[Transkrip Indonesia] Mengendalikan Amarah – Omar Suleiman


MENGENDALIKAN AMARAH – SYEKH OMAR SULEIMAN

Allaahu akbar, Allaahu akbar
Allaahu akbar, Allaahu akbar
Asyhadu an laa ilaaha illaallaah
Asyhadu an laa ilaaha illaallaah
Asyhadu anna Muhammadan rasuulullaah
Asyhadu anna Muhammadan rasuulullaah
Hayya ‘alash-sholaaah
Hayya ‘alash-sholaaah
Hayya ‘alal falaaah
Hayya ‘alal falaaah
Allaahu akbar, Allaahu akbar
Laa ilaaha illaallaah

Innal-hamda-lillah nahmaduhu wa nasta’inuhu wa nastaghfiruhu wa nastahdi,wa nu’minu bihii wa natawakkalu ‘alaihi wa na’udzubillahil adzimi min sururi anfusina wa min sayyiati amalina, man yahdillahu ta’ala fa la mudhillalah wa man yudhlil fa la hadiyalah, wa asyhadu an la ilaha illallahu wahdahu la syarika lahu, lahul mulku wa lahul hamdu, yuhyi wa yumit, wa huwa hayyun la yamut wa huwa ‘ala kulli syaiin qadir, wa asyhadu anna muhammadan abduhu wa rasuluhu.

Wa shafiyyuhu wa khaliluhu, addal amanata wa ballaghar risalata wa nashahal ummah wa kasyafal ummah, wa tarakana ‘ala mahajjatil baidha’a lainuha kana hariha la yazidu ‘anha illa halik, fa ‘alaihi afdhalus shalatu wa atammu taslim, wa ‘ala alihi wa shahbihi wa man sanna bi sunnatihi ila yaumiddin.

Allahumma ‘alna minhum wa minal ladzina amanu wa ‘amilush shalihati wa tawashau bil haqqi wa tawashou bish shabr, amin ya rabbal ‘alamin.

Usikum wa nafsi bit taqwallah, wa qad amrana bil haq wa qala ta’ala ya ayyuhalladzina amanu, itttaqullaha haqqa tuqatihi wa la tamutunna illa wa antum muslimun.

Ya ayyuhannas ittaqu rabbakumulladzi khalaqakum min nafsin wahidah, wa khalaqa minha zaujaha wa batstsa minhuma rijalan katsiran wa nisa’a, wattaqullahalladzi tasaaluna bihi wal arham, innallaha kana ‘alaikum raqiba.

Ya ayyuhalladzi amanuttaqullaha wa qulu qaulan syadida, yuslih lakum a’malakum wa yagfirlakum dzunu bakum, wa man yuthi ‘illaha wa rasulahu, faqad faza fauzan ‘adzima. Tsumma ‘amma ba’du.

Kita mulai dengan bersaksi bahwa tak satu pun berhak disembah kecuali Allah subhanahu wa ta’ala. Kita taat kepadaNya, kita menyembah kepadaNya, dan kita bersaksi bahwa Dia mengirimkan Muhammad shalallahu alaihi wa sallam sebagai Rasul terakhirNya sebagai rahmat kepada dunia dan teladan terbaik untuk kita ikuti, jika kita menginginkan Allah subhanahu wa ta’ala dan kenikmatan abadi dari surga firdaus.

Kita mohon Allah subhanahu wa ta’ala untuk mengirimkan kedamaian dan rahmat kepada beliau kepada keluarga, para sahabat beliau, dan mereka yang mengikuti beliau hingga Hari Pembalasan. Dan kita mohon Allah menjadikan kita bagian dari mereka, allahumma amiin.

Nasihat Nabi Tentang Kemarahan

Saudara-saudara dan saudari-saudari, di dalam hadis yang terkenal yang selalu diulang berkali-kali, seorang sahabat datang menjumpai Nabi shalallahu alaihi wa sallam. Dalam beberapa riwayat sahabat itu adalah Abu Darda’ radhiyallahu ta’ala ‘anhu, seorang cendekia besar di antara para sahabat.

Dia meminta kepada Nabi shalallahu alaihi wa sallam, “Beri saya beberapa nasihat, Awtsini.

Beri saya beberapa nasihat.

Dan dikatakannya kepada Nabi shalallahu alaihi wa sallam, “A’isyu bihinna, saya hanya ingin beberapa kata yang bisa saya amalkan.

Wa laa tuktsiro ‘alayya, jangan beri saya nasihat panjang, karena saya bisa lupa kata-kata itu, jadi beri saja beberapa kata yang akan bisa saya ingat dan bisa saya ambil sebagai nasihat kehidupan yang bisa saya amalkan selama hidup saya.

Lalu Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda, “Laa taghdhob. Jangan marah.

Dia menjawab, “Ya Rasulullah, saya ingin lebih dari itu.

Dia tidak mengira diberi jawaban demikian pendek. Dia mengharapkan sesuatu yang lebih dalam, lebih puitis. Mungkin sebuah kalimat. Nabi shalallahu alaihi wa sallam kembali bersabda kepadanya, “Laa taghdhob, jangan marah.

Kembali didesaknya Nabi shalallahu alaihi wa sallam untuk ketiga kalinya dengan berkata, “Ya Rasulullah, beri saya beberapa nasihat, saya butuh nasihat kehidupan.

Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda, “Laa taghdhob, jangan marah.

Rasul Allah shalallahu alaihi wa sallam bersabda kepada kita dalam hadis terkenal lain, “Laysasy-syadiidu bissur’ah, orang yang benar-benar kuat bukanlah yang mampu mengalahkan lawannya.

Wa innamasy-syadiid, alladzii yamliku nafsahu ‘indal ghodho. Namun orang yang benar-benar kuat, orang yang sesungguhnya memiliki kekuatan adalah orang yang mampu mengalahkan dirinya sendiri dan mengontrol dirinya ketika marah.

Mengendalikan Kemarahan Bukan Hal Mustahil

Ini kedengarannya seperti nasihat sederhana, tapi ini mungkin nasihat yang paling sulit bagi kita untuk diterapkan dalam kehidupan. Dan bagi sebagian besar kita mengira ini mustahil.

Anda lihat orang berubah dalam hidupnya setiap saat. Anda lihat orang beralih dari “Kufr” kepada iman, dari tidak percaya menjadi percaya. Anda lihat orang yang biasa hidup dalam kehidupan narkoba beralih menjadi kehidupan dengan salat. Anda lihat orang berubah dari hidup dengan penghasilan haram menjadi hidup dengan penghasilan halal.

Namun sangat jarang Anda lihat seseorang yang dibesarkan dengan sifat pemarah, atau terkenal karena sifat pemarahnya, belajar menguasai emosinya. Itu hampir tidak mungkin.

Kenyataanya biasanya adalah orang-orang belajar memahami sifat pemarahnya
dan hanya menjadi catatan dalam kepribadiannya dan orang-orang tidak ada yang menantangnya lagi, yang membawa orang itu menghancurkan akhiratnya. Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda bahwa orang yang paling buruk adalah mereka yang dihindari orang untuk dikoreksi karena orang lain tidak mau menghadapi mulut kotornya.

Aku tidak ingin menghadapi kemarahanmu.

Jadi ketika dia marah setiap orang berkata, “Tenang saja, kami tahu bagaimana dia mengamuk, biarkan saja disalurkannya kemarahannya, biarkan dia menyelesaikannya.

Karena sangat jarang orang benar-benar bisa mengalahkan sifat pemarahnya. Nabi shalallahu alaihi wa sallam berkata kepada kita ini bukan mustahil. Faktanya ini adalah sebuah proses pembelajaran, dia membandingkannya dengan belajar.

Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda, “Innamal ‘ilmu bitta’allum, wa innamal hilmu bittahallum.

Beliau berkata bahwa berilmu adalah melalui mencari ilmu. Anda tahu karena belajar, dan beliau berkata kesabaran dan ketabahan, “Hilm” adalah bentuk kesabaran yang khusus, yakni belajar sabar terhadap manusia khususnya.

Hilm” dicapai melalui “Attahallum”, latihan kesabaran. Anda berlatih mengontrol sifat pemarah Anda, dalam situasi yang tidak terlalu buruk. Karena jika hal kecil bisa memicu kemarahan Anda, tentunya hal-hal besar akan menyulut Anda.

Jadi latih diri Anda, belajar menahan diri terhadap hal-hal kecil sehingga pada akhirnya Anda akan bisa mengendalikan diri menghadapi hal-hal besar.

Kita temukan percobaan yang sukses pada masa Nabi shalallahu alaihi wa sallam dari mereka yang mampu mengubah kemarahannya dan mengalihkannya menjadi sesuatu yang positif.

Contoh tersohor adalah ‘Umar bin Khattab radhiyallahu ta’ala anhu. ‘Umar radhiyallahu anhu memiliki watak yang buruk sebelum berislam. Setelah berislam dia marah tapi ketika marah dia tahu cara mengendalikan kemarahannya. Begitu kan?

Tak hanya bisa mengendalikan kemarahannya, dicarinya nasihat ketika ingin membuat keputusan. Dia tidak begitu saja meledak kepada seseorang, dia bertanya kepada Nabi shalallahu alaihi wa sallam jika dia boleh melakukan yang ingin dilakukannya.

Ketika diangkat sebagai khalifah, dia menjadi khalifah paling toleran di antara para khulafah yang dikenal dalam sejarah. Seorang lelaki yang sangat baik hati, adil, yang tidak membiarkan kemarahannya mengambil keuntungan darinya.

Dibiarkannya kemarahannya menjadi sesuatu yang positif, daripada sesuatu yang negatif dalam kepribadiannya. Dibiarkannya hal itu menjadikannya Al-Faruq, seseorang yang membedakan kebenaran dengan dusta, ‘Umar takkan lagi marah karena hal-hal kecil. Dia mampu mengubahnya.

Telan Kemarahanmu

Allah subhanahu wa ta’ala menyebut konsep ini, untuk mampu menelan kemarahan Anda, sekalipun kemarahan itu bagian alami dari diri Anda, karena Anda adalah manusia. Khususnya jika Anda dibesarkan di rumah yang isinya suka berteriak, khususnya jika Anda besar dalam budaya di mana orang biasa berteriak terhadap satu sama lain untuk segala hal, di mana hampir semua orang berkepala panas di negara, dalam budaya, dan dalam keluarga Anda.

Dalam situasi ini bahkan lebih sulit untuk menghilangkannya, khususnya jika Anda tumbuh sebagai anak yang ketika mengamuk, orang tua Anda tidak mengontrolnya. Jadi Anda sekarang seorang dewasa yang sering mengamuk.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Wa saaari’uuu ilaa maghfirotin min-robbikum, wa jannatin ‘ardhuhas-samaawaatu wal-ardhu, u’iddat lil-muttaqiin.” (QS. Ali Imran ayat 133)

Bersegeralah kepada ampunan Tuhanmu, dan kepada surga yang lebih luas dari langit dan bumi yang telah dijanjikan kepada mereka yang menyadari kehadiran Allah, yang memuja Allah, yang memahami kehadiran Allah subhanahu wa ta’ala.

Allah berfirman, “Alladziina yunfiquuna fis-sarrooo’i wadh-dhorrooo-i’, wal-kaazhimiinal-ghoizh, wal-‘aafiina ‘anin-naas.” (QS. Ali-Imran ayat 134)

Mereka yang mengeluarkan hartanya dalam sempit dan lapang, dan mereka yang menelan kemarahannya, “Wal-kaazhimiinal-ghoizh, wal-‘aafiina ‘anin-naas,” dan mereka juga mampu memaafkan orang lain. Itu setelahnya.

Mari kita bahas nomor dua saja, “Al-kaazhimiinal-ghoizh,” mereka yang mampu menelan kemarahannya. Perhatikan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak berkata, “Al-faaqizhiinal-ghoizh,” mereka yang tidak memiliki kemarahan.

Karena pertama itu bukan permintaan yang masuk akal, untuk meminta seseorang untuk tidak memiliki kemarahan dalam dirinya, khususnya bila kemarahan itu dapat dibenarkan, seperti yang dibicarakan ayat ini.

Ayat ini tidak membahas Anda kehilangan kendali dan meledak karena sesuatu yang tidak bisa dibenarkan. Tapi ketika seseorang telah mencelakai Anda, makanya bagian berikutnya dari ayat ini adalah “Wal-‘aafiina ‘anin-naas,” mereka memaafkan orang lain.

Jadi ini kemarahan yang bisa dibenarkan. Tidak masuk akal untuk menuntutnya dari Anda, Allah telah menciptakan Anda, dan yang menciptakan Anda memahami Anda jauh lebih baik dari diri Anda sendiri.

Namun di atas semua itu, satu hal yang sangat bertenaga yang dikatakan Al Imam Ibn Qudamah rahimahullahu ta’ala, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak menginginkan Anda tidak pernah marah. Anda harus marah suatu saat.

Ini bukan tentang menjadi marah atau tidak, ini bagaimana dan mengapa Anda marah. Ini bukan konsep memiliki kemarahan atau tidak, Anda manusia.

Dan Nabi shalallahu alaihi wa sallam, teladan terbaik kita, adalah seseorang yang bisa marah suatu ketika. Dan sudah diperkirakan dari kita selayaknya manusia bahwa suatu ketika kita akan marah.

Subhanallah ketika kita melihat kepada Nabi shalallahu alaihi wa sallam, gambaran dari Rasul shalallahu alaihi wa sallam sangat mirip dengan gambaran keliru terhadap Yesus (kedamaian atasnya).

Terhadap Nabi shalallahu alaihi wa sallam ada sekelompok orang, suatu ekstrim, yang menggambarkan Nabi shalallahu alaihi wa sallam sebagai lelaki yang bengis, lelaki yang biasa membunuh, lelaki yang biasa meneror, lelaki yang biasa melakukan semua hal tak terkatakan karena hal ini cocok dengan riwayat mereka.

Ekstrim lain, menggambarkan Nabi shalallahu alaihi wa sallam sebagai lelaki yang tidak pernah marah. Dan mencoba membuatnya lebih pemaaf dari sebenarnya. Padahal dengan melakukan hal ini Anda sebenarnya menghilangkan sifat pemaafnya. Begitu ‘kan?

Ketika Anda gambarkan Nabi shalallahu alaihi wa sallam sebagai lelaki yang menonton saja ketidakadilan berlangsung di depannya, dan tidak berbuat apa-apa untuk itu. Itu bukan Nabi shalallahu alaihi wa sallam.

Sama halnya dengan gambaran keliru tentang Isa ‘alaihissalaam, Yesus (kedamaian atasnya). Umumnya umat Kristiani tidak mengatakan tentang ‘Isa ‘alaihissalaam masuk ke dalam sebuah kuil dan membalikkan meja karena orang-orang menipu.

‘Isa ‘alaihissalaam adalah pengajur keadilan sosial, jika Anda baca kisah hidupnya, dia bukan seorang lelaki yang diam saja di hadapan ketidakadilan, bukan?

Dan salah satu cara dia menggambarkan dirinya adalah dia menyukai kebaikan dan melarang kejahatan. Dia adalah seseorang yang bertanggung jawab, “Al amru bil ma’ruf wan-nahyi ‘anil-munkar.

Jadi ‘Isa ‘alaihissalaam kadang marah, Nabi shalallahu alaihi wa sallam kadang marah.

Kemarahan Nabi Tidak Pernah Atas Alasan Pribadi

Namun mengapa dan bagaimana mereka marah? Yang kita pelajari tentang Rasul shalallahu alaihi wa sallam, bahwa beliau tidak pernah marah sebagai balas dendam pribadi. Tidak pernah ada “udang dibalik batu.” Bukan karena seseorang mengatakan sesuatu yang menyinggungnya. Tentunya tidak karena seseorang menzaliminya.

Suatu kali Nabi shalallahu alaihi wa sallam sedang berjalan keluar dari masjid dengan para sahabatnya, seorang lelaki dari Banu Khuraidhah datang kepada beliau dan dia berjalan menuju Nabi shalallahu alaihi wa sallam lalu dia berteriak kepadanya dan berkata, “Kamu berhutang uang kepadaku!

Nabi shalallahu alaihi wa sallam, beliau memang sering berniaga dengan Yahudi dan Kristiani, dan dengan non-Muslim. Itu cara beliau membangun hubungan dengan mereka. Itu cara menumbuhkan kepercayaan. Ini sebenarnya salah satu bentuk da’wah, yakni menjadi pedagang jujur dengan non-Muslim. -Saya tahu kita suka berbisnis dengan sesama Muslim, tapi bagian dari da’wah yang baik adalah juga melalui bisnis dengan non-Muslim.- Nabi shalallahu alaihi wa sallam melakukannya bahkan setelah berada di Madinah.

Jadi lelaki ini menemui Nabi shalallahu alaihi wa sallam dan berkata, “Kamu berhutang uang kepadaku!

Nabi shalallahu alaihi wa sallam menjawab, “Tanggal jatuh temponya belum lewat.

Lelaki itu lalu mulai mencemooh Nabi shalallahu alaihi wa sallam serta mencemooh Banu Hasyim dengan mengatakan, “Kalian semua selalu begini, selalu menunda pembayaran hutang!

‘Umar bin Khattab radhiyallahu anhu sedang berdiri di sana. ‘Umar radhiyallahu ta’ala anhu mampu mentolerir bila seseorang menghinanya. Seorang wanita ditengah-tengah jama’ah bisa saja berdiri dan memaki ‘Umar radhiyallahu anhu, seorang anak bisa menyuruh ‘Umar untuk takut kepada Allah dan ‘Umar radhiyallahu anhu akan takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Setiap orang bisa menyuruh ‘Umar radhiyallahu ta’ala anhu untuk takut kepada Allah.

Namun ketika Nabi shalallahu alaihi wa sallam dihina, ‘Umar radhiyallahu anhu tak mampu menahan emosinya. Maka ‘Umar radhiyallahu anhu berdiri, dia adalah seorang lelaki tinggi besar dengan sosok menggentarkan. Dia melangkah ke arah lelaki itu dan berkata kepada Nabi shalallahu alaihi wa sallam, “Ya Rasulullah beri saya kesempatan, akan saya sudahi dia.

Beri saja saya perintah, dia tamat.

Sekarang lelaki itu ketakutan. Namun Nabi shalallahu alaihi wa sallam malahan menyuruh ‘Umar radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Bukan ini yang kami inginkan darimu.

Beliau berkata, “Sebaliknya, ajaklah lelaki itu menemui bendahara, beri dia 20 genggam penuh kurma jumlah yang harus aku bayar kepadanya, berikut tambahan 20 genggam lagi untuk caramu memperlakukannya. Kamu harus mengantarnya ke sana dan membayarnya.

Maka ‘Umar radhiyallahu anhu berjalan dengan lelaki ini, dan ‘Umar radhiyallahu ta’ala anhu merasa geram. ‘Umar radhiyallahu anhu tidak ingin bicara kepada lelaki ini tapi lelaki itu berkata kepada ‘Umar radhiyallahu ta’ala anhu, “Kau tahu siapa saya hai yabnil (putra) Khattab?

Dia menjawab, “Tidak!

Lelaki itu berkata, “Aku Zaid Ibn Sa’nah.

Ketika ‘Umar radhiyallahu anhu mendengar ucapan Zaid Ibn Sa’nah, dia berkata, “Habrul Yahuuds?

Rabbi Yahudi itu? Ulama besar dan Rabbi Yahudi itu?

Dia menjawab, “Benar.

‘Umar radhiyallahu anhu berkata, “Fama hamalaka ‘alaha?

Anda orang yang memiliki nama baik, Anda terkenal sebagai lelaki yang mulia dan terhormat. Anda pemuka agama Anda, Anda seorang Rabbi, kami mendengar kemahsyuran nama Anda. Mengapa Anda memperlakukan Nabi shalallahu alaihi wa sallam seperti itu?

Dia menjawab itu disebabkan semua tanda kenabian ada pada beliau, kecuali satu hal yang harus diujinya. Artinya semua yang kami tahu tentang Nabi shalallahu alaihi wa sallam yang akan datang, kami temukan pada diri Rasul shalallahu alaihi wa sallam. Dijelaskannya ada satu deskripsi tentang Nabi di dalam Taurat yang harus diujinya.

Yasbiqu hilmahu jahla,” kesabarannya lebih besar dari “Jahl”-nya. -Orang Arab biasa menggunakan kata “Jahl” yang diartikan sebagai “Ghodhob,” kemarahan-. Karena ketika seseorang marah, dia tak menyadari apa yang dilakukannya.

Jadi Anda bisa temukan ini dalam syair Arab bahwa “Jahl” sebenarnya istilah untuk kemarahan dalam berbagai cara. Jadi kesabaran beliau, toleransi beliau lebih besar dari kemarahan beliau.

Dan jika “Jahl” Anda kepada beliau ditingkatkan, jika kemarahan Anda kepada beliau meningkat, ini hanya akan meningkatkan “Hilm” beliau, menambah kesabaran beliau.

Maka Zaid Ibn Sa’nah menjadi Rabbi kedua terbesar di Madinah yang akhirnya memeluk Islam setelah Abdullah Ibn Salam. Dia mengucapkan, “’Asyhadu ‘allaa ilaaha illallaah, wa ‘asyhadu ‘anna muḥammadar rosuulullaah.

Dipersembahkannya separuh dari hartanya untuk Islam, dia adalah lelaki kaya. Katanya, “Kuberikan separuh hartaku untuk sadaqah, derma.

Dan dia berniat untuk berumrah jika dia bisa, jika waktunya tiba.

Pelajaran dari kisah ini, dan ini sesuatu yang sangat bertenaga adalah; pertama bahwa Nabi shalallahu alaihi wa sallam sering kali dihina tapi Nabi shalallahu alaihi wa sallam tidak pernah marah untuk dirinya sendiri.

Wa man taqoma linafsihi qoth.

A’isyah radhiyallahu anha meriwayatkan kepada kita, setiap masa bahagia dan kesedihan dalam rumah tangga mereka. Setiap percekcokan yang pernah mereka alami, setiap masa-masa tertawa yang mereka alami. A’isyah radhiyallahu anha-lah yang mengatakan dalam gambaran mengenai Nabi shalallahu alaihi wa sallam bahwa beliau tidak biasa membela diri, beliau tidak pernah marah untuk dirinya sendiri, semua kemarahannya tidak pernah tentang diri beliau.

Hanya setelah batasan dari Allah subhanahu wa ta’ala diseberangi maka Nabi shalallahu alaihi wa sallam akan marah. Jadi kita temukan dari Rasul shalallahu alaihi wa sallam bahwa beliau juga pernah marah.

Beliau takkan marah jika seseorang datang dan sebagaimana disampaikan Anas radhiyallahu anhu.

Seorang lelaki datang kepada Nabi shalallahu alaihi wa sallam seorang Badui, lalu dia mulai mendorong Nabi shalallahu alaihi wa sallam, -bukan mendorong,- tapi menarik baju beliau, baju yang sedang dipakai Nabi shalallahu alaihi wa sallam untuk melepaskannya dari beliau.

Ini meninggalkan bekas di leher Nabi shalallahu alaihi wa sallam, dia mencekik beliau untuk mencoba melepaskan baju beliau. Dia berkata, ‘A’thini mimma a’thokallaah, berikan padaku apa yang diberikan Allah padamu.’

Nabi shalallahu alaihi wa sallam tersenyum padanya dan memberinya baju itu sekaligus menyuruh untuk memberi derma kepadanya.

Nabi shalallahu alaihi wa sallam sering kali dihina dan Rasul shalallahu alaihi wa sallam hanya tersenyum, dan dengan cara terhormat beliau biarkan penghinaan itu berlalu. Nabi shalallahu alaihi wa sallam sering kali dicela.

Kenyataannya di Makkah mereka berusaha untuk membuat Nabi shalallahu alaihi wa sallam bereaksi, karena mereka merasa jika bisa membuat beliau berteriak, memaki, dan mengumpat maka mereka bisa membuktikan bahwa beliau bukan utusan Allah.

Namun sebaliknya, setiap kali mereka menghina beliau, Nabi shalallahu alaihi wa sallam membuat mereka merenung kembali. Karena Nabi shalallahu alaihi wa sallam selalu bisa mengendalikan diri.

Bahkan “’Abasa wa tawallaaa,” kisah Abdullah Ibn Maktum, yang dijadikan referensi oleh Allah subhanahu wa ta’ala di dalam Al-Qur’an. Nabi shalallahu alaihi wa sallam merengut kepada seorang lelaki buta.

Beliau bukan merengut kepada Abdullah ibn Maktum karena beliau sendiri tersinggung, shalallahu alaihi wa sallam. Beliau merengut terhadap lelaki buta ini karena Nabi shalallahu alaihi wa sallam sedang berdiskusi dengan bangsawan Quraisy, kaum elit Quraisy.

Sedangkan Abdullah Ibn Maktum tidak menyadari hal tersebut, dan dia menceburkan diri di tengah pembicaraan, padahal dia adalah tamu yang tidak diinginkan oleh para elit itu, Nabi shalallahu alaihi wa sallam beranggapan ini buruk untuk da’wah. Beliau menganggap ini buruk bagi seruannya.

Ini bukan tentang beliau pribadi, ini bukan karena beliau tersinggung oleh kehadirannya. Ini karena Nabi shalallahu alaihi wa sallam menganggap bahwa ini akan membahayakan da’wah beliau.

Sebab Kemarahan Nabi

Jadi kapan Nabi shalallahu alaihi wa sallam marah? Saya beri Anda beberapa contoh, yang subhanallah cukup fenomenal. Beliau tidak marah karena hal-hal besar berikut ini, beliau bisa memaafkan mereka yang membunuh anggota keluarga beliau, beliau mampu memaafkan hal-hal yang sangat sangat besar.

Kapan beliau marah? Abdullah Ibn Mas’ud radhiyallahu ta’ala anhu berkata, “Wajah Nabi shalallahu alaihi wa sallam memerah.

Ketika seekor burung datang kepada beliau dan mengadu bahwa beberapa telurnya diambil dari sarangnya, -ini terjadi di waktu perang-, karena seorang di antara sahabat mengambil telur dari sarang itu.

Seekor burung mengadu kepada Nabi shalallahu alaihi wa sallam, dan Rasul shalallahu alaihi wa sallam marah karena seekor burung diperlakukan dengan buruk.

Nabi shalallahu alaihi wa sallam marah ketika seorang wanita non-muslim terbunuh dalam salah satu pertempuran. Beliau marah dan menuntut penjelasan. Nabi shalallahu alaihi wa sallam marah saat salah satu sahabatnya dihina.

Nabi shalallahu alaihi wa sallam marah, -ini menjadi menarik karena hadis ini dimulai dengan cara yang Anda perkirakan akan menjadi sesuatu yang dramatis.-

Abu Mas’ud Ats-Tsaqafy berkata, “Saya tidak pernah melihat Nabi shalallahu alaihi wa sallam lebih marah dari ketika seorang lelaki datang kepadanya dari masjid tetangga, di Madinah, bukan di masjid An-Nabawi, bukan di masjidnya Nabi shalallahu alaihi wa sallam, tapi masjid lain, suku yang berbeda memiliki musholla dan masjid yang berbeda pula.

Jadi lelaki ini menjumpai Nabi shalallahu alaihi wa sallam, dia berkata kepada Nabi shalallahu alaihi wa sallam, bahwa imam kami membaca ayat yang sangat panjang ketika salat fajr, sehingga saya sengaja menunggu, menunggu sangat lama setelah iqamah, lalu saya masuk ke raka’at pertama, pada bagian akhirnya, karena saya tak mampu mengikuti caranya mengimami salat. Maksud saya dia membaca Al-Baqarah, Ali-Imran, dia membaca surat yang sangat panjang, saya tak mampu mengikuti.

Nabi shalallahu alaihi wa sallam tidak menuduh lelaki ini, “Kamu munafik,” malahan Nabi shalallahu alaihi wa sallam marah kepada Imam! Beliau berkata, “Beberapa di antara kalian mengusir orang-orang dari agama ini!

Beliau gusar karena tidak ingin lelaki ini berpaling dari agama ini. Ketika itulah Nabi shalallahu alaihi wa sallam emosi, saat itulah beliau marah. Saat Abu Bakr radhiyallahu ta’ala anhu dihina, Nabi shalallahu alaihi wa sallam marah. Ketika para sahabatnya dihina, Nabi shalallahu alaihi wa sallam marah.

Bagaimana Nabi Marah?

Namun bagaimana beliau menghadapi kemarahannya? Pertama, mengapa beliau marah? Sudah kita bahas, hanya ketika sesuatu terjadi menentang apa yang ditetapkan Allah subhanahu wa ta’ala, atau ketika seseorang dizalimi, dan itu adalah pelajaran penting di sini.

Sebagai seorang muslim, seorang yang percaya, Anda harus marah jika seorang anak umur 12 dengan pistol mainan ditembak mati dan keadilan tidak ditegakkan. Anda harus gusar terhadap hal ini sebagai seorang muslim, sunnah untuk gusar terhadap hal semacam itu. Anda harus gusar jika seorang muslim atau non-muslim dizalimi. Anda seharusnya gusar jika seseorang atau seekor hewan dizalimi. Ini termasuk sunnah Nabi shalallahu alaihi wa sallam.

Namun bagaimana cara menghadapi kemarahan itu? Apa yang Anda lakukan ketika marah? Karena ketika kita melihat kepada Nabi shalallahu alaihi wa sallam, karena beliau marah dengan alasan-alasan yang tepat, tak satupun dalam kemarahan beliau yang tidak pantas. Tidak satupun dari kemarahan beliau yang melampaui batas, Anda bisa melihat dari raut wajah beliau, mendengar dari suara beliau, tapi Nabi shalallahu alaihi wa sallam saat marah tidak mengutuk, tidak berteriak.

Karena salah satu tanda kemunafikan adalah “Wa idza khosoma fajaro,” ketika dalam perdebatan dia berlebihan.

Mengapa? Karena alasan utama dia menjadi marah bukanlah alasan yang mulia, tapi alasan pribadi, bukan untuk Allah subhanahu wa ta’ala.

Seringkali kita menjumpai orang-orang yang beralasan bahwa saya marah semata-mata karena Allah subhanahu wata’ala. Kita sangat pemilih dalam kemarahan kita. Jika untuk kemarahan “Fii sabiilillaah,” lihatlah integritas ‘Ali radhiyallahu ta’ala anhu.

‘Ali radhiyallahu anhu sedang berada dalam sebuah pertempuran. Maksud saya, dalam pertempuran orang-orang tidak berpelukan dan berciuman, mereka berkelahi. ‘Ali radhiyallahu anhu sedang berada di atas lelaki yang berkelahi dengannya, ketika akan membunuhnya, lelaki itu meludahi wajahnya. Maka ‘Ali radhiyallahu anhu berdiri.

Lelaki itu keheranan, “Tunggu, kau takkan membunuhku?

Kau baru saja akan membunuhku, apa yang terjadi?

‘Ali radhiyallahu anhu menjawab, “Karena pertama adalah karena Allah subhanahu wa ta’ala, sekarang setelah kau menghinaku, sekarang ini karena diriku sendiri, egoku ikut serta.

Aku takkan melakukannya karena egoku, tak boleh satupun karena egoku, ini seharusnya bukan tentang aku. Hal ini seharusnya bukan tentang aku.

Karena jika itu tentang Anda, maka akan menjadi buruk. Jika itu tentang Allah subhanahu wa ta’ala maka bahkan kemarahan Anda menjadi indah. Jika kemarahan Anda mengandung fitnah, jika kemarahan itu mengandung kutukan dan ucapan kotor, maka itu bukan tentang Allah, itu tentang Anda.

Jika kemarahan Anda mengandung semua hal yang haram, jangan akui bahwa itu demi Allah subhanahu wa ta’ala atau alasan yang benar, dan meski alasan awalnya benar, pelanggaran Anda dalam kemarahan itu bisa memperburuknya.

Karena itu Nabi shalallahu alaihi wa sallam menasihati ‘Aisyah radhiyallahu anha bahkan ketika ‘Aiysah radhiyallahu anha marah akibat penghinaan terhadap Nabi shalallahu alaihi wa sallam. Dia bereaksi kepada orang yang mengharapkan kematian Nabi shalallahu alaihi wa sallam, dan mengutuk Nabi shalallahu alaihi wa sallam.

Nabi shalallahu alaihi wa sallam berkata, “Iyyaki wal unf wal fuhsy.

Ini tidak menjadi dalih bagimu, ini tidak memberimu alasan untuk mengucapkan kata-kata kotor dan kasar.

Agama kita bukan tentang hal ini. Bahkan ketika Anda menuntut keadilan, ketika Anda melakukan sesuatu yang benar, karena Anda harus berbicara untuk alasan yang benar. Anda harus marah pada waktu tertentu. Anda harus melakukan sesuatu jika suatu ketidakadilan terjadi. Jangan melampaui batas, itu bukan hak yang diberikan Allah subhanahu wa ta’ala kepada Anda. Tidak, itu bukan sesuatu yang bisa dipahami, itu tidak benar. Itu tidak benar bahkan pada momen tersebut.

Dan sering kali kita hiasai kemarahan kita untuk “Nufus,” untuk ego kita, serta alasan remeh, dan membenarkannya sebagai; demi Allah subhanahu wa ta’ala.

Seperti yang disebut “online-outrage-trolls,” penghujat dunia maya. Para penghujat adalah mereka yang menunggu sesuatu buruk terjadi, menunggu seseorang membuat kesalahan di dunia maya, sehingga mereka bisa memperoleh reputasi, dengan menyingkapkan “kesalahan” orang itu, dengan cara menyanggahnya.

Ibaratnya mereka menunggu dengan tak sabar untuk melancarkan terornya, mengamati seseorang secara “online” untuk membuat kesalahan. Dan jika mereka sangat-sangat-sangat membenci Anda, maka akan menjadi obsesif, akan menjadi menakutkan.

Mereka akan memantau status Anda, memantau video Anda mendengarkan apa saja yang Anda ucapkan. Mereka bahkan akan… bisa jadi meneliti catatan tentang Anda. Apakah itu seorang ulama, seorang aktivis, siapapun itu, mereka menunggu. Taringnya tajam menghujam, “Alhamdulillah, kena lo!

Lalu semuanya hanya tentang sampah. Itu bukan tentang Allah subhanahu wa ta’ala, tapi tentang “Nafs” Anda, meski kelihatannya seperti tentang Allah subhanahu wa ta’ala, ini tentang ego-nya, ego Anda. Jangan akui itu tentang Allah subhanahu wa ta’ala, itu tentang Anda! Itu keburukan pribadi Anda sendiri, yang keluar seperti caranya ditampilkan. Bukan?

Kita dengar orang-orang dihujat di media, dan orang lain mendiskusikan kasus mereka, tapi tahukah Anda? Mereka membalas dengan hujatan lebih buruk lagi dibanding apa yang terjadi di awal. Ini bukan tentang masalah orang itu, Anda bahkan tak peduli tentang masalahnya, ini tentang Anda menjatuhkan nama orang itu tanpa sepengetahuannya, karena orang itu memiliki perkara yang legal, tapi Anda memiliki “Nafs” yang tidak legal. Itulah yang terjadi, jangan akui itu tentang mereka.

Ketika kita bertengkar, kita beradu pendapat, lalu kita menjadi sangat marah dan melebar kemana-mana hingga bagaimana masjid dijalankan, bagaimana lembaga ini melaksanakan hal ini, apa yang terjadi di sini, apa yang terjadi di sana. Apakah ini benar-benar demi Allah, atau demi Anda sendiri?

Bahkan ketika Anda membentak dan menghardik anak Anda, subhanallah, Ibnul Qayyim rahimahullah ta’ala berkata, bahkan ketika seseorang mendisiplinkan anak-anaknya, mereka harus yakin bahwa saat mereka mendisiplinkan anak-anaknya, bukan berarti mereka menyalurkan frustasinya, Anda tidak sedang melepaskan frustasi Anda, tapi Anda sedang memperbaiki anak-anak Anda. Itu akan terlihat dalam cara Anda mendisiplinkan anak Anda. Benar Anda harus mendisiplinkan anak Anda, karena jika tidak mereka akan tumbuh menjadi manja, yang akan mengamuk ketika sudah dewasa.

Benar, disiplinkan anak Anda, tapi “Ihsan” yang Anda pakai dalam mendisiplinkannya, kebaikan yang Anda pakai untuk mendisiplinkan anak Anda, memperlihatkan bahwa tujuannya untuk sesuatu yang mulia, bukan untuk sesuatu yang buruk.

Bagaimana Nabi Menghadapi Kecemburuan A‘isyah?

Saya sudahi dengan dua contoh dari sirah Nabi shalallahu alaihi wa sallam. Saya tahu Nabi shalallahu alaihi wa sallam mencontohkan ini, memang ini sangat-sangat sulit bagi kita untuk meneladaninya, tapi itu intinya, kesempurnaan beliau dan kita perlu berusaha ke arah itu.

Coba bayangkan kota ini, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, dan kedua kisah ini menyangkut ‘Aisyah radhiyallahu anha, karena ‘Aisyah seorang wanita yang menceritakan kepada kita masa-masa dia membuat Nabi shalallahu alaihi wa sallam marah, bukan karena takut kita akan mengatakan sesuatu tentang dia, namun agar kita paham teladan dari Nabi shalallahu alaihi wa sallam, sehingga kita bisa mengambil pelajarannya.

Nabi shalallahu alaihi wa sallam sedang duduk bersama para sahabat, beliau berada di ruang tamunya, mereka duduk melingkar. Dan itu di rumah ‘Aisyah radhiyallahu ta’ala anha.

‘Aisyah radhiyallahu anha tidak terkenal pintar memasak. Beberapa wanita biasa menggodanya soal itu. Jadi Umm Salamah radhiyallahu anha mengirim sepiring makanan ke rumah ‘Aisyah radhiyallahu anha sementara Nabi shalallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya berada di sana, makanan itu tiba dan diletakkan tepat di antara Nabi shalallahu alaihi wa sallam dan para sahabat.

Sementara itu ‘Aisyah radhiyallahu anha sedang menyiapkan makanan pula. Bayangkan ini, Nabi shalallahu alaihi wa sallam duduk dengan para sahabat, mereka akan memakan panganan enak dari Umm Salamah radhiyallahu anha, lalu A’isyah radhiyallahu anha masuk ke tengah-tengah mereka, diambilnya piring tersebut dan dipecahkannya.

Seringkali jika kita marah, jika yang marah itu kita, pasti tentang ego kita. Anda akan membiarkannya memecahkan piring? Ini tentang ego kita, bukan tentang apa yang terbaik. Tindakan terbaik apa yang harus dilakukan dalam kondisi ini?

Ini bukan dorongan bagi para saudari untuk memecahkan piring, atau yang lainnya untuk memecahkan piring, tapi Nabi shalallahu alaihi wa sallam, ketika ini terjadi, semua mendadak hening, ada piring pecah di tengah mereka. A’isyah kembali ke dalam dan para sahabat menatap Nabi shalallahu alaihi wa sallam seperti bertanya, “Apa yang kita lakukan sekarang?”

Nabi shalallahu alaihi wa sallam tersenyum dan berkata, “Ghoorotul mukum.

Beliau berkata, “Ibu kalian cemburu, kuluu.

Tidak hanya mengatakan Ibu kalian cemburu, tapi juga, “Ayo kita makan.

Lupakan saja piring yang pecah, mari kita makan. Beliau berkata, “Ghorrot ummukum, Ibumu cemburu.

Nabi shalallahu alaihi wa sallam tidak tertarik untuk membuktikan dirinya sebagai lelaki yang keras, lelaki yang berkuasa, karena itu bukan tentang itu. Kelembutan yang beliau perlihatkan kepada pasangannya, cinta yang diperlihatkannya kepada pasangannya berbeda.

Lalu apa yang beliau lakukan untuk memperbaiki keadaan ini? Dipanggilnya A’isyah radhiyallahu anha, beliau berkata, “Kamu harus mengirim sebuah piring kepada Umm Salamah sekarang, kamu sudah memecahkan piringnya, kamu harus menggantinya.

Selesai. Beliau shalallahu alaihi wa sallam tidak mau melangkah lebih jauh dari itu, karena sering kali ketika kita marah, mengapa kita marah? Karena kesombongan, karena riya’.

Memang ada metode khusus untuk menangani kemarahan, berwudhu, membaca “A’uudzu billaahi minasy-syaitoonir rojiim,” dan sebagainya, tapi apa akar penyebabnya, mengapa kita kadang marah? Karena kita ingin memperlihatkan kepada semua orang siapa yang berkuasa, siapa yang kuat, bukan?

Jadi Anda bereaksi karena merasa dihina, Anda merasa tidak dihargai. Anda tahu? Itu tanda kesombongan Anda. Itu tanda dari riya’ Anda. Anda tidak punya masalah jika orang lain tidak dihargai, dan sekarang Anda merasa tersinggung, sekarang Anda marah? Sekarang Anda akan berteriak dan mempermalukan diri sendiri?

Anda tahu yang paling mengagumkan dari Nabi shalallahu alaihi wa sallam? A’isyah radhiyallahu anha berbagi kepada kita masa ketika dia membuat beliau sangat marah. Saat dia membuat Nabi shalallahu alaihi wa sallam paling marah.

Anda bisa bayangkan, A’isyah radhiyallahu anha meriwayatkan ribuan hadis. Dia menyaksikan Nabi shalallahu alaihi wa sallam dalam setiap situasi. Dalam setiap saat kesedihan beliau, dalam setiap duka beliau, semua yang beliau alami.

Tapi katanya, saat dia membuat Nabi shalallahu alaihi wa sallam paling marah, dia berkata, -dan ini riwayat yang sangat terkenal bukan?- Dia berkata bahwa Nabi shalallahu alaihi wa sallam, “Laa yakaadu yakhruju minal bait hatta yadzkuru Khadiijah.

Nabi shalallahu alaihi wa sallam takkan meninggalkan rumah, hingga beliau ingat akan Khadijah, beliau harus menyebut nama Khadijah. Setiap hari beliau menyebut Khadijah radhiyallahu anha, beliau rindu kepadanya. Beliau memberi hadiah kepada teman-temannya, selalu berdoa baginya, selalu memujinya, buru-buru menemui saudarinya, ketika mendengar suaranya mirip. Segala hal yang mengingatkan beliau kepada Khadijah memiliki efek nyata terhadap Nabi shalallahu alaihi wa sallam.

A’isyah radhiyallahu anha menjadi cemburu. Dia berkata shalallahu alaihi wa sallam, “Bukankah Allah telah memberimu seseorang yang lebih baik dari wanita tua Quraisy yang tidak bergigi itu? Allah sudah memberimu seseorang yang lebih baik, mengapa masih mengingatnya?

Dia tak mampu mengendalikan diri lagi, dan itu karena cintanya kepada Nabi shalallahu alaihi wa sallam. Namun dia telah melampaui batas. A’isyah berkata Nabi shalallahu alaihi wa sallam berdiri, wajah beliau memerah, rambut beliau berdiri. -Maksud saya, ini saat Nabi shalallahu alaihi wa sallam paling marah menurut A’isyah.-

Ini bukan senyuman dari Nabi shalallahu alaihi wa sallam, ini kemarahan Nabi shalallahu alaihi wa sallam. Apakah Nabi shalallahu alaihi wa sallam akan membencinya, apakah beliau mengutuknya, meludahinya, meremehkan dan menghinanya?

Pada saat paling marah pun, beliau berkata, “Wallaahi maa baddalaniyallaahu khoiran minha.

Aku bersumpah karena Allah, Allah tidak memberiku seseorang yang lebih baik darinya.

Aamanat bi-idz kafaro bi an-naas, dia percaya kepadaku di saat semua orang tidak mempercayaiku.

Wa sadaqotni-idz kadz-dzabni an-naas, dia menganggapku jujur di saat yang lain menyebutku pendusta.

Wa anfaqotli-idz harramani an-naas, dibelanjakannya untukku ketika yang lain menahan uangnya uangnya dariku.

Wa rozaqaniyallaahu waladaha, idz haramani awlada nisaa’, dan Allah memberiku anak melaluinya, dialah ibu dari anak-anakku.

Subhanallah! Perhatikan “Ghirah” yang dimiliki Nabi shalallahu alaihi wa sallam terhadapnya. Seandainya kita juga memilikinya, “Itu ibu dari anak-anakku.

Wanita itu memberiku anak, bagaimana bisa kamu bicara begitu tentang dia?

Subhanallah, bahkan saat beliau paling marah pun, Nabi shalallahu alaihi wa sallam tetap indah. Beliau tidak meremehkan A’isyah karena jika demikian maka ini tidak lagi tentang Khadijah tapi bagaimana membuat A’isyah merasa tidak enak, bukan tentang membela Khadijah. Karena alasannya mulia, cara menyalurkannya juga mulia.

Jadi jika Anda membela sesuatu yang benar, maka hal itu akan keluar menjadi hal yang indah. Jangan samarkan kemarahan Anda dalam “Fii sabiilillaah.

Biarkan ada kemarahan namun hendaknya untuk alasan yang tepat. Dan jangan biarkan itu disebabkan oleh alasan remeh, bukan demi diri Anda, bukan demi ego Anda. Bahkan biarkan rasa keadilan Anda menjadi sesuatu yang indah.

Kita mohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan doa dari Nabi shalallahu alaihi wa sallam, dan ini adalah doa yang sangat indah. Saya ingin Anda semua mengingatnya.

Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadis sahih Muslim dan Imam Ahmad. Beliau biasa berdoa, “Allaahumma inii as-aluka, qoulal haq firridoo wal ghodob.

Ya Allah, aku mohon agar Engkau memberi kemampuan bagiku untuk mengatakan kebenaran di saat aku senang ataupun marah.

Tak peduli apapun situasinya, pastikan bahwa aku mengatakan yang benar.

Kita mohon Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan kita penegak kebenaran, dan mengampuni semua kelemahan kita. Kita mohon Allah subhanahu wa ta’ala agar mengampuni kita ketika kemarahan kita adalah tentang diri kita sendiri dan bukan tentangNya. Kita mohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala untuk menanamkan sifat pemaaf di dalam hati kita, juga pada lidah dan perilaku kita, dan memampukan kita untuk menentang ketidakadilan saja, dengan apa yang disukai Allah subhanahu wa ta’ala.

Allahumma amiin, aquulu qauli haadza, wastaghfirullaha li wa lakum wa lisaairil muslimiin, fastaghfiru inahu huwal ghafuurur rahiim.

(Berhenti sebelum menyimpulkan dan berdoa)

Kesimpulan

Alhamdulillahi rabbil ‘alamiin, wassalaatu wassalaamu ‘alaa rasuulihil kariim, wa ‘ala aalihi wasahbihi ajma’iin.

Saudara dan saudari-saudari, cara terbaik menyimpulkan karakter Nabi shalallahu alaihi wa sallam, pada “‘Aamil wufuud,” pada tahun-tahun ‘delegasi’, ketika semua delegasi datang untuk menerima Nabi shalallahu alaihi wa sallam, seorang lelaki bernama Abu Laila Al-Ja’di radhiyallahu anhu, datang kepada Nabi shalallahu alaihi wa sallam dan dia adalah seorang penyair, dia mencatat sesuatu tentang Nabi shalallahu alaihi wa sallam, tentang cara beliau membawa diri.

Dan dia berkata tentang Nabi shalallahu alaihi wa sallam dengan bahasa Arabnya yang dalam. Jadi saya takkan membahasnya secara detil karena keterbatasan waktu.

Qoola laa khoiro fii hilmin idzaa lam yakun lahu, bawaadiru tahmi safwahu an yuqaddaroh.

Tiada guna seseorang memiliki kesabaran, memiliki rasa kasih sayang, jika dia tidak menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, jika dia tidak melindungi dirinya sendiri sehingga ketika dia memperlihatkan rasa kasih sayang tersebut, dia tidak akan diperalat, segala sesuatu tidak akan ditiadakan, artinya apa?

Ketika Nabi shalallahu alaihi wa sallam memperlihatkan rasa kesabarannya, juga rasa kasih sayang dan maafnya, beliau memperlihatkannya sedemikian rupa sehingga kebenaran masih dapat ditegakkan.

Ini adalah cara strategis untuk memperlihatkan maaf, beliau tidak membiarkan seseorang mengambil keuntungan darinya, sekaligus juga tidak membiarkan komunitasnya menderita, karena cinta dan maaf yang diperlihatkannya.

Lalu Abu Laila berkata, “Wa laa khoiro fii jahlin, idzaa lam yakun lahu haliimun, idzaa maa uuridal amro asdaroh.

Dan tidak ada kebaikan dalam kemarahan seseorang, -kembali “Jahl” adalah kemarahan, “Ghodo”-. Jika seseorang tidak memiliki kesabaran untuk mengendalikan kemarahannya, sehingga dia memperlihatkan kemarahan jika alasannya tepat, dan dalam perkiraan yang tepat, dan apa yang seharusnya dicapai bisa dicapai, dia bisa memperlihatkan kesabaran dan kasih sayang, dia tidak melampaui batas yang digariskan Allah subhanahu wa ta’ala.

Maka itu adalah Nabi shalallahu alaihi wa sallam, kombinasi yang pas dari sifat pemaaf dan adil. Memperlihatkan kemarahan pada saat yang tepat, tidak menjadi seseorang yang pasif, tapi seseorang yang agresif dengan kebenaran, dan seseorang yang meninggalkan hal-hal kecil kepada Allah subhanahu wa ta’ala, sehingga Allah akan memberinya balasan untuk itu.

Ketika Abu Laila mengatakan hal itu, Nabi shalallahu alaihi wa sallam berkata, “Laa yafhudhillaahu faaq, semoga Allah tidak membiarkan mulutmu menjadi rusak.

Dan Abu Laila radhiyallahu anhu, -dan ini adalah hadis sahih-. hidup hingga umur 150 tahun tanpa kehilangan satu gigi pun, karena doa Nabi shalallahu alaihi wa sallam untuk mulutnya.

Kita mohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala untuk mengaruniakan kita dengan hati yang jujur, dan lidah yang berbicara jujur, dan kita mohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala untuk menuntun kita di jalan yang benar dan mengaruniakan kita, “Qoulal haq firridhoo wal ghodob, kata-kata yang jujur, baik di dalam senang atau pun susah, baik dalam kemarahan ataupun kebahagiaan.

Allahummaghfir lil mu’miniina walmu’minaat, wal muslimiina wal muslimaat, al ahyaa-i min hum wal amwaat, innaka samii’un mujiibudda’waat.

Allahummaghfirlanaa warhamnaa wa’fuannaa wa laa tu’adzibnaa. Rabbanaa zholamnaa anfusanaa wa in lam taghfirlanaa watarhamnaa la nakunannaa minal khoosiriin.

Allahumma innaka ‘afuwwun kariimun tuhibbul ‘afwa fa’fuannaa. Allahummansuril mustadhafina fi masyariqil ardhi wa magharibiha. Allahumma ‘alaika bi adaika adaaddin. Allahumma ahliki dzalimina bidzdhalimin, wa akhrijna wa ikhwanana min bainihim salimin.

‘Ibadallah innallaha ya’muru bil adli wal ihsan, wa itaidzil qurba wa yanha ‘anil fahsya-i wal munkar wal baghyi, ya-idzukum la’allakum tadzakkarun fadzkurullaha yadzkurun wasykuruhu ‘ala ni’mai yazid lakum, waladzikrullahi akbar allahu ya’lamu ma tasnaun, wa aqimis shalah.

English Transcript: https://islamsubtitle.wordpress.com/2017/12/07/anger-management

2 thoughts on “[Transkrip Indonesia] Mengendalikan Amarah – Omar Suleiman

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s