Resume Kajian: Muslimah Sukses Tanpa Stres


Kulwap Grup Nouman Ali Khan Indonesia Rabu, 15 Maret 2017

Pemateri: Bu Erma Pawitasari
Moderator: Mba Nifah

Bu Erma Pawitasari:

Assalamu’alaykum wr wb. Perkenalkan nama saya Erma Pawitasari, baru berhasil menerbitkan 1 buku. Judulnya “Muslimah Sukses Tanpa Stres”.

Sebenarnya ini buku fiqh keluarga. Tapi saya bahas dari masalah-masalah modern. Mengapa judulnya tentang muslimah dan rasa stres? Ini berangkat dari sebuah pertanyaan: Mengapa kaum muslimah rentan stres?

Jawabannya adalah pemahaman Islam yang salah tentang hak dan kewajiban muslimah. “Islam Memuliakan Wanita” baru menjadi slogan indah, namun masih sering kosong dalam aplikasinya.

Contohnya apa? Kata Islam, perempuan tidak wajib mencari nafkah tetapi dalam banyak kondisi, perempuan dipaksa mencari nafkah. Para janda harus menghidupi anak-anak yatim peninggalan suaminya. Bila tidak memiliki pengalaman karir atau skill bekerja di luar, bagaimana mereka bisa “survive”?

Islam memberi hak waris anak perempuan setengah bagian anak laki-laki karena si anak laki-laki berkewajiban menanggung hidup saudara perempuannya. Tapi apakah kewajiban ini telah dijalankan para saudara laki-laki seimbang dengan hak yang Islam berikan kepada mereka?

Islam mewajibkan perempuan menikah dengan ijin wali karena wali-lah yang bertanggung jawab atas hidupnya. Tapi faktanya, para wali hanya menjadi wali pajangan, yang terpaksa dicari sekedar mengesahkan pernikahan. Fakta yang berkembang dalam masyarakat kita mendorong wanita menjadi Super Woman. Ketika wanita sudah menjadi makhluk super, apakah mudah baginya untuk menerima ayat:

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ

Sesuatu yang seharusnya merupakan fitrah wanita, menjadi sulit diterapkan lantaran sejak kecil wanita dididik untuk keluar dari fitrahnya, untuk menjadi makhluk super dan bangga menyandang titel super.

Agar kulwap ini lebih hidup, baiknya lebih banyak diskusi ya. Nah, menurut sahabat-sahabat di sini, apa problematika para muslimah dan/atau apa yang menyebabkan banyak muslimah merasa tertekan/terbeban.

Tanggapan Audiens

Mba Nifah:

Silahkan bu dijawab dulu pertanyaan-pertanyaan dari teman-teman. Jika sudah dijawab tolong kasih tanda✅

Bu Erma:

Oke

Ada pengaruh sejarah juga. Untuk lebih memahami, silakan pelajari tentang sejarah feminisme. Di bab I buku saya, saya tulis beberapa contohnya secara sekilas.

Menanggapi Pertanyaan Mba Anis:

Kalau saya pernah punya teman-teman yang memilih berkarir, karena lebih kepada misal perempuan ini anak pertama di keluarga. Adiknya masih membutuhkan biaya sekolah, kondisi orang tuanya yang sudah tua. Sehingga perempuan ini memilih bekerja, gitu bu….

Ini benar sekali. Faktanya masih banyak terjadi. Ketika ada “tekanan” bagi orang tua untuk memberikan pendidikan yang setara kepada anak perempuan–agar tidak disebut “pilih kasih”–secara tidak sengaja orang tua menaruh harapan yang sama kepada anak perempuan.

Menyekolahkan = keluar biaya banyak = mengharapkan timbal balik berupa sang anak berkarir agar dapat membantu orang tuanya.

Fakta ini terjadi karena ada beberapa sisi syariat yang tidak dijalankan.

Apa saja itu?

1. Sistem pendidikan sekolah yang tidak menyiapkan anak laki-laki untuk mandiri dan bertanggung jawab ketika ia mencapai usia akil baligh. Laki-laki usia 20-an tahun masih diperlakukan seperti anak-anak, biaya kuliah pun kadang masih ditanggung ibunya atau saudara perempuannya yang lebih tua.

2. Putusnya silaturahmi. Islam dengan tegas mewajibkan umatnya untuk menyambung silaturahmi, tetapi silaturahmi ini dipahami secara salah, menjadi silaturahmi dengan teman, tetangga, guru, dan sebagainya. Padahal di dalam hukum silaturahmi itu terkandung hukum nafkah kepada kerabat. Keluarga tadi, akhirnya membebankan biaya hidupnya kepada anak perempuan, lantaran kerabat laki-laki lainnya tidak merasa adanya kewajiban untuk menafkahi anggota “bani-bani” yang menjadi tanggungannya.

3. Para ayah/saudara laki-laki/kerabat laki-laki kurang memahami keutamaan menafkahi anak/saudara perempuannya.

Tentang nomor 3 itu saya bahas dalam Bab 2 di buku saya.

مَنْ كَانَ لَهُ ثَلاَثُ بَنَاتٍ أَوْ ثَلاَثُ أَخَوَاتٍ أَوِ ابْنَتَانِ أَوْ أُخْتَانِ فَأَحْسَنَ صُحْبَتَهُنَّ وَاتَّقَى اللَّهَ فِيهِنَّ فَلَهُ الْجَنَّةُ

“Barangsiapa memiliki tiga anak perempuan atau tiga saudara perempuan, atau dua anak perempuan, atau dua saudara perempuan, dan ia menjaga mereka dengan baik dan takut kepada Allah tentang urusan mereka, maka tempat mereka adalah surga.” [HR. Jami` at-Tirmidhi 1916]

Tetang nomor 2 saya bahas di buku saya bab “Kematian Persaudaraan” (lupa bab ke-brp).

Menanggapi Komentar Rahmi:

Mmmm kalau yang saya rasa peran laki-laki nya kurang.. Yang saya perhatikan selama ini, kurangnya inisiatif dari laki-laki, leadershipnya lemah, sehingga bikin perempuan geregetan terus perempuan ngerjain segala-segala sendiri, terus laki-laki merasa ga dibutuhkan karena perannya udah dikerjain semua. Tapi kalau masing-masing sama-sama belajar perannya dan kodratnya seperti apa mungkin hal-hal seperti itu bisa diatasi. #cmiiw

Saya juga setuju dengan poin ini.

Dari sisi perempuan, apa yang bs dilakukan?

1. Step down… turun dari jabatan kepemimpinannya. Belajar ridlo untuk dipimpin. Bila suami ingin beli rumah model A, Istri jangan ngambek karena ingin model B. Tanamkan dalam diri bahwa ini adalah rumah suami, maka suamilah berhak memilih modelnya. Bila istri ingin punya rumah sesuai keinginannya, beli rumah sendiri. Bagaimana istri bisa punya harta untuk beli rumah sendiri? Islam sudah memberikan jalan keluar tanpa perempuan keluar dari fitrahnya. Ada di bahasan “nafkah istri”, “hak mahar”, maupun “gaji istri dari pekerjaan di luar rumah.”

2. Mendorong suaminya untuk lebih berperan. Misal: selalu minta ijin bila akan keluar rumah, selalu membiasakan anak-anak meminta ijin kepada ayahnya, BUKAN ibunya.

3. Bersabar dan rileks bila suami belum mengambil alih kepemimpinan secepat yang kita inginkan. Poin rileks ini penting. Banyak wanita yang stres ketika suaminya tidak mau mendidik anak. Padahal di akhirat nanti si suami lho yang akan diadili Allah tentang anak-anaknya. Sebenarnya para ibu tidak perlu stres. Kewajiban Allah kepada kita hanya membantu suami, taat kepada pemimpin.

Menanggapi Komentar Mas Halim:

Kadang ada istilah dalam masyarakat ‘perempuan itu gak boleh terlalu tergantung secara finansial kepada suami.’

Yup, ini memberi pengaruh besar kepada cara berpikir masyarakat kita yang salah.

Dalam tulisan saya di Republika berjudul “Biarkan Perempuan Berlari Seperti Perempuan” saya sampaikan poin ini.

Manusia bingung dengan identitas gendernya, bahkan menggugat Tuhan salah memilihkan jenis kelamin. Kaum transgender dibuat bangga dengan organ palsunya, yang tak mampu memproduksi ASI maupun sperma. Kaum perempuan dibuat ragu untuk menjalani perannya sebagai perempuan.

Perempuan yang patuh dianggap lemah. Perempuan yang meminta nafkah disebut manja. Perempuan dituntut untuk mandiri, ikut menanggung ekonomi. Pendidikan perempuan diarahkan untuk mengambil tugas ekonomi laki-laki dan menjauhkan dari tugas sebagai istri dan ibu [Agency for International Development, 2000].

Kaum laki-laki terbuai hingga melupakan tanggung jawabnya sebagai qowwam ‘ala an-nisa’ (pelindung kaum perempuan). Ikan dipaksa terbang, melupakan kodratnya untuk berenang. Sepandai-pandainya ikan terbang (flying fish), air tetaplah habitatnya. Ia tidak benar-benar terbang. Ia hanya meloncat sekuat tenaga.

Menanggapi Pertanyaan Rahmi:

Banyaknya pelatihan dengan tema ‘wanita juga bisa berkarya’, mungkinkah?

Sebenarnya pelatihan ini bagus, sayangnya memaknai “karya” itu yang salah. “Karya” dipahami sebagai tambahan nilai ekonomi dalam keluarga. Seperti tadi sempat saya sebutkan, Islam telah mengatur cara wanita utk mendapatkan harta tanpa harus bekerja di luar rumah.

Tapi harus dipahami bahwa “wanita mendapatkan harta” itu tidak identik dengan bertambahnya harta suami-istri, sebab menurut Islam, harta suami dan istri itu terpisah, bukan seperti sistem gono-gini.

Menanggapi Komentar Mba Nifah:

Iyaa,, dulu saya jg punya pikiran begini saya harus kerja atau punya usaha, tidak boleh tergantung pada suami jika suami dipanggil sama Allah duluan, setidaknya sudah siap.

Tekanan bagi istri untuk siap menafkahi anak-anaknya jika suaminya meninggal juga merupakan salah satu kesalahan terbesar yang merusak sistem keluarga kita.

Menanggapi Pertanyaan Mba Nifah:

Bagaimana mendidik anak wanita jaman sekarang agar tak keluar dari fitrahnya?

Mendudukkan pada tempatnya dan membuatnya bangga menjadi perempuan/muslimah. Misalnya:

1. Sang ibu harus menjadi teladan bagaimana merasa bangga, bahagia, ridlo, dan cinta kepada syariat Allah.

2. Ayah harus menunjukkan kepemimpinannya, yakni memberikan pengayoman dan rasa tentram kpd sang anak perempuan.

3. Saudara-saudara laki-lakinya (yakni anak-anak laki) selalu diingatkan tentang kewajibannya menjadi saudara perempuan, di depan si anak perempuan sehingga menimbulkan rasa tenang dan tentram sebagai perempuan muslimah.

4. Ceritakan sebanyak-banyaknya tentang keindahan, hikmah, dan keistimewaan yang diberikan Islam kepada anak perempuan sehingga ia bangga menjadi muslimah dan ridlo menjalankan syariat Allah.

Menanggapi Pertanyaan Mas Andri:

Kalau punya saudara perempuan, tapi dianya sendiri yg ingin hidup mandiri, sebagai saudara laki2 sebaiknya bersikap bagaimana ya bu?

Sebagai saudara laki-laki harus tetap menjalankan kewajibannya. Dulukan kewajiban sebelum hak, sebelum ingin ikut mengatur hidupnya.

Misalnya tetap kirim nafkah adik/kakak perempuan tersebut. Bila tetap menolak, beri hadiah-hadiah. Bawakan makanan, belikan baju, dan lain-lain. Masak iya, menolak? Kecuali bila belum-belum si saudara laki-laki ingin mengatur hidup saudari perempuannya… di sini biasanya ada resistensi (pada awalnya, karena si saudari perempuan sudah terbiasa mandiri). Dulukan kewajiban sebelum hak, itu kuncinya.

Menanggapi Pertanyaan Rahmi:

Mmm bu, apa faktor ini juga yang memicu banyaknya pemuda pemudi yang belum menikah?

Nah ini juga saya bahas di buku saya. Di beberapa bab, antara lain: Bab Jalan Mencari Jodoh, Bab Ayahku Pelindungku, dan Bab Wali vs Wali Pajangan.

Juga di Bab Poligami Tanpa Galau, Bab Janda atau Perawan, Bab Bila Harus Berpisah… nah lho… merata di mana-mana 😄

Menanggapi Komentar Mba Dewi:

Setuju, sedikit tambahan, wanita bekerja atas izin suaminya.

Benar tapi tidak 100%. Bila pekerjaan si wanita tersebut masuk kategori fardlu kifayah, maka haram bagi suami/ayah/wali untuk melarangnya dan si wanita tidak wajib mentaati perintah yang haram tersebut. Ini saya bahas di sub bab “Hukum Bekerja Bagi Perempuan”.

Kecuali apabila ada perempuan lain yang bisa menggantikan pekerjaan fardlu kifayah tersebut. Misal ada bayi hendak lahir. Bidan terdekat dilarang suaminya. Bila ada bidan lain yang bisa menggantikan, maka ia wajib taat kepada sang suami. Tapi bila tidak ada bidan lain yang bisa menggantikan, dosa bagi si suami melarang istrinya menolong persalinan tersebut, dan tidak wajib bagi istri untuk mentaati suaminya.

Mba Nifah:

Alhamdulillah kulwap bareng bu Erma sudah selesai. Jazakillah khairan katsiran bu Erma atas ilmu dan waktunya untuk berbagi di sini. Mohon dimaafkan jika ada kesalahan ya bu.

Wassalamu’alaikum..

Resume Bloghttps://nakindonesia.wordpress.com/2017/03/22/muslimah-sukses-tanpa-stres
Donasi: https://kitabisa.com/nakindonesia

2 thoughts on “Resume Kajian: Muslimah Sukses Tanpa Stres

  1. Assalamualaikum

    Dan kedua jika ingin membeli Buku Muslimah sukses tanpa stress sy harus menghubungi siapa? (Sy memcari via Toko Buku online Namun sampai skrg tdk menemukan Buku tsb.)

    Terima kasih

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s