan serta rasa dengki kita, semua itu menentukan. Syekh Muchtar baru saja duduk bersama kita dan memberi nasihat, dan semua nasihatnya adalah mengenai hati kita. Memastikan kemurnian hati kita, mencintai satu sama lain, bertukar kabar, peduli sesama, itulah komponen terpenting dan sangat indah yang mempersatukan kita. “Al arwahu junuudun mujannadah“, jiwa kita adalah prajurit, bukan?

Namun ada adab lain, saya akhiri dengan ini insya Allah, ada adab lain yang hilang, yakni adab intelektual. Terjadi krisis dalam kejujuran intelektual, integritas akademis, dalam hal ini, emosi dan polemik-lah yang memberi informasi dalam ceramah publik atau akademik pada kebanyakan komunitas Muslim.

Saya pernah melihat doa tertentu di YouTube dan semacamnya, yang isinya hanya hamburan kata-kata kasar penuh emosi selama sejam, apa intinya, saya tidak tahu. Saya kira disinilah letak krisis tersebut, karena bagi saya, jika kita perhatikan betapa besarnya warisan intelektual kita, saya melihat bagaimana para cendekia mengembangkan sains untuk melindungi hakekat, untuk memastikan hakekat tersebut akan berkembang sepanjang waktu.

Jadi kita punya adab tolabul ‘ilmi, bagaimana etika menuntut ilmu. Apa rintangan dalam menuntut ilmu? Jangan keras kepala, jangan iri, jangan sombong. Jangan malas, berusahalah, tantangan ini nyata, kita harus mengatasinya. Ini adalah rintangan serius dalam menuntut ilmu, milikilah adab dan rendah hatilah.

Ada adab menghadapi lawan debat Anda, “adabul bahtsi wal munaazharah“, pengetahuan khusus yang dikembangkan untuk memastikan bahwa ketelitian dan kesempurnaan hakekat dijaga untuk umat.

Jadi kita harus… dan saya percaya krisis ini terjadi sehubungan peningkatan kapasitas kita dalam dua jenis adab; adab terkait akhlaq, suluuk, dan adab intelek yang sudah dianugerahi oleh Allah subhanahu wa ta’ala bagi kita.

Saya sudahi dengan satu ungkapan para ulama, “al jahlu jahlaan“, ada dua jenis kebodohan: “al jahlul murakkab wal jahlul basiith” kebodohan majemuk dan kebodohan sederhana.

Kebodohan majemuk misalnya; jika saya bertanya ada apa dibalik dinding ini, Anda jawab ada seekor jerapah. Artinya bahwa Anda tidak tahu bahwa kenyataannya Anda memang bodoh. Anda tidak tahu bahwa Anda bodoh. Anda bekerja keras mendukung video yang diceritakan saudara Nouman tadi, dan menghancurkan orang lain tanpa sadar.

Namun ada juga “jahlun basiith“, jika saya tanya apa yang ada di balik dinding ini, Anda jawab, “Allahu ‘alam, saya tidak tahu.

Salah satu syekh saya mengatakan, “Wallahi yabnii, -seorang Mesir yang kembali berkunjung ke Inggris –

Wallahi, yabnii lau linnazilil bas linnas bas anil gahlil muraqqab lil gahlil basiith, yakun mumtaz.

Jika kita bisa mengeluarkan orang-orang dari kebodohan majemuk menjadi kebodohan sederhana, alhamdulillah. Jika kita membawa orang-orang untuk mengatakan, “Wallahi, saya tidak tahu, maaf saya tidak tahu.

Karena jika kita renungkan di antara 114.000 sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, berapa orang di antara mereka yang berani berbicara dengan kapasitas seorang mufti (pemberi fatwa)? Bisa dihitung, Ibn Hazm mengatakan sekitar 200 orang saja.

Di antara 114.000 orang, hanya 200 orang yang memberi fatwa? Padahal saat ini, standarnya, jika berbicara tentang agama dan politik, selalu ada yang berpendapat, akan selalu ada pendapat penguasa.

Jadi bagaimana pendekatannya? Wallahi, saya tidak tahu. Khususnya dalam bidang agama, karena jika ada satu yang yang kita ketahui, “Man kadzaba ‘alayya muta’ammidan falyatabawwaa’ maq’adahu minan naar“, sesiapa yang sengaja berdusta atas namaku, kata Nabi shallallahu alaihi wa sallam, maka biarkan mereka menetapkan posisinya di jahannam.

Masalah agama, “inna haadzaddiin matiin, fal ghau fiihi birrifq“, agama ini besar, lintasilah dengan lembut, selangkah-selangkah. Imam Ahmad pernah mengatakan, seorang lelaki datang kepadanya dan bertanya, Imam Ahmad menjawab, “Aku tidak tahu, kembalilah besok.

Katanya, “Ya Imam, ‘masaalah hayyina, hadza umra hayyin’.

Jawab beliau, “Laa syai’ fiddiin hayyin.

Tiada yang “hayyin“, tiada yang sederhana dalam beragama.

Menjadi Muslim memang sederhana, hanya shahadah. Namun agama, itu soal besar. Jadi mari kita lintasi dengan hati-hati dan menggunakan adab. Wallahu ‘a’lam. Masya Allah, saya kira banyak hal sudah dibahas, dan waktu kita juga hampir habis. Yang ingin saya katakan di sini adalah, Saya kutip sesuatu yang berharga dari guru saya Syekh Omar Asykar rahimahullah ta’ala, ahli bidang aqidah. Beliau mengatakan sebagian besar buku aqidah keagamaan, merupakan jawaban untuk orang ini, untuk orang itu, untuk orang yang lain. Padahal agama dan aqidah seharusnya menciptakan kerinduan terhadap Allah subhanahu wa ta’ala.

Jadi kita terlalu sibuk membahas yang bukan tentang Allah, tidak menyetujui sesuatu tentang Allah, menghapus atribut ini tentang Allah, namun tidak membahas asmaul husna, nama-nama Allah subhanahu wa ta’ala, untuk menciptakan kerinduan kepada Tuhanmu, kepada Allah. Jadi setiap membahas agama, bahaslah dengan cara itu, cara yang membangun kerinduan akan Allah subhanahu wa ta’ala.

Saya kira tidak bisa membebaskan para syekh dan doa tadi, tidak bermaksud menyalahkan karena saya termasuk di dalamnya, kita tidak bisa cuci tangan dengan mengatakan ini dipaksakan umat kepada kita. Saya kira pada akhirnya ketika khutbah seseorang mengandung kebencian dan kekejaman, yang terjadi adalah pada akhirnya pengikutnya akan berbalik menyerangnya, yang pada akhirnya dia berusaha mencari dukungan.

Subhanallah, di dalam sejarah Islam kita tidak pernah melihat keberhasilan, yang didasarkan kepada respons kepada umat. Anda takkan menjadi da’i yang produktif dan kontributif pada agama ini, dengan cara menjadi penulis apa pun tentang umat. Melainkan, Anda sebaiknya mengajarkan umat untuk merindukan Allah subhanahu wa ta’ala, dan tidak ada salahnya untuk memiliki posisi teologi.

Saya kira kita sudah membicarakan hal ini tahun lalu, tidak masalah untuk menentukan posisi teologi. hanya saja, jangan menimbulkan furu’, bahkan ada furu’ aqidah, bahkan ada cabang dari teologi Islam, ini pendapat umum ulama, apakah Athari, Mathuridi, atau Ashari. Ada batang utama dan cabang. Jangan jadikan cabang sebagai dasar, jadi jangan singkirkan orang berdasarkan cabang teologi.

Tidak masalah untuk menentukan posisi, namun yang menarik dalam konteks ini, karena seperti yang dibicarakan syekh Yasir Qadhi, “al jahlal al murakkab“, ini tidak lagi tentang apa yang dibicarakan, namun siapa yang berbicara.

Jadi saya memulai serial the “bidayah wannihayah” (permulaan dan penghabisan), di sana saya menyebutkan sesuatu yang mendasar, sesuatu tentang Allah subhanahu wa ta’ala -apa?- Anda ditelepon soal ini? (serial ini dibuat oleh Bayyinah TV. red), lucunya adalah, serial ini meliputi hal mendasar tentang aqidah yang disetujui oleh semua mazhab.

Allah menciptakan ini dan itu, Allah melakukan ini dan itu, namun jika Anda benar-benar mendengarkannya seperti, “Dia seorang salafi tulen yang mencoba memaksakan pahamnya kepada kita.

Lalu orang-orang mengambil poin kecil ini, yang juga dikatakan oleh syekh mereka, “Ini buktinya, mereka mencoba memaksakan ini, saya tahu Bayyinah itu salafi.

He he he, mereka memaksakan pahamnya kepada kita. Ketika seseorang protes kepada saya, dan saya tahu dia pengikut kuat seorang syekh,

Katanya, “Cara Anda mengatakannya…

Kata saya itulah masalahnya, bukan apa yang dikatakan tapi siapa yang mengatakan, seperti sebuah sekte, jadi khalas, sudahlah…. Seperti kata syekh saya, ini tidak lagi tentang Athari, Ash’ari, atau Mathuridi lagi, tapi tentang, “Apa yang dikatakan syekh saya tentang aqidah yang benar dari Athari, Ash’ari, atau Mathuridi.

Tadi saya katakan penah melihat yang terburuk di pesisir timur, namun saya sudah pernah ke luar negeri juga… Apa yang Anda lihat di tempat lain – Inggris – , Ya Tuhan! – di Inggris -. Ada orang Inggris di sini? -Anda harus mencoba datang ke Philadelphia.-

Saya sebenarnya, -dengan segala hormat, saudaraku dari Philadelphia, saya mencintai kalian semua -, -Saya ingin…. tidak, tidak, saya mencintai kalian.- -Mereka (orang Philadelphia) adalah pecinta pesan Islam, namun, jika kita ingin jujur, banyak diantaranya datang dari sana. –

-He he he… jadi… Pesisir Timur, bisakah Anda mempersempitnya menjadi Philadelphia?-

-He he he… New Jersey… siapa yang dari New Jersey?-

Setengah hadirin berasal dari New Jersey-

Jika Anda ingin melupakan keberadaan kota Jersey, atau Jackson Heights, atau… Ada lingkungan tertentu di New York, yang juga berkontribusi dalam hal ini, tidak mengapa… Alhamdulillah tidak di Dallas, mungkin sulit bagi para New Yorker untuk menerimanya, tapi biar saya ceritakan…

Imam masjid kita di Dallas berasal dari Deoband (India), lalu ada orang sesat yang memberi khutbah tiap Senin malam yakni saya, Syekh Abdul Nasir memberi pelajaran pada Selasa malam, pada Rabu malam seorang syekh salafi yang cukup keras memberi pelajaran tentang aqidah, lalu ada pertemuan tarekat orang Indonesia setiap hari Minggu di masjid yang sama, ada pertemuan kelompok Turki yang mempelajari tulisan Sayyaid Nursi di masjid itu, MAS, ICNA, CARE, ISNA, Imam Zaid dan Syekh Yasir Qadhi juga memberi khutbah bila berkunjung ke sana, semua orang ini berkumpul bersama, dan kita damai-damai saja.

Kadang kita bermain basket bersama, atau makan malam bersama, dan semuanya baik-baik saja. Dan itu hanya sebuah masjid, bukan sebuah kota. Dan itu mungkin terjadi.

Ketika pertama melihat hal itu saya berkata, “Saya akan tinggalkan New York, karena seakan hampir semua masjid di New York dibangun atas pertengkaran. Masya Allah kita punya 500 masjid.

Waktu tinggal 5 menit lagi, mari kita simpulkan topik ini.

Apakah ada satu satu anggota panel ini bermasalah dengan yang lainnya? Saya tidak, bagaimana dengan yang lain? Saya ingin menambahkan sesuatu yang penting untuk diskusi ini. Meski Anda tidak mengambil posisi dalam suatu isu kontroversial, orang akan mendorong Anda ke sana? -Ya benar-.

Kita harus lebih cerdik agar tidak jatuh ke dalam jebakan itu. Lucu karena setiap tahun isu ini muncul terutama saat Maulid datang, jadi kita harus memberi pendapat tentang Maulid, apakah pro atau kontra, jika tidak, maka Anda akan menerima cuitan.

-Wah, saya punya cuitan yang bagus- . Anda punya? Saya baru saja menyelesaikan khutbah, seorang akhwat memakai niqab datang nampak begitu marah, sinar laser seperti keluar dari matanya, dia datang dan bertanya, “Di mana Allah?!

Saya jawab, “Anda tidak tahu?

Dan saya berlalu… he he he…

Subhanallah, dan ketika orang-orang memaksa Anda membahas masalah itu dan memasukkan Anda ke dalam isu tersebut? Itu juga akan menghilangkan nuansa dalam diskusi Anda, dan para cendekia, doanya kadang termasuk kedalamnya, ketika mereka sangat meremehkan untuk membuat jengkel pengikutnya, mereka akan meremehkan posisi yang lain sedemikian rupa seakan orang itu belum pernah belajar agama, tidak tahu apa-apa.

Memang ada perbedaan yang sah tentang masalah ini, yang dibahas sangat dalam, para ulama dan cendekia sudah berdebat tentang masalah ini, jauh dari sekedar jawaban iya dan tidak untuk setiap isu, jadi penting sekali untuk menghindar dari dimasukkan ke dalam isu tersebut.

Tadi pagi Syekh Muntasim dan saya membahas isu khusus ini, dan bagaimana di dalam sejarah para ulama mengajari kita, berhentilah memicu keinginan massa, bukan Anda (Nouman), Anda bersama kami.

Maksud saya seringkali kita terpenjara oleh para pendukung kita, para pendukung Anda akan mengintimidasi Anda untuk berpikir, jika Anda tidak mengikuti keinginan mereka, Anda sasaran berikutnya. Ada orang-orang yang sudah menghadapi masalah ini, mereka berjuang menghadapi… Anda kritik para pendukung dan sekarang Andalah target mereka.

-Saya sama sekali tidak merasakan kesulitan Anda, saya tidak punya pendukung-

-Saya selalu terlihat sebagai orang aneh, he he, jadi-

Dalam suatu perbincangan, seseorang berkata kepada saya, “Mengapa Anda sangat salafi?

Seorang lelaki melihat kepada saya. Dalam perjalanan yang sama orang lain bertanya, “Anda sufi kan?

Kadang-kadang,” jawab saya. He he he.

Jika saya boleh menyela, karena Anda menyinggung isu yang menarik, Ini adalah isu atau bagian isu mengenai merespon “pendukung yang menyudutkan Anda,” apakah Anda wajib menjawab atau hanya mengatakan apa yang Anda yakini benar, dan biarkan orang-orang menempatkan Anda di dalam satu kelompok atau lainnya?

Berapa besar usaha harus dilakukan untuk memberi tahu kelompok di mana Anda digolongkan, atau suatu kelompok yang Anda temukan? Silahkan Syekh Yasir…

Saya tidak menyadari bahwa kita sampai tingkat perbedaan kelompok ini. Bagi saya komunikasi itu sangat penting, kita harus mengatur nada ketika berbicara kepada mereka yang berada di sekitar Anda, keluarga, mereka yang belajar dari Anda, mereka yang Anda dakwahi, adalah tanggung jawab Anda untuk berbicara kepada mereka dengan cara yang tidak menimbulkan perbedaan, atau “suudzon“, memberi pendapat buruk, dan merepresentasikan ajaran universal Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Dan jika dikembalikan kepada ‘adab’ dan etika dalam khutbah kita, kita harus melihat dari gambaran besarnya, dan jika seseorang benar-benar paham realita neraka, Anda takkan menginginkan neraka bagi seorang pun. Seakan mereka ingin orang lain masuk neraka.

Anda sehat? Seharusnya Anda tidak ingin seorang pun masuk neraka. Dan jika Anda paham gambaran besarnya, kita semua ada di dalamnya, mari kita lakukan yang terbaik menolong satu sama lain. Setelah menetapkan standar khutbah kita, jangan biarkan diri kita menciptakan perbedaan sehingga tidak lupa gambaran besarnya.

Mengenai apa masalah ini sesungguhnya, lalu lupa membahas 95% atau 98% komunitas Muslim atau lebih, tapi di luar itu masih ada tiga perempatnya yang belum menjadi Muslim. Jika kita mengingat gambaran besarnya di dunia ini dan setelahnya, jika diperbolehkan, -saya tidak menjawab pertanyaan Anda secara langsung di sini, namun saya kira kita hanya butuh pendapat yang baik.

Baru-baru ini ada yang menemui saya, salah seorang pembicara terkenal, katanya, di belakang layar, “Anda tidak menyimpan sesuatu yang tidak enak di hati tentang saya bukan?

Jujur saja tidak ada, tidak pernah,” jawab saya.

Katanya, “Seseorang mengatakan kepada saya saat umrah, di depan Ka’bah.

Seseorang berkata, Anda mengira saya memiliki ganjalan terhadap Anda.

Tidak, tidak ada apa-apa,” jawab saya.

Dia berkata, “Saya berpikir Anda punya ganjalan terhadap saya.

Tidak, bagi saya itu konyol sekali,” jawab saya.

Saya tidak memandang dunia demikian, mungkin ada orang yang begitu, Kita harus disibukkan oleh keselamatan kita sendiri, dan hal-hal yang tidak ada keraguan lagi tentangnya. Salah seorang guru saya harus belajar aqidah Qurani dasar di Mauritania, -Quran sebenarnya tidak termasuk dasar, sederhana tapi tidak bisa disederhanakan. –

Dia ingin belajar dengan di Mauritania untuk waktu yang lama, syekh menjawab, “Baik, aku ajari kamu aqidah, Qul huwallahu ahad, allahusshomad, lam yalid wa lam yuulad, wa lam yakullahuu kufuwan ahad.

Sungguh, jika kamu “tahaqqaq“, memahami surat Al-Ikhlas dengan baik, dan kamu menemui Tuhanmu subhanahu wa ta’ala dengan bekal itu.

Kita jerumuskan orang-orang lebih dalam dari seharusnya, ada hal-hal yang tidak perlu dipertanyakan yang bisa menjadi patokan dalam perilaku Islami, Ini adalah suatu kepercayaan, apalagi jika orang-orang mau mendengarkan. Kita harus menyadarinya. Jika kita cuma punya pendapat yang bagus… -interaksi manusia itu unik, kadang Nabi dihujat, kita mendengar fitnah, atau bid’ah.

Kita harus menjadi orang-orang jujur untuk mengetahui yang sebenarnya, jangan biarkan pendapat satu orang di Facebook menentukan pendapat Anda tentang kami (ulama). Itu mencerminkan kedangkalan dan keserampangan. Kita harus mencapai kedewasaan tertentu untuk mengatasi semua itu. Ketika bertemu kita menghancurkannya, “Itu orang yang sedang diberitakan.

Bukan itu masalah sebenarnya. Bolehkah saya mengatakan sesuatu? Baarakallaahu fii kum. – Suara apa itu?-

Saya yakin bahwa salah satu dari kritik terhadap pertemuan ini adalah ini cuma “Kumbaya” (rukun dengan musuh sebagai pencitraan) para Muslim. Itu adalah cerita yang berbeda, namun saya kira Syekh Omar sudah menyinggungnya tadi, bahwa ada isu yang asli. Isu teknis, isu dalam hal furu’, mungkin isu dalam hal ushul, bukan ushul terkait Islam atau din, tapi mungkin isu yang penting.

Namun ini bukan Kumbaya, saya harap bukan, dalam artian sekedar memasang muka, tidak… Ini adalah “laa yufsidu fil wudi qadiyyah“, artinya ada “qadayyah“, ada isu yang murni, yang akan menimbulkan pertentangan keras, namun itu tidak membawa kepada “ifsad” dan “wud“, dan “wud”, seperti yang akan dikatakan Syekh Nouman, -“manusia Qur’an”, saya tahu dia tidak suka dipanggil syekh- “wud” berbeda dengan harapan, “wud” adalah cinta tanpa syarat, karena Allah adalah Al-Waduud, sedangkan harapan itu bersyarat.

Jadi “wud” seharusnya menjadi patokan, karenanya disebutkan dengan indahnya, “Laa yufsidu fil wudi qadiyyah“, karena “wud” sebaiknya menjadi patokannya. Cinta tak bersyarat ini menjadi patokan bahkan jika kita bertentangan keras terhadap suatu isu, saya membawa bukti-bukti saya, demikian juga Anda, kita adakan diskusi akademik serius, bukan menyebarkan polemik dan emosi, lalu kita bisa minum teh (cay) bersama, Anda janji minum teh bersama di Maroko.

Sehubungan dengan itu saya ingin menambahkan beberapa hal, pengalaman saya, jika Muslim ingin membahas Islam pada khususnya, kita sangat tidak mampu untuk melakukan pembicaraan yang beradab.

Akibatnya, dengan kata lain jika ada yang mengadakan diskusi abstrak tentang isu fiqih atau apa saja di sebuah kondisi akademik yang dewasa atau di kelas, bahkan dalam pembicaraan seperti ini, tidak apa-apa.

Namun alih-alih berbicara kepada satu sama lainnya, masalah timbul karena orang-orang lebih tertarik berbicara tentang satu sama lain, atau bicara tentang satu sama lain terkait isu tadi.

Masalah ini bisa saja dipecahkan dengan mudah jika keduanya membahasnya sambil makan donat, namun sekarang Anda harus membuat semacam video tentang lawannya itu, ini semakin konyol.

Jadi pendapat bahwa pembicaraan yang beradab bisa dilakukan bahkan tentang isu yang sangat dipertentangkan, bisa saja dua orang duduk membicarakan isu sehangat musik, sebagai contoh, dua orang dengan perspektif fiqih yang jauh berbeda tentang hal ini, namun mereka tidak harus menyebut satu sama lain fasik atau munafik, atau mengatakan mereka masuk neraka, bodoh, atau yang lainnya, mereka bisa saja melakukan percakapan yang beradab.

Sayangnya mimbar seperti itu belum digaungkan. Meski kita, mereka yang seperti kita, atau yang lebih baik dari kita sangat menginginkan mimbar itu di mana pembicaraan itu benar-benar bisa terjadi.

Namun yang kita miliki saat ini, ibarat yang terjadi di rumah dengan anak-anak. “Mama, bolehkah saya membeli es krim?

Tidak. Minta sama papamu.

Si anak menemui ke Ayahnya. “Mama bilang saya boleh makan es krim, jika Papa izinkan.

Kalau Mama bilang boleh, dan sekarang tinggal Papa, ya sudah, beli sana.

Sekarang dia makan es krim.

Apa Papamu sudah mengizinkan?

Tentu saja, aku sudah tanya tadi, katanya boleh.

Dengan kata lain, yang suka menyalahgunakan percakapan antara Ibu dan Ayah adalah anak-anak, bukan? Jadi ada seseorang yang sedang online atau di bahkan di lokasi,
menemui Syekh Omar dan bertanya, “Jadi apa pendapat Anda tentang musik?

Syekh Omar memberi pendapat. Lalu dia mendatangi Syekh Yasir menanyakan hal yang sama.

Benarkah? Tapi Syekh Omar mengatakan Anda salah besar.

Anda lihat? Itulah yang akan terjadi, sama seperti perilaku anak-anak. Akan ada orang yang mengadu domba, saya bahkan pernah menangkap basah siswa saya melakukan hal ini. “Ustad apa ‘irab untuk yang ini?

Saya jawab. “Tapi ustad Adam tidak setuju dengan Anda.

Saya jewer kupingnya, “Jangan pernah kamu ulangi lagi!

Jangan pernah lagi mengadu domba orang!

Jadi apa solusinya? Semuanya hanya bisa ditanggulangi jika ada sebuah mimbar, saya kira Al-Madina adalah sebuah mimbar yang sangat baik. Di mana kita membicarakan sebuah isu, alih-alih membahas bagaimana melakukan pembicaraan yang beradab, kita benar-benar mengambil sebuah isu, mendudukkan para ahli fiqih, mendudukkan para peneliti syariah, dan membahas secara sah seberapa besar posisi ini dan apa dasarnya.

Di satu sisi hadirin bisa menghargai kedalaman isu ini untuk setiap isu nya, dan di sisi lain perbincangan yang beradab bisa dilaksanakan, jadi ada dua sisi yang sah untuk sebuah isu. Jadi Anda tidak dicap kafir, atau dikutuk ke neraka karena memegang keyakinan Anda.

Sebaliknya, sesuatu yang begitu sepele layaknya kaos kaki, bisa menjadi akhir hidup Anda. Ada masjid yang punya masalah seperti itu, benar bukan? Benar, serius.

Jadi kita punya kesempatan untuk melakukan hal ini di Amerika Serikat, yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kita punya, dan harus mengambil manfaat dari itu. Nouman saya tahu, hanya tinggal semenit lagi, saya kira percakapan seperti itu bisa muncul jika kita membangun persaudaraan dan ikatan dengan sesama. Kembali kepada apa yang dikatakan Syekh Muchtar agar selalu terhubung, bicara satu sama lain, berkomunikasi, jika saya ke Dallas, Anda harus mengundang saya makan malam. He he he, ok.

Tunggu! Saya tinggal di Dallas, saya tidak bisa menghubunginya, padahal saya ke Bayyinah setiap hari. Hei, hei, hei…. Kita bicara nanti ya. He he he. Ikatan ini seharusnya… Saya memaksa diri saya untuk menemuinya, dia terlalu sibuk, saya mencintainya sepenuh hati, dan selalu mengirimkan pesan kepadanya. “Apa kabarmu kesayangan kami?

Dia mungkin akan melihat teleponnya berpikir, “Apa yang salah dengan orang ini?” He he he…

-Waktunya hampir habis –

Tapi saya akan melakukannya, maksud saya kita harus mengusahakan untuk berteman.

-Tentu-.

Mungkin itu caranya. Kita harus mengusahakannya, selanjutnya bergerak dari sana.

Baiklah, semoga pembicaraan ini akan berlanjut di koridor dan di antara kita sendiri.

Terima kasih kepada semua pembicara dan kontributor, yang telah datang ke sini dan berbagi dengan kita, Sejujurnya, pembicaraan seperti ini pernah terjadi sambil ngopi, atau sarapan pagi ini. Hal ini kadang dibahas di antara para syekh, kita melihat ke panggung dan bertanya-tanya apa yang mereka bicarakan.

Kadang mereka berdiskusi tentang sepak bola, namun mereka juga membicarakan isu ini. Jadi, alhamdulillah, saya hargai kejujuran Anda, dan keterusterangan Anda di sini dalam berbagi sudut pandang yang berbeda.

Subtitle: NAK Indonesia
Donasi: https://www.kitabisa.com/nakindonesia

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s