Jika Allah Memiliki Anak
“Al-hamdu lillaahilladzii anzala ‘alaa ‘abdihil-kitaaba.” (QS. Al-Kahfi ayat 1)
Sekarang… kenapa dia? Sengaja saya letakkan ayat yang membingungkan ini di sini meski kita takkan bisa menyelesaikannya hari ini. Saya kira kita bisa selesai hari ini, ternyata saya keliru. Tidak masalah… kecepatan kita sudah cukup pas. Saya senang meski kalian tidak senang… ok.
Mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Akan saya selesaikan satu konsep ini yang sangat hebat. Salah satu manfaat dari… mengapa hamba yang ini? Mengapa di tengah-tengah Arabia? Mengapa di tengah-tengah gurun? Ada imperium Romawi yang memiliki sejarah filosofi, mereka punya imperium. Ada bangsa Persia yang puitis, dengan sejarahnya yang panjang. Mengapa tak ada rasul di antara mereka?
Kaum Quraisy berkata, baiklah jika memang dipilih satu dari kami, “Lau laa nuzzila haadzal-qur’aanu ‘alaa rojulin minal-qoryataini ‘azhiim.” (QS. Az-Zukhruf ayat 31)
Mengapa tak ada selebritas dari dua kota. Makkah dan Thaif adalah dua kota yang besar, kami punya banyak milyarder. Jika dipilih salah satu dari mereka, selebritas terkenal tersebut dan dijadikan seorang nabi, setiap orang sudah selalu mendengarkan mereka. Mengapa tidak memilih satu dari mereka? Mengapa di sini?
Di atas semua itu kami punya Yahudi yang memiliki sejarah nabi-nabi dengan banyaknya catatan sejarah, lagi pula mereka sedang menunggu seorang nabi. Mengapa tidak memberi mereka seorang nabi? Quraisy sama sekali tidak menunggu seorang nabi. Mereka tidak sedang menyongsong kedatangan seorang nabi, tapi Yahudi iya.
Mereka berdoa untuk itu; “Wa kaanu min qoblu yastaftihuuna ‘allalladziina kaafaru.” (QS. Al-Baqarah ayat 89)
Jika mereka kalah perang dari Quraisy mereka menakut-nakutinya dengan berkata; tunggu saja, Nabi kami sebentar lagi datang. Saat dia datang….hohoho kami akan mengalahkanmu. Kamu mungkin mengalahkan kami sekarang, tapi…. Dia akan datang, semua tanda-tandanya sudah terlihat. Ini cukup ironis bukan? Karena semua pertanda ada di sana.
Dan dia datang, “Fa lammaa jaaa’ahum maa ‘arofuu kafaruu bihii.” (QS. Al-Baqarah ayat 89)
Saat apa yang sangat mereka ketahui itu datang, mereka menyangkalnya, mereka menolaknya.
Hamba Terbaik
Sekarang dengar, mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Kalian bisa menjawab dengan; Allah memilih sekehendakNya… dan saya setuju.
“Alloohu yashthofii minal-malaaa’ikati rusulan wa minan-naas.” (QS. Al-Hajj ayat 75)
Allah memiliki kebijaksanaanNya sendiri dalam memilih. Malaikat yang mana yang menjadi utusan dan manusia yang mana yang menjadi utusan? Tapi ada satu tempat di dalam Al-Qur’an, satu tempat yang tidak biasa dalam Al-Quran di mana Allah memberi kita alasan rasional mengapa Dia memilih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan itulah ayat yang ingin saya yang ingin saya jelaskan pada kalian; “Qul in kaana lir-rohmaani waladun fa ana awwalul-‘aabidiin.” (QS. Az-Zukhruf ayat 81)
Sebuah tempat yang tidak terduga sebenarnya.
Sungguh ayat ini selayaknya suatu misteri filosofis…. Arti sekedarnya dari ayat ini adalah; “Katakan! Jika Ar Rahman memiliki anak maka akulah yang pertama akan menyembahnya.”
Saya ulangi; “Katakan! Jika Ar Rahman memiliki anak, maka akulah yang pertama menyembahnya.”
Benarkah? Itu ada di dalam Al-Quran? Ya, itu terjemahan jeleknya. Mari kita pelajari hal ini. Jika memang kenyataannya Yang Maha Pengasih dan Penyayang memiliki anak, maka Dia tidak berkata; “Fa ana awwalu-‘aabidin.” (QS. Az-Zukhruf ayat 81)
Seperti ayat mengatakan, “Wa laa takuunuuu awwala kaafirin bihii.” (QS. Al-Baqarah ayat 41)
Jangan menjadi yang pertama yang tidak percaya.
Terjemahan yang baik dari “awwala kaafirin” adalah jangan menjadi yang pertama yang tidak percaya. Jika kalian ingin menerjemahkan “aku akan menjadi yang pertama menyembah,” bagaimana mengatakannya dalam bahasa Arab?
“Fa ana awwalu-‘aabidin,” akulah yang pertama menyembahnya, tapi bukan itu yang dikatakanNya. Hanya karena melihat kata “awwal” lalu kalian langsung menyimpulkan “aku yang pertama menyembah,” tidak…
“Awwalul-‘aabidiin” sebenarnya berarti dan dari semua makhluk, manusia yang pernah menyembah, semua makhluk yang pernah menyembah, akulah yang paling baik di antara mereka.
Dari semua manusia, malaikat dan jin yang pernah menyembah, menyembah siapapun atau apapun, tak seorang pun pernah melakukan sembahan yang lebih baik daripada aku sendiri.
Bukankah ini terdengar seperti pernyataan berbangga diri? Akulah penyembah terbaik dari semua yang ada. Jujur saja… bukankah itu terdengar seperti pernyataan berbangga diri? Ya, karenanya Allah tidak membuat pernyataan ini secara langsung, Dia berkata, “Qul,” kamu katakan ini kepada mereka…
Karena kamu takkan sanggup mengatakannya, Aku harus memerintahkanmu untuk mengatakannya, Aku harus memerintahkanmu untuk mengatakannya. Dia (Rasulullah) benar-benar seorang hamba yang luar biasa sehingga tak mampu mengatakan hal itu.
Jadi inti dari ayat ini adalah; jika Ar Rahman memiliki anak, jika Ar Rahman punya “walad,” apakah kamu yang lebih dulu tahu atau aku? Padahal tak seorang pun yang beribadah melebihi ibadahku, tak seorang pun beribadah lebih dari aku. Allah memilih yang paling berkualitas dari semua “‘ibaad”-Nya untuk menjadi hambaNya. Dia (Rasulullah) akan menjadi epidemi (penyebar) bagaimana sesungguhnya menjadi hamba Allah itu.
Sebenarnya kata hamba mulai dari sini akan didefinisikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karenanya kata “‘abd” atau hamba. Bisa dikatakan sebagai istilah yang menghina. Namun begitu istilah itu digunakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menggambarkan eratnya hubungan yang bisa dimilikinya.
Seperti yang dikatakan Ibn ‘Asyur; “Littaqribi lirabbihi.”
Untuk menjadikannya dekat dengan Rabb-nya maka dia menggunakan kata “‘abd”. Karena ketika seorang Tuan memerintahkan Aku butuh ini itu, siapa yang akan melayani? Hamba sahayanya. Tapi jika seorang Tuan punya satu hamba yang selalu melayani, maka yang pertama mendengar perintah Tuannya adalah? Hamba tersebut.
Jadi mereka punya hubungan yang sangat erat. Jadi untuk menggambarkan tak seorang pun lebih dekat kepada Allah dari aku, maka jika kamu akan mengatakan sesuatu tentang Allah, pertama sadari dulu siapa dirimu dan dengan siapa kamu bicara. Akulah (Rasulullah) yang pertama akan mengetahuinya.
Jadi ayat ini mengatakan; kamu tidak berhak untuk mengatakan sesuatu tentang Allah. Kamu katakan Ar Rahman punya anak? Siapa kamu? Kualifikasi apa yang kamu miliki?
Katakan pada mereka, aku adalah “awwalul ‘aabidiin”. Tantang mereka, mari kita lihat apakah mereka bisa menyembah melebihimu. Mari kita lihat apakah mereka bisa memperlihatkan bahwa mereka beribadah lebih banyak darimu.
“Ana awwalul ‘aabidiin.”
Ingatlah hal itu saat kalian memahami “Al-hamdu lillaahilladzii anzala ‘alaa ‘abdihii.” (QS. Al-Kahfi ayat 1)
Segala puji dan syukur adalah milik Allah yang telah menurunkan atas hambaNya. Karena tujuan buku ini diturunkan bukanlah untuk mengajarimu filsafat, bukan mengajari berdebat, bukan memberi rumus matematika atau apapun.
Tujuan buku ini adalah untuk menunjukkan kepadamu apa artinya menjadi “‘abd” (hamba) Allah. Ini adalah risalah terakhir dari Allah kepada manusia. “Risalaati Rabbi,” demikian mereka menyebut Al-Qur’an. Risalah terakhir ini tidak bisa hanya sekedar teori, tapi harus dipertunjukkan.
Apa yang terjadi jika seseorang benar-benar memahami buku ini? Mereka akan benar-benar menjadi seorang “‘abd” (hamba). Jadi “Al-hamdu lillaahilladzii anzala ‘alaa ‘abdihii.” (QS. Al-Kahfi ayat 1)
Semua hal ini terangkum di dalam; bagaimana buku ini harus diberikan kepada hamba terbaik. Sungguh saya tak tahu bagaimana menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris kecuali mengatakan segala puji dan syukur adalah milik Allah yang menurunkan buku ini sebagai hadiah yang luar biasa, memperkenankannya untuk tinggal sebagai tamu di dalam dada hambaNya yang terbaik.
“‘Alaa ‘abdihii… al-kitaab.”
[…] —— Transkrip: https://nakindonesia.wordpress.com/2017/02/06/surah-al-kahfi-bila-allah-memiliki-anak […]
LikeLike