Tadi malam saya merasakan pengalaman yang sangat unik. Saya meminta tuan rumah (penyelenggara Story Night) di Berlin untuk membawa saya dan saudara perempuan saya ke tempat di mana kami dulu dilahirkan. Kami lalu mengunjungi apartemen di mana orang tua saya tinggal dan membesarkan saya hingga usia enam tahun. Rasanya seperti bermimpi.
Sudah 34 tahun lamanya saya tidak melihat tempat ini, karena sekarang usia saya hampir 40 tahun. Yang tersisa adalah serpihan kenangan masa kecil saya tentang pintu masuk ke gedung ini. Masih teringat betapa saya masih terlalu pendek untuk bisa menjangkau tombol-tombol bel di pintu. Saya sangat ingin untuk menekan semua tombol itu (bahkan sekarang).
Kami lalu menggunakan FaceTime (aplikasi iPhone – red.) untuk bicara dengan ibu saya, di depan Gedung apartemen tersebut. “Mama, kami ada di sini.”
Saya kira saya harus jelaskan sedikit kepada beliau untuk mengingatkan beliau. Saya keliru. Seketika ibu saya terbawa kembali ke 35 tahun yang lalu dan menjadi pemandu tur dan bercerita kepada saya tentang tempat saya berdiri saat ini. Di mana beliau biasa duduk ketika saya bermain air di Water Park. Arah menuju ke toko kelontong (yang saat ini sudah makin luas, baguslah). Saya arahkan kamera saya ke sisi luar jendela apartemen kami yang berada di lantai dua. Ibu berkata, “Itu balkon saya, itu jendela dapur saya, dan itu jendela kamar tidur saya!”
Saya bisa mendengar luapan emosi yang beliau rasakan saat ini dari suaranya. Saya berani mengatakan bahwa kenangan tentang ayah beliau (kakek saya) yang wafat pada saat beliau masih belum juga melahirkan saya yang ketika itu berada di kandungan beliau, serta ayah saya yang muntah-muntah hingga dirawat di rumah sakit, berkelebat di pikiran beliau.
Saya habiskan sisa malam mengenang kembali pengalaman hari ini dan bagaimana perasaan yang ditimbulkannya. Saya ingin mempersembahkan postingan ini khususnya bagi kedua orang tua saya serta semua orang tua di luar sana yang telah meninggalkan tanah airnya dan membesarkan anak-anak mereka di masyarakat yang budayanya asing bagi mereka.
Mungkin apa yang saya tuliskan sama dengan yang Anda alami, mungkin juga tidak. Postingan berikutnya akan saya persembahkan bagi anak-anak korban tindak kekerasan orang tua, karena masalah ini belum memperoleh perhatian yang cukup di masyarakat kita. Namun yang satu ini saya hadiahkan bagi orang tua saya, rasa syukur saya kepada Allah atas keduanya tidak akan pernah cukup.
Mama dan Papa, kalian sudah bekerja keras. Kalian sudah menahan derita “menjadi orang asing” dan seringkali pula “diasingkan”, dijadikan objek tertawaan, merindukan teman, keluarga, senda gurau, dan rasa nyaman. Kalian korbankan hidup kalian demi kami. Kalian gunakan simpanan kalian untuk menghidupi kami, untuk pendidikan dan kebahagiaan kami. Kalian beri kami kasih sayang sementara kalian sendiri tidak memperolehnya. Kalian adalah pelindung kami di saat kalian sendiri merasa tidak terlindungi dan ringkih. Kalian ajari kami tentang harga dari kerja keras. Kalian menangis dalam kebisuan ketika orang yang kalian cintai pergi dan kalian tidak bisa pulang untuk melihat mereka. Kalian lindungi kami bahkan dari kepedihan kalian sendiri. Kalian adalah peneguh kami meski pun hati kalian remuk redam.
Saya dan semua saudara saya tidak pernah bisa menyebut satu negara sebagai tanah air kami. Jerman adalah rumah kami hingga kami tinggalkan. Pakistan adalah rumah kami selama enam bulan sebelum kami menuju Arab Saudi. Dan Arab Saudi adalah rumah kami hingga terjadinya Perang Teluk pertama. Pakistan kembali menjadi rumah kami tidak lebih dari setahun. Amerika kemudian menjadi rumah berikutnya hingga saat ini.
Namun selama kami tumbuh, kami tahu bahwa sebagai anak kalian kami harus selalu siap untuk mengemasi koper dan sewaktu-waktu pindah. Tidak satu tempat pun yang bisa menjadi rumah untuk selamanya. Tapi tahukah Mama dan Papa, kalianlah tanah air kami. Kalian sekarang sudah pensiun, melewati masa jaya kalian, meski kami anak-anak kalian yang sudah dewasa ini mungkin tengah berkhayal bahwa kamilah yang sekarang menjaga kalian, namun sesungguhnya ketulusan doa kalianlah yang menjaga kami. Kalian sekarang tinggal di negeri di mana lidah kalian berlogat asing, sedangkan lidah anak-anak kalian lebih fasih dari kalian. Namun kami takkan lupa, bahwa jika bukan karena kalian, kami takkan bisa mengucapkan satu patah kata pun.
Bagi teman-teman di luar sana yang dikaruniai dengan orang tua yang sudah mencukupi kebutuhan dan menjaga kalian, ketahuilah bahwa semua ketidaksempurnaan mereka bila digabungkan jadi satu bahkan tidak ada satu ons beratnya jika dibandingkan dengan bergunung-gunung hutang kita kepada mereka.
Kami bukanlah apa-apa tanpa kalian dan kami takkan sanggup untuk mengganti apa yang sudah kalian lakukan untuk kami. Kami sesali saat-saat ketika kami tinggikan suara kami, ketika kami telah membuat kalian marah dan bersedih. Saat-saat ketika kami telah membuat kalian merasa tidak penting, tersingkirkan, dan tidak dihargai. Kami sayang kalian, kami hormati kalian, dan kami berharap untuk mampu memuliakan kalian selama kita semua hidup.
Di dalam Islam tingkat kebaikan tertinggi yang bisa dicapai disebut ihsan. Doa terbaik adalah berdoa dengan ihsan. Haji terbaik adalah berhaji dengan ihsan. Derma terbaik adalah berderma dengan ihsan. Namun khusus untuk kalian orang tua kami, Allah telah menjadikan ihsan sebagai standar minimal sikap kami para anak. Hal yang paling rendah yang bisa kami perlihatkan kepada kalian adalah ihsan! Kami berdoa agar kalian memaafkan kami dan agar kami selalu memperoleh doa kalian seumur hidup dengan ihsan yang kami persembahkan bagi kalian. Kami sayang kalian, Mama dan Papa.
Ok, selamat tinggal.