Bersama putri Nabi Syu’aib Alaihi as-salam (As) yang dinikahinya, Nabi Musa Alaihi as-salam (As) masih terus berjalan menyusuri hamparan sahara. Iya, yang terbentang itu hanya sekumpulan bukit-bukit pasir yang memenuhi perjalanan antara Madyan dan Mesir. Sebelumnya, oleh Syu’aib, sang mertua, Musa dipesan untuk pulang kembali ke negeri Kinanah tersebut.
“Tunggu, tinggallah dulu di sini,” tiba-tiba Musa berseru di tengah keheningan malam. Rupanya ia melihat ada cahaya api memendar di atas bukit. Saat itu malam bertambah pekat. Namun mereka berdua memilih terus berjalan kaki membelah belantara gulita.
“Hai Musa, sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu,” sontak Musa terkejut bukan kepalang. Terdengar suara yang sangat jelas. Padahal ia yakin tak ada siapa-siapa di sekelilingnya. Hanya pekatnya malam yang tersisa di hadapan Musa. Anehnya, suara tersebut langsung mengenali dirinya. Bahkan menyebut nama “Musa” dengan sempurna. Sesuatu yang tak pernah dikira oleh Musa. Awalnya ia hanya butuh api untuk penerangan sekaligus penghangat udara malam yang kian menggigit.
“Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu.” Belum reda kekagetan Musa. Tiba-tiba, suara itu memperkenalkan diri-Nya sebagai Tuhan. Tak cuma itu, suara itu langsung memberi titah. Lepas alas kakimu. Ini adalah tempat yang suci. Demikian tegas perintah itu. Ajaib. Mungkin hanya kata itu yang bisa melukis sosok Musa. Pemuda Bani Israil yang kelak diangkat menjadi Nabi berpredikat Ulil Azmi tersebut. Musa adalah manusia pilihan Allah. Sosok pemimpin teladan yang taat syariat dengan sepenuh hati. Sosok hamba yang mengabdi kepada Rabbnya tanpa ada syarat apapun dan sedikitpun. Lihat saja, apa yang terjadi saat Musa tahu dan meyakini bahwa itu adalah titah Allah. Seketika dirinya langsung tunduk luruh di hadapan Penciptanya. Bahkan, dengan kisah di atas, nyaris Musa merasa tak perlu lagi bertanya apa-apa, apalagi hingga menego perintah tersebut.
“Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku.” (QS. Thaha [20]: 14).
Ayat di atas sebagai pamungkas dari rangkaian dialog Nabi Musa dengan Sang Khaliq. Sebuah perintah yang bersifat mutlak kepada setiap hamba. Sebab terkadang ada sebagian manusia yang lupa, apa yang menjadi tujuan hidupnya. Ada juga sebagian yang merasa ingat (saja), tapi ternyata ia tetap enggan untuk menunaikan kewajibannya.
Jauh api dari panggang. Mungkin ungkapan itu bisa mewakili diri dan perasaanku. Sebab kisah di atas tak henti menyesaki pikiranku sejak menyaksikan video tersebut. Meski dengan bantuan subtitle (terjemah bahasa Indonesia), bisa dikata Nouman Ali Khan (NAK) sanggup meruntuhkan benteng kesombonganku selama ini.
Iya, tak jarang aku pun mengaku sudah menjalankan agama dengan baik. Shalat, puasa, zakat, dan sejumlah perintah lainnya sudah kulakukan. Pun demikian dengan berbagai larangan lainnya, aku merasa juga sudah menjahinya dan berusaha tidak melanggarnya. Namun ketaatan tanpa syarat Nabi Musa di kisah di atas benar-benar sesuatu yang luar biasa, menurutku. Apalagi NAK menjelaskan kisah tersebut dengan detail, lengkap dengan kondisi sekitar yang menyertai peristiwa tersebut.
Sungguh, bagiku ini adalah pelajaran yang sangat berharga. Bahwa orang beriman tak boleh angkuh apalagi hingga meremehkan orang lain, hanya karena ia memiliki sesuatu. Sebab itu adalah awal dari petaka yang menyengsarakan hidupnya kelak. Sebaliknya, kisah Nabi Musa juga mengajarkan sesuatu yang prinsip bagi orang beriman. Yaitu keselamatan dan kebahagiaan hidup hanya bisa diraih denga modal keimanan dan ketaatan kepada Allah. Iman yang produktif adalah iman yang menggerakkan kepada kebaikan dan amal shaleh. Bagi orang beriman, iman adalah segalanya. Ia harus didahulukan daripada akal atau nalar pikiran manusia. Iman harus dimenangkan dalam setiap pertarungan dan pergolakan masalah. Apalagi jika ia berhadapan dengan hawa nafsu manusia.
Kini, bulan mulia Ramadhan tinggal menghitung hari. Setidaknya kembali terselip asa penuh harap dalam diri ini, semoga Allah masih berkenan meneteskan secuil rahmat dan maghfirah-Nya di hari-hari penuh berkah itu. Semoga kita semua mampu meraih ampunan dan predikat takwa di bulan Ramadhan ini.
Penulis: Abu Jaulah