Yahdi qalbahu. Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Kalimat itu terus terngiang-ngiang di kepalaku setelah mendengar khutbah ustadz Nouman Ali Khan tentang Facing Calamity with Iman. Menghadapi Musibah dengan Iman. Seperti baru saja menemukan satu potongan puzzle yang kucari-cari selama ini, tentang mengapa ada orang-orang tertentu yang begitu cool menghadapi musibah yang sepertinya telah memporak-porandakan diri dan hidupnya. Maklumlah diriku suka sesuatu yang berkaitan dengan human emotion yang tergambar dalam ekspresi wajah, apakah itu ekspresi kebahagiaan, kesedihan, keikhlasan, dan teman-temannya.
Maka jika ada orang mukmin yang tetap tersenyum ikhlas di tengah-tengah musibah yang dialaminya, terkadang kita (baca : aku) akan berkata betapa sabarnya dia, padahal kita tidak tahu barangkali Allah telah memberikan petunjuk kepada hatinya ke jalan yang benar, jalan yang mengantarkan kedekatan kepada Allah sehingga hati dan pikirannya begitu tenang terpancar di wajahnya yang terlihat adem di tengah-tengah badai itu.
Bicara soal musibah, sang ustadz (ustadz NAK) lagi-lagi meniliknya dari sudut pandang linguistik, tentu saja dimulai dengan arti kata musibah itu sendiri. Musibah berasal dari bahasa arab asabah yang artinya tepat mengenai sasaran/to correctly hit a target. Alih-alih menggunakan kata lain seperti karisa yang artinya juga sama dengan musibah yaitu tragedi atau hal buruk yang terjadi.
Quran secara strategis lebih memilih kata musibah yang merujuk bahwa hal apapun yang menyerang, serangannya akan tepat mengenai target, tepat waktu dan tidak akan salah sasaran (orang).
Maka musibah apapun yang terjadi pada manusia bukanlah sesuatu hal yang sengaja terjadi, karena sejatinya ia adalah sesuatu yang dirancang untuk secara tepat mengenai target. Dan kehidupan manusia di dunia dipenuhi olehnya apakah itu dalam skala besar ataupun kecil.
Kalimat-kalimat pengantar dari ustadz NAK langsung bikin manggut-manggut, paling tidak bisa mempertajam perspektifku terhadap musibah. Sebelumnya sudah punya informasi yang hampir sama, tapi rasanya tidak sedetil ini. Semoga dengannya bisa menurunkan secara drastis indeks keluh kesahku menghadapi masalah hidup. eeaaaaa hehe
Poin pentingnya adalah bagaimana peran iman kepada Allah membantu kita menghadapi musibah (masalah, kesulitan, bencana, dll) yang bermacam-macam jenisnya itu apakah yang mempengaruhi kita secara fisikal ataupun emosional. Selanjutnya sejauh mana kemampuan kita menghadapinya dan bagaimana seharusnya seorang yang beriman itu merespon si musibah ini didetik pertama datangnya.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, terlebih dulu kita harus memisahkan dua macam musibah: (1) musibah yang di luar kontrol kita; dan (2) musibah yang terjadi karena akibat dari perbuatan kita. Quran mengajarkan kita untuk seimbang mencermati mana musibah yang dari Allah dan mana yang akibat dari perbuatan kita sendiri. Berkaitan dengan sebab akibat, situasi buruk (baca:musibah) yang berkaitan dengan physical world/situasi nyata yang dapat dilihat akan mudah bagi kita untuk menilai mana yang dari Allah dan mana yang akibat kesalahan kita.
Ustadz NAK mencontohkan, misalnya seseorang dalam hidupnya selalu makan junk food, jika suatu saat dia menderita diabetes, maka dengan yakin kita bisa mengatakan bahwa musibah sakit yang dia alami adalah karena kesalahannya sendiri. Akan berbeda halnya jika berkaitan dengan moral world, mencermati musibah dalam sudut pandang moral agak sulit bagi kita untuk menilainya apakah dari Allah atau kesalahan kita sendiri.
Contohnya jika seseorang sangat telat sholat subuhnya, lalu di hari yang sama dia gagal dalam wawancara kerja, maka bisa jadi orang tersebut beranggapan kegagalan wawancaranya dikarenakan dia telat subuhnya. Menurut ustad NAK jawaban atau ketentuan dari anggapan tersebut bisa jadi benar dan bisa jadi pula tidak benar. Dan tidak ada seorangpun baik orang tersebut maupun orang lain yang tahu dengan pasti apakah anggapan itu benar atau salah. Tapi ada satu hal yang dapat menolong kita menghadapi anggapan atau prasangka itu, bahwa Allah mengatakan Aku adalah sesuai prasangka hambaKU.
Ini berkaitan dengan sikap kita kepada Allah, jika orang itu beranggapan Allah membalas telat subuhnya dengan kegagalan wawancaranya, maka Allah akan mengikuti persangkaan orang itu. Yang menarik adalah pernyataan ustad yang mengatakan tugas kita ketika berbuat salah adalah istigfar dan memperbaiki diri bukan menunggu balasan dari Allah.
Sayangnya terkadang kita menggunakan hal buruk yang terjadi pada diri kita ataupun orang lain untuk menghakimi bahwa Allah sedang memberikan hukuman, bahwa Allah tidak akan mengampuni, padahal itu bukan wewenang kita. Ini membuatku sadar bahwa jika ada seseorang sedang berada disituasi yang buruk tapi disaat yang sama pula dia merasa kedekatan yang tidak pernah dirasakan sebelumnya dengan Allah, maka bukankah saat-saat itu adalah saat Allah sedang membelainya, menyayanginya? Maka siapakah kita yang berani-beraninya menghakimi?
Salah satu kalimat ustadz NAK yang mencerahkan adalah kita harus punya kedekatan dengan Allah bahwa ketika Dia punya rencana untuk kita walaupun itu menyakitkan Dia melakukannya semata-mata karena cinta kepada hambaNya. Jika kita punya sikap tersebut maka Allah akan memberikan petunjuknya disaat-saat sulit itu. Allah berfirman dalam surat At-Taghaabun 64:11 “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Terkadang apa yang Allah berikan saat kita percaya padaNya adalah bukan menghilangkan masalah kita, karena dalam hidup masalah tidak akan pernah pergi, para rasul dan nabi yang iman dan kedekatannya dengan Allah tidak perlu dipertanyakan lagi pun tetap punya masalah, tetap mengalami musibah.
Maka kiranya apa yang Allah akan berikan kepada kita jika dalam situasi sulit itu kita tetap menjaga cinta, kepercayaan dan kedekatan kepadaNya, Allah menjanjikan yahdi qalbahu, memberikan petunjuk kepada hatinya. Dan petunjuk kepada hati ini seperti hadiah yang tidak ternilai harganya, tidak dapat tergantikan dengan apapun. Petunjuk kepada hati ini adalah hadiah dari iman kita, dan sejatinya ia adalah hadiah dari musibah yang kita sikapi dengan iman itu sendiri.
Iman kita bahwa Allah adalah Ar-Rahman disaat-saat sulit ini yang menuntun hati kita kepada petunjukNya. Sudah seyogyanya aku tidak lagi heran melihat orang yang penuh iman di hatinya tetap cool di tengah terpaan badai kehidupan. Dan semoga kita semua termasuk orang-orang yang bisa mendaur ulang musibah menjadi petunjukNya. Aamiin.
Link Video: