Muslim Yang Terlupakan: Para Penyandang Disabilitas


Setiap orang tahu bahwa muazin Islam yang pertama adalah Bilal Ibn Rabah radiyAllahu ta’ala anhu. Namun tahukan Anda bahwa muazin yang kedua adalah seorang yang buta? Mari kita pelajari sedikit tafsir dulu sebelum bercerita lebih jauh tentang hal tersebut.
Muslim Yang Terlupakan

Ayat 1. Nabi merengut dan berpaling,
Ayat 2. Karena kedatangan seorang lelaki buta (yang menyela)
Ayat 3. Bagaimana kamu tahu bahwa dia takkan beroleh manfaat?
Ayat 4. Atau ia takkan merasa diingatkan dan takkan beroleh manfaat dari peringatan itu?
Ayat 5. Dan dia yang berpikir tidak butuh akan semua ini.
Ayat 6. Kamu malah melayaninya.
Ayat 7. Padahal bukan tanggung jawabmu, apakah dia memilih untuk memperoleh manfaat dari peringatan ini atau tidak.

Anda sudah tahu cerita ini bukan? Ini adalah awal dari surat Abasa. Suatu ketika Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam berusaha untuk berbicara kepada para pemuka Quraish, dan kemudian seorang sahabat yang buta datang menyela. Nabi shallallahu alaihi wa sallam merengut dan berpaling dari lelaki buta ini, dan kembali memusatkan perhatian kepada para pemuka Quraish.

Dengan lembut Allah menegur Nabi akan kekeliruannya dan selanjutnya mengingatkan manusia tentang betapa hinanya penciptaan kita, sifat kita yang ceroboh, serta kematian kita yang tak terelakkan.

Kisah sahabat buta itu lalu diletakkan dalam sebuah catatan kaki ketika kita mengajarkan Al-Qur’an, dan hanya segelintir orang yang mengetahui namanya. Lelaki itu bernama Abdullah Ibn Umm Maktum radiyallahu anhu. Dia adalah sepupu kandung istri Nabi, Khadijah radiyallahu anha yang sudah buta semenjak lahir. Dia termasuk salah seorang yang pertama kali masuk Islam, dan yang masih hidup setelah wafatnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Dari kehidupannya kita tahu bahwa kepedulian, penyertaan, dan menolong penyandang disabilitas dan kebutuhan khusus bukanlah tambahan baru di dalam Islam. Kesemua itu sudah tercakup di dalam sunnah dan sejarah itu sendiri.

Perhatikanlah bahwa surat Abasa tak lain adalah pesan ilahiah tentang kepedulian terhadap penyandang disabilitas.

Ayat 8. Dia yang datang kepadamu dengan bersegera.
Ayat 9. Yang hatinya takut kepada Allah.
Ayat 10. Dia kamu abaikan.
Ayat 11. “Kalla,” tidak. Ini sebuah peringatan.
Ayat 12. Maka biarlah mereka yang menginginkan merasa diingatkan.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam merengut dan berpaling. Meski Abdullah Ibn Maktum tidak dapat melihatnya, namun Allah melihatnya, dan melalui surat Abasa Dia mengirimkan pesan kepada Nabi.

Sejak saat itu Nabi bertekad untuk selalu tersenyum ketika bertemu Abdullah Ibn Maktum, meskipun dia tidak bisa melihat beliau. Beliau bahkan meluangkan waktu mencarinya dan bertanya apakah dia butuh sesuatu. Hingga bertahun-tahun kemudian beliau tetap berbicara kepada Abdullah dengan rendah hati, “Selamat datang kepadanya, yang karenanya Dia yang memeliharaku telah menegurku.

Allah menegur Rasulullah karena telah mengabaikan seorang Muslim dengan disabilitas. Ini diabadikan di dalam Al-Qur’an sebagai peringatan yang terus menerus bagi setiap orang untuk tidak membuat kesalahan yang sama. Sesiapa saja (baik yang secara fisik normal atau pun penyandang disabilitas) yang mencari ilmu agama berhak untuk memperolehnya.

Setiap orang layak mendapat kesempatan untuk membangun hubungan dengan Allah. Tidak ada alasan untuk mengesampingkan siapa pun yang mencari kebenaran Islam. Kisah Abdullah Ibn Umm Maktum mungkin sekarang sudah dimasukkan di dalam catatan kaki, namun suatu ketika dia pernah dikesampingkan di dalam sejarah.

Ketika kaum Muslimin mulai menyebarkan Islam, dari dua lelaki yang mencapai kota Yastrib pertama kali, salah satunya adalah Abdullah Ibn Maktum radiyallahu anhu. Ketika Yastrib berubah menjadi Madinah Al-Munawarah dan Rasulullah membangun masyarakat Muslim pertama, keduanya ditunjuk untuk mengumandangkan azan. Lelaki pertama berkulit hitam dan yang kedua buta. Yang pertama adalah Bilal radiyallahu anhu dan yang satu lagi adalah Abdullah Ibn Maktum radiyallahu anhu. Semoga Allah merahmati keduanya.

Saat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan perjalanan dari Madinah untuk menaklukkan kota Makkah dengan damai, beliau melimpahkan kekuasaan ke tangan Abdullah Ibn Maktum radiyallahu anhu. Dalam masa yang kritis dengan kekosongan beliau ini, beliau memberi kepercayaan kepadanya.

Berapa banyak masjid yang memiliki penyandang disabilitas yang mengumandangkan azan atau mengimami salat? Berapa banyak dari masjid kita yang menempatkan penyandang disabilitas sebagai salah satu pengurus? Padahal Nabi kita melimpahkan kekuasaan beliau di Madinah kepada seorang penyandang disabilitas.

Sebagai umat, kita bangga bahwa Al-Qur’an sudah diterjemahkan ke dalam banyak Bahasa, namun berapa banyak masjid kita yang memiliki Al-Qur’an Braille? Kita sudah memberi ceramah dalam setiap bahasa, namun bagaimana dengan bahasa isyarat?

Kita tempelkan di pintu masjid-masjid “Allahumma aftahli abwaaba rahmatika, Ya Allah bukakanlah bagi kami pintu ampunanMu,” namun kita biarkan pintu masjid kita tertutup bagi Muslim dengan disabilitas.

Beberapa orang bertanya mengenai keberadaan Muslim penyandang disabilitas ini. Dimanakah mereka? Saya tidak melihat satu pun dari mereka di lingkungan saya.

Pertama, Muslim penyandang disabilitas tidak terbatas hanya pada mereka yang berkursi roda. Mereka bisa saja buta, terganggu pendengarannya, sulit untuk belajar dan mengalami keterbelakangan mental, autis, atau berbagai kondisi lain yang membuat mereka sulit untuk datang ke masjid.

Kedua, mungkin saja mereka yang berkursi roda dan terpaksa menunggu di samping pintu masjid menunggu seseorang datang untuk membukakan pintu bagi mereka, apakah itu dalam kondisi hujan, panas terik, atau bersalju, untuk bisa salat subuh, ashar atau isya.

Semua ini tentu saja dengan asumsi bahwa sudah ada jalur tanjakan khusus buat mereka untuk bisa mencapai pintu. Begitu juga halnya di bagian wanita. Mungkin saja tak seorang pun datang ke masjid karena mereka tidak bisa berwudhu atau kursi rodanya tidak muat di pintu masjid.

Lebih dari sekedar tanjakan khusus dan pintu, seseorang yang terganggu pendengarannya mungkin saja tidak datang ke masjid karena mereka tidak mengerti sedikit pun isi khutbah kecuali jika Anda menyediakan penterjemah bahasa isyarat.

Mungkin tidak seorang autis pun datang ke masjid karena para jamaah mempermalukan mereka disebabkan ketidakfahaman tentang perilaku autistik. Mungkin mereka malah tidak tahu apa itu autisme. Mungkin Anda tidak pernah menjelaskannya kepada mereka. Mungkin saja, ya mungkin saja para Muslim ini mengalami cobaan yang belum pernah Anda rasakan, bahkan bayangkan.

Mereka tidak datang ke masjid karena Anda “menghalangi” mereka untuk datang. Mereka dikucilkan oleh masyarakat. Apakah itu menyangkut akses fisik, stigma sosial, atau ekspresi yang ditunjukkan masyarakat karena mengira disabilitas itu menular. Yang jelas sesuatu yang signifikan di masyarakat telah menyingkirkan bagian penting (baca: penyandang disabilitas) dari masyarakat itu sendiri dari masjid.

Beberapa yang lain mungkin berkata, “Baiklah, kepedulian terhadap penyandang disabilitas ini sangat bagus, masya Allah. Namun, bukankah kita punya hal lain yang lebih penting yang terjadi di kalangan masyarakat Muslim saat ini untuk dipikirkan? Apakah Anda sudah menyimak berita terkini?

Saya ingin memberi sedikit gambaran suasana ketika surat Abasa diturunkan. Surat Abasa diturunkan di Makkah, dan kita tahu bahwa periode Makkiyah bagi para Muslimin adalah saat-saat terburuk. Mereka menghadapi siksaan, hinaan, kematian, bahkan percobaan pembunuhan terhadap Rasulullah sendiri juga terjadi. Dalam kondisi yang mengerikan inilah, Nabi Muhammad diberi kesempatan untuk menyampaikan kebenaran terhadap penguasa secara langsung.

Pemirsanya adalah mereka yang bertanggung jawab terhadap penindasan itu sendiri dan karenanya mereka juga akan mampu untuk menghentikannya. Mencoba mendakwahi para pemimpin Quraish itu bisa berarti akhir dari keseluruhan penderitaan yang tidak terbayangkan ini.

Apapun yang Anda lakukan di masjid saat ini tidaklah lebih penting dari apa yang diusahakan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada saat itu. Dan sepenting apa pun yang dilakukan Nabi pada saat itu, Allah mengatakan pada beliau, ada hal lain yang cukup penting untuk menyelanya (baca: peristiwa dengan Abdullah Ibn Maktum/kepedulian terhadap penyandang disabilitas).

Kita beranggapan bahwa kepedulian, penyertaan, dan fasilitasi terhadap para Muslim berkebutuhan khusus ini membutuhkan sesuatu yang ekstra, yang baru bisa kita capai setelah membereskan semua hal lainnya. Mengakomodasi mereka bukan hal yang sunah, tetapi fardu.

Abdullah Ibn Maktum adalah bukti bahwa ini tidak hanya menyangkut satu surat saja dari Al-Qur’an, tapi dua surat sekaligus. Di dalam surat An-Nisa ayat 95 Allah menurunkan sebuah ayat yang menyatakan bahwa mereka yang tinggal di rumah tidaklah sama dengan mereka yang berjuang untukNya.

Abdullah Ibn Maktum sangat tertekan dengan ketidakmampuannya untuk berbuat lebih banyak, maka dia mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan berkata, “Ya Rasulullah, saya akan ikut berjuang demi Allah jika saya bisa.” Allah lalu menurunkan lanjutan ayat ini (QS. An-Nisa ayat 95):

Mereka yang tinggal di rumah – kecuali penyandang disabilitas – tidaklah sama dengan mereka yang berjuang di jalan Allah.

Di sini Allah secara khusus memfasilitasi Muslim dengan disabilitas.

Kepedulian, penyertaan, dan akomodasi, semuanya adalah bagian dari keyakinan kita. Disabilitas juga bagian dari keyakinan kita. Pembicara Muslim di seluruh dunia membuka khutbahnya dengan doa Musa, seorang Nabi yang mengalami kesulitan untuk berbicara.

Rabbish-rah-li sadri, wa yassirli amri, Wah lul uqdatam min lisaani. Yafqaho qawli.

Tuhanku, bukakanlah hatiku dan mudahkanlah tugasku, serta lepaskanlah buhul di lidahku agar mereka memahami perkataanku.

Yahudi, Kristiani, dan Islam, semua agama Ibrahim ini memiliki kisah yang sama tentang kesabaran dari Nabi Ayub (Job) ‘alaihissalam, Nabi yang harus terbaring di tempat tidur dan cacat akibat penyakit kronis selama tujuh tahun.

Tradisi agama kita diperkaya oleh kisah-kisah mereka yang buta, lumpuh, dan menderita epilepsi. Allah sitir kisah mengenai penyandang disabilitas termasuk para Nabi sendiri sebagai teladan kesabaran, keyakinan, dan inspirasi.

Abdullah Ibn Maktum adalah seorang inspirator murni. Meskipun dia buta dan diijinkan Allah sendiri untuk tidak ikut serta dalam peperangan, dia malah meminta lebih. Katanya, “Tempatkan aku di antara dua barisan, dan beri aku tiang bendera. Aku bawakan dan aku jaga benderanya untuk kalian, karena aku buta dan tidak bisa berlari.

Maka secara harfiah dia menjadi pembawa bendera bagi kaum Muslimin. Dia ikut serta di dalam berbagai peperangan yang mampu dilakukannya. Dia wafat sebagai seorang syuhada dalam perang Qadisiyah, dan roboh bersama bendera yang masih dalam genggamannya.

Alangkah indahnya jika kita bisa mengatakan hal yang sama. Sebagai kaum Muslimin di Barat kami menganggap diri kami sebagai komunitas yang terpinggirkan, namun kenyataannya saat ini kita meminggirkan anggota komunitas kita sendiri.

Hati kita sakit ketika mendengar penyandang disabilitas ditelantarkan dan dizalimi oleh mereka yang seharusnya bertanggung jawab dalam memelihara mereka. Akan tetapi kita sebagai komunitas Muslim yang bertanggung jawab untuk merawat dan mengakomodasi semua anggotanya, kita malah mengabaikan anggota yang paling rentan.

Jika saya kedengaran seperti menganggap ini masalah pribadi. Sebenarnya memang demikian. Saya adalah salah satu dari mereka yang rentan tersebut. Kesadaran saya tentang penyandang disabilitas muncul seiring dengan kelahiran putra saya. Seperti yang diperkirakan ketika menunggu kelahirannya. Saya berdoa untuknya setiap salat, setiap harinya, “Ya Allah berkahi hamba dengan seorang penghuni surga.

Ya Allah… Allah memberi saya seorang anak penderita autis.

Maka saya berdoa lebih banyak lagi. Saya berdoa lebih keras, lebih panjang, dan sangat putus asa untuk menemukan apa yang salah dengan anak saya, dan ketika saya paham apa yang terjadi padanya, saya berdoa agar dia bisa sembuh.

Saya salahkan diri saya sendiri. Tidak sulit untuk itu, karena masyarakat ikut menyalahkan saya… Autis itu salah saya, karena saya harus menggendongnya ketika dia menangis. Itu akibat kesalahan saya, karena saya tidak boleh menggendongnya ketika dia menangis. Itu akibat saya memanjakannya. Itu karena saya mengacuhkannya. Itu karena saya memberi dia makan ini dan bukan itu. Oh, ini pasti akibat penyakit ‘ain. Yang paling parah… mungkin ini karena salat saya tidak baik.

Tidak peduli apa yang dianggap oleh masyarakat sebagai penyebab autisme, sayalah penyebab sebenarnya, dan saya hidup dengan kesedihan dan rasa bersalah yang melumpuhkan saya antara terapi demi terapi serta salat demi salat…

Namun alhamdulillah, Allah selamatkan saya dari kehancuran. Ada ibu lain yang tidak sanggup menghadapinya. Seorang Ibu yang menghilang, meninggalkan anaknya yang berusia empat tahun dengan ayahnya. Ayahnya mengirim pesan kepada saya guna mencari pertolongan. Istrinya sebelum pergi telah meninggalkan pesan kepadanya, “Ini putramu, kamulah yang harus merawatnya.

Saya kenal seorang ibu yang begitu hancurnya, hingga akhirnya kehilangan keyakinannya. “Saya tidak lagi percaya kepada Tuhan,“ katanya, tapi dia masih berdoa.

Doanya adalah agar mereka berdua, ibu dan anak akan mati bersama dalam kecelakaan lalu lintas. Di Texas, ada seorang Ibu yang kemudian menjadi terkenal setelah menyerahkan diri kepada yang berwajib setelah membunuh kedua anaknya yang autis, Zain dan Faryal.

Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa kematian mereka bisa dicegah dengan program sekolah minggu yang menyeluruh. Allah tahu berapa lama kita akan hidup di bumi ini. Saya selalu berkata bahwa syaitan memangsa kita terutama ketika berada dalam ketakukan dan kesendirian. Dalam ketiadaan masyarakat yang mendukung, perlindungan apa yang bisa diperoleh penyandang disabilitas dari syaitan?

Ketika tahu bahwa putra saya menderita autis, dikatakan kepada saya bahwa dia mungkin takkan bisa bicara. Empat puluh persen anak autis tidak bisa bicara dengan baik. Ketika pada akhirnya putra saya bisa bicara, kata pertama yang keluar dari mulutnya adalah “oke:.

Itu berarti segalanya bagi kami berdua, orang tuanya. “Jus disebut oke. Mainanan disebut oke. Mobil disebut oke.

Perbincangan kami terasa indah, perbincangan yang telah saya nantikan selama dua tahun, yang terdiri dari satu kata saja, “oke“.

Pertama kalinya dalam hidup saya harapan bahwa suatu ketika putra saya akan belajar menyebut namanya sendiri dan mungkin percakapan yang bermakna. Sungguh suatu hal yang menyakitkan sekaligus indah.

Karena kata “oke” ini jugalah kami diusir keluar dari sebuah masjid. Ketika itu waktunya salat Isya, Imam takbir mengucapkan Allahu Akbar dan putra saya menjawab “oke”. Imam membaca Fatihah dan putra saya menjawab “oke“. Allahu Akbar. “Oke!” Sami’ Allahu liman hamidah. “Oke!” Rabbanaa wa lakal hamd. “Oke!

Tak lama setelah imam mengucapkan salam, seseorang meninju meninju dinding tempat salat wanita dengan kedua kepalan tangannya. Seseorang berteriak dengan marah. (Putra saya menjawab, “Oke!“). Saya berlari kembali ke mobil bersama putra saya dan menangis. Suami saya berdiri di parkiran dan berusaha mendamaikan suasana dengan imam dan lelaki yang marah itu.

Saya tidak masuk masjid selama hampir enam tahun. Antara ketakutan akan kembali dihina dan kekhawatiran putra saya akan berjalan-jalan keluar masjid selama salat, saya kehilangan ratusan Jumatan, puluhan salat ied, serta persaudaraan dan dukungan dari Jemaah wanita yang sangat saya butuhkan.

Perjuangan kami untuk kembali bergabung dengan komunitas Muslim terlalu panjang untuk diceritakan dalam artikel ini, namun saya ingin menyebarkan perkembangan ini. Anak yang dulu menyebabkan kami diusir keluar masjid sekarang menjadi pengunjung setia masjid kami. Suatu kali dia bahkan sempat mengumandangkan azan, suatu keindahan yang sulit untuk kami gambarkan mengingat hubungan kami dengan masjid-masjid lain sebelumnya.

Rasa terima kasih yang saya rasakan terhadap jemaah masjid kami saat ini takkan mampu saya ungkapkan dengan sepantasnya. Seringkali saya berdoa untuk mereka agar Allah menjadikan mereka temanNya sebagaimana mereka telah menjadi teman putra saya. Agar Allah memperlakukan mereka dengan lembut seperti yang mereka perlihatkan kepada putra saya. Agar Allah mencintai mereka dan menambah rasa cinta di hati mereka terhadap keluarga saya dan keluarga lain yang serupa.

Nabi kita shallallahu alaihi wa sallam dikirimkan sebagai rahmat kepada umat manusia. Kita pun bisa menjadi rahmat dengan mengikuti sunahnya. Masyarakat kita bisa menjadi lebih baik. Kita bisa melakukan banyak hal.

Penyandang disabilitas di dalam masyarakat, tidak lagi pergi ke masjid. Apakah itu karena mereka tidak bisa masuk, tidak mungkin untuk berada di dalam masjid, atau karena mereka tidak diterima. Maka mereka tinggal di rumah hari demi hari, khutbah demi khutbah, ied demi ied, menjadi semakin terkucilkan, semakin menyendiri, semakin rapuh dibandingkan dengan jika mereka dikelilingi oleh tangan-tangan yang siap membantu.

Seseorang di antara Anda merasa khawatir, karena hidup dengan penyakit kronis itu menakutkan dan tanpa kepastian. Mereka butuh tempat curhat, namun tidak tahu bagaimana caranya, kepada siapa, atau kapan, karena masjid tidak mengakomodasi mereka yang sangat butuh dukungan ini.

Jika Anda memandang sekeliling Anda dan menganggap bahwa Anda tidak kenal satu pun dari mereka, maka Anda telah membuktikan pendapat saya tadi. Seseorang di antara komunitas Anda sudah berada diambang kehancuran dan Anda bahkan tidak kenal mereka. Muslim penyandang disabilitas itu ada di dalam komunitas Anda. Bila sepertinya mereka tidak ada, itu masalah. Sekarang mari kita bicarakan pemecahannya.

Mulailah dengan menemukan satu orang saja – ya, hanya satu orang penyandang disabilitas di dalam komunitas Anda. Tanyakan apa yang bisa Anda lakukan untuknya. Mintalah imam masjid untuk bertemu dengan mereka. Mintalah imam untuk membicarakan masalah disabilitas di dalam sebuah khutbah, dan pastikan masjid Anda memiliki fasilitas yang mereka butuhkan untuk menghadiri dan memahami khutbah tersebut.

Kunjungilah mereka. Jangan lakukan karena rasa iba pada mereka, lakukanlah karena Anda butuh mereka. Lakukan karena Allah ingin Anda melakukannya, dan jika Anda tidak menolong mereka, lalu jawaban apa yang akan Anda berikan kepada Allah subhanahu wa ta’ala ketika bertanya pada hari kiamat, “Wahai hambaku, Aku sakit dan kamu tidak menjengukku.

Lalu Anda menjawab, “Ya Allah, bagaimana mungkin Engkau sakit? Bagaimana caranya aku menjengukMu?

Allah akan menjawab, “Kamu tahu bahwa hambaku fulan sedang sakit, dan kamu tidak menjenguknya. Padahal jika kamu menjenguknya, kamu akan menemui Aku disana bersama mereka.

Apakah Anda ingin bersama Allah di kehidupan berikutnya? Carilah Dia di tempat-tempat ini. Carilah penyandang disabilitas di dalam komunitas Anda sebagaimana yang dilakukan para Sahabat dan Nabi, saling berlomba untuk menemukan yang lebih jauh rumahnya dan melayani mereka yang butuh bantuan.

Anda ingin Allah mencintai Anda? Maka cintailah mereka yang dicintaiNya. Allah menguji mereka yang dicintaiNya. Temukanlah mereka yang paling banyak diuji olehNya, dan mungkin, mungkin saja jika suatu ketika mereka tidak menemukan Anda di surga, mereka akan menanyakan keberadaan Anda.

Sumber: https://muslimmatters.org/2018/03/30/the-missing-muslims-living-with-disability/

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s