A’uudzu billahi minasy-syaithonir-rojiim, bismillaahir-rohmaanir-rohiim.
“Innaa fatahnaa laka fat-han mubiinaa.” (QS Al Fath ayat 1)
“Liyaghfiro lakallohu maa taqoddama min dzambika wa maa ta’akhkhoro, wa yutimma ni’matahuu ‘alaika wa yahdiyaka shiroothon mustaqiimaa.” (QS Al Fath ayat 2)
“Wa yanshurokallohu nashron ‘aziizaa.” (QS Al Fath ayat 3)
Robbisyroh lii shodrii, wa yassir lii amrii, wahlul uqdatan min lisaanii, yafqohuu qoulii. Falhamdulillaah wash-shalatu was-sallaamu ‘alaa Rasuulillaah, wa ‘alaa aalihi wa shahbihi ajma’iin. Tsumma ‘amma ba’du.
Sekali lagi semua, assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya punya tugas yang berat di hadapan saya, berharap hari ini Anda mengenal surat Al Fath, surat ke-48 dari Qur’an. Bukan surat yang panjang, tapi sangat dalam, dan surat yang cukup berbeda dari yang lain, yang memiliki banyak sekali implikasi.
Saya menghabiskan hampir tiga perempat tahun untuk memahami surat ini, karena surat ini cukup berat menurut hemat saya. Berat dalam arti tak hanya memahami maknanya yang dalam, tapi juga bagaimana mengaitkannya dengan cara kita memandang dunia saat ini.
Islam banyak diperbincangkan dengan cara yang berbeda oleh orang yang berbeda. Dan hubungan kita dengan diri sendiri sebagai umat dan dengan dunia di luar kita selalu diadu dan ditantang. Ini adalah salah satu surat yang menjawab beberapa pertanyaan mendasar tentang apa Islam itu. Apa makna perjuangan Islam, apa tujuan dari umat, dengan cara yang paling komprehensif, jika bisa disebut demikian.
Surat ini disebut Fath, yang berarti pembukaan atau kemenangan dalam bahasa Arab. Ini terinspirasi dari ayat pertama surat ini, “Innaa fatahnaa laka fat-han mubiinaa.” (QS Al Fath ayat 1)
Kami, tidak diragukan lagi, telah menganugerahimu sebuah kemenangan yang tegas dan nyata, sebuah kemenangan yang menjelaskan semua hal. Kata “mubiin” ini sangat indah karena tak hanya berarti sesuatu yang terang, tapi juga menjelaskan. Di dalam kemenangan yang dibicarakan dalam surat ini, kata “mubiin” ini akan menjelaskan apa sebenarnya makna kemenangan, menjelaskan kemenangan seperti apa yang sebaiknya dituju oleh muslim.
Ada beberapa kisah yang sangat panjang terkait dengan surat ini. Jika saya mengulasnya akan menjadi kuliah mendetil beberapa jam, karenanya saya memilih untuk menyimpulkan semuanya untuk Anda.
Perang Khandaq
Sekitar tahun ke-6 atau 7 kehidupan Nabi di Madinah, kaum muslimin telah menghadapi beberapa pertempuran dengan Quraisy, Yang paling buruk baru saja dilewati, yakni Al-Ahzab. Di mana Quraisy mampu mengumpulkan beberapa suku di Arabia, dan meyakinkan mereka semua bahwa masalah utama mereka di Arabia adalah muslim di Madinah. Mari bersatu dan mengepung kota Madinah, menyerang kota Madinah dan membunuh semua wanita dan anak-anak. Kita tidak peduli dengan masyarakat sipil, musnahkan mereka semua, ambil semua rampasan perang dan bagi di antara kita, maka kita tak hanya akan menjadi kaya karenanya, tapi juga menyelesaikan masalah terbesar di daerah ini yakni Islam itu sendiri.
Kaum Quraisy bisa menggunakan modal politiknya untuk meyakinkan sejumlah suku, sehingga tentara sejumlah 10-12 ribu bisa dikumpulkan. Mereka mulai berbaris menuju Madinah untuk mengakhiri masalah yakni Islam.
Saran dari salah satu sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam pada detik terakhir, Salman Al-Farisi, seorang pemikir di luar kotak (kreatif) dari Persia, berkata bahwa muslim takkan mampu menghadapi mereka, satu-satunya yang bisa menghalangi tentara itu adalah parit yang dibangun di sekeliling kota yang menghalangi mereka masuk kota. Maka parit digali, semua penduduk Madinah terlibat penggalian ini. Sehingga tentara musuh tak bisa masuk dari jalur ini.
Perang yang hebat ini sebenarnya bukan subyek surat ini, tapi surat Al-Ahzab (Surat ke-33) yang secara harfiah disebut suku-suku. Di mana semua suku ini berkumpul untuk memusnahkan kaum muslim. Tapi ini baru saja terjadi.
Quraisy yang haus darah ini beserta semua suku lainnya berkemah di luar Madinah untuk mencoba membunuh semua muslim. Percobaan mereka ini gagal dan beberapa minggu berikutnya mereka semua berkesimpulan bahwa terlalu mahal untuk tetap berkemah dengan pasukannya di jalanan seperti itu. Jadi mereka memutuskan untuk pergi dan kota Madinah kembali terselamatkan.
Perjanjian Hudaibiyah
Segera setelah hal ini terjadi, sekitar setahun setelahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermimpi, bahwa beliau melakukan perjalanan Haji, artinya pergi ke Makkah. Pergi tanpa senjata, satu-satunya senjata yang dibawa adalah yang tidak dianggap sebagai senjata oleh orang Arab yaitu pisau untuk menyembelih hewan. Bukan pedang atau perisai, tidak ada apa-apa.
Jadi pada dasarnya beliau akan melakukan perjalanan suci ke Makkah. Patut diingat bahwa Makkah adalah daerah konflik, kita berperang dengan orang-orang tersebut beberapa kali, dan kali terakhir perang, mereka sangat termotivasi untuk menumpahkan darah kaum muslimin sehingga mereka rela meninggalkan rumahnya dan berjalan begitu jauh ke kota Madinah untuk mencoba membunuh kita.
Sekarang bahkan tak sampai setahun setelahnya, Nabi mengajak ayo pergi, tapi tanpa senjata, untuk melakukan perjalanan ziarah (haji) ke Makkah denganku. Dan karena ini adalah mimpinya Nabi, yang dianggap sebagai petunjuk, kami segera mengikuti beliau, sekitar 1800 orang berkumpul dan mulai berjalan menuju Makkah bukan sebagai pasukan, tapi sebagai peziarah untuk beribadah.
Penduduk Makkah yang memeluk berbagai agama. Orang-orang sering datang berziarah setiap waktu. Bahkan mereka yang menganut Paganisme, karena Ka’bah selalu dikelilingi berhala. Meski pada awalnya Ka’bah dibangun oleh Ibrahim, namun rumah ini tercemari oleh penyembahan berhala dan ritual jahil lainnya. Jadi mereka familiar dengan konsep berziarah, dan mereka tahu bila seseorang datang untuk berziarah itu bukan berarti perang, dan mereka tak bisa menyerangnya.
Menyadari hal tersebut, mereka memutuskan untuk mengirimkan pasukan untuk memotong jalan kaum muslimin, dan membunuh mereka. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat laporan intelnya yang mengatakan bahwa para Quraisy mendatangi mereka. Lalu kaum muslimin memutar rutenya melewati jalan yang tak biasa dilalui. Manusia takkan bisa melalui jalan itu dalam situasi normal. Tapi disarankan bagi mereka untuk melalui daerah yang jarang dilalui ini, yang dipenuhi oleh kerikil tajam, duri, dan semacamnya.
Jadi para peziarah tanpa alas kaki memadai ini berjalan dengan kaki telanjang atau sandal yang mulai rusak dan kaki tergores. Bahkan beberapa perawi menggambarkan rombongan karavan sejumlah 1800 orang ini, tak seorang peziarah pun tanpa noda darah di bajunya karena kaki yang tergores jalanan seraya mereka berjalan menuju padang tandus bernama Hudaibiyah. Mereka sampai di sana menemukan sebuah sumur kering, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berdoa, meludah dan melemparkan panah ke dalam sumur. Lalu sumur itu mulai memancarkan air begitu banyaknya sehingga seluruh karavan berikut hewan tunggangan bisa minum.
Sekarang kaum Quraisy kemudian mengetahui bahwa mereka sudah mencapai Hudaibiyah, – entah bagaimana mereka (Quraisy) mendapatkan kabar – lalu mereka mencoba membunuh Rasulullah dan kaum muslimin dengan mengirimkan pembunuh bayaran untuk datang dan melakukan serangan dengan cepat. Tapi mereka tertangkap dan dilucuti senjatanya. Kaum muslimin menjadi marah, tapi Nabi melarang mereka untuk membalas, kita datang ke sini untuk berziarah, jadi mereka melepaskan kapten para pembunuh itu. Senjata mereka dilucuti, lalu mereka dibebaskan.
Sekarang Quraisy terpaksa harus bernegosiasi karena kaum Muslimin berada di daerah suci. Jika Quraisy menyerang kaum Muslimin sekarang, semua daerah akan tahu bahwa mereka tidak tunduk pada aturan kesucian Makkah. Jika mereka menyerang di dalam kota Makkah, mungkin saja nanti mereka juga akan menyerang suku kita. Jadi Quraisy akan kehilangan kehormatannya di Arabia.
Maka mereka tidak jadi menyerang. Negosiasi mulai berlangsung, dan saat hal ini terjadi tarik menarik terjadi di antara kedua pihak. Banyak sekali penghinaan dilemparkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin. Dan pada akhir negosiasi, kesimpulannya sangat berat sebelah.
Kesimpulannya adalah kalian tidak akan berziarah (berhaji) tahun ini, kalian akan kembali beserta hewan yang akan dikurbankan. Pulang dan jangan melakukan haji. Kemudian setiap muslim di Makkah yang lari dari kami dan sampai ke Madinah, kalian harus mengembalikannya kepada kami. Mereka adalah tawanan kami, mereka tidak boleh pergi.
Tapi tidak sebaliknya, mereka membuat berbagai aturan dalam perjanjian ini
semuanya tidak menguntungkan bagi Nabi. Salah satu penghinaan yang terbesar adalah pada awal perjanjian ini adalah antara Arab, Quraisy, dan Muhammad Rasulullah. Mereka tidak menerima beliau sebagai Rasul, silang itu, ganti dengan Muhammad anak Abdullah.
Jadi nama itu disilang, sehingga kaum Muslimin menjadi marah saat perjanjian ditandatangani. Sekarang mereka jadi sangat frustrasi, karena Nabi mengatakan beliau bermimpi kita akan berhaji.
Jadi Umar radiyallahu anhu kehilangan kesabaran. Saat ini terjadi, orang-orang bisa memahaminya, tapi saat mereka mendengar Abu Bakar kehilangan kesabaran, karena memang demikian. Bahkan pada suatu saat dalam negosiasi menggunakan bahasa yang lugas yang tidak dikira akan dikatakan olehnya.
Turunnya Surat Al Fath
Jadi tingkat frustrasi yang terjadi sangat tinggi. Orang-orang yang biasanya menjadi sumber ketenangan bagi Muslimin bahkan sangat tegang saat ini. Jadi kaum Muslimin kembali berjalan menuju Madinah, Umar bin Khattab lalu berdiri dan berkata, “Bukankah Engkau bermimpi bahwa kita akan berhaji tahun ini?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbalik menghadapnya dan berkata, “Aku tidak pernah bilang tahun ini.”
Saat itu frustrasi Umar tidak mereda. Jika Nabi tidak pernah berkata tahun ini, lalu apa yang kita lakukan di sini? Umar bisa saja berkata demikian, tapi tidak, dia mencari Abu Bakar.
Kepadanya dia bertanya, “Bukankah beliau bilang tahun ini, bukankah beliau bilang beliau bermimpi?”
Dan Abu Bakar berkata, “Hati-hati!”
Dia bilang, “Hati-hati, kamu akan kehilangan semua amalmu, perlihatkan kesetiaanmu kepada Nabi.”
Sekarang Nabi menyuruh para sahabat untuk membuka pakaian ihram dan mencukur rambut mereka. Tak seorang pun mematuhi beliau, ini pertama kalinya dalam karir beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahwa beliau bicara pada kaum muslimin yang memahami “sami’naa wa attho’naa” bahwa kami dengar dan kami patuh, ini adalah frasa klasik mereka di dalam Al-Quran bahwa ini adalah orang-orang yang mendengar dan mematuhi.
Mereka mendengar dengan jelas bahwa Nabi menyuruh mereka berdiri dan ganti pakaian, tapi mereka tidak berdiri dan tidak mencukur rambutnya. Nabi mengulang perintahnya, tapi mereka kembali membandel. Nabi kembali ke tenda beliau dan berkata kepada Ibu kita (istri nabi), “Mereka tidak patuh.”
Dia menjawab, “Lakukanlah dulu, mereka akan segera mengikuti.”
Lalu Nabi menukar pakaian ihramnya dan bercukur, dan semua segera mengikutinya.
Ini adalah salah satu pengalaman yang paling mengecewakan dalam hidup Nabi, mereka berbalik pulang, sekarang mereka kembali dari perjalanan yang menyakitkan ini. Ini tidak seperti naik pesawat selama dua jam, tapi perjalanan berminggu-minggu.
Mereka berbalik pulang dan Umar merasa tidak senang. Dipacunya untanya menuju Nabi dan berkata ingin bicara dengan beliau. Nabi tidak menjawab, Umar bolak balik mendatangi beliau, Nabi tidak menjawab. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang gusar. Diulanginya lagi, tapi kembali tak ada jawaban. Lalu dipacunya untanya jauh di depan karavan dan berkata, “Umar layaknya sudah mati! Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam marah padaku.”
Umar sangat tertekan. Tak lama setelah itu seorang penunggang unta menghampiri dan berkata Nabi memanggilnya. Dia berkata, “Khasyiitu an nazala fiya quraanun.”
Aku sangat takut ayat Al-Quran akan diturunkan menegurku. Nabi marah padaku sudah cukup buruk, dan sekarang Allah menegurku? Jadi dia mendatangi Nabi dalam keadaan takut dan gugup. Dan dia berkata, “Kulihat cahaya yang sangat terang di wajah beliau yang tak pernah kulihat sebelumnya.”
Nabi tersenyum lebar (senyum dari kuping ke kuping). Nabi menyuruh Umar mendekat lalu membacakan seluruh surat Fath. Dari awal hingga akhir, kalimat pertama surat ini; Kami telah memberimu kemenangan yang menjelaskan. Sebuah kemenangan yang tidak terpungkiri. Inilah ayat pertama, dan 29 ayat berikutnya.
Umar bin Khattab mendengarnya dan berpikir, “A Fathun huwa? Benarkah ini sebuah kemenangan?”
Sama halnya dia bertanya bagaimana mungkin ini sebuah kemenangan? Dan Nabi berkata, “Benar ini kemenangan.”
Dan Umar berkata, “Jika Nabi bilang demikian, maka demikian adanya.”
Dan Umar menjadi senang, dia sangat gembira.
Makna Sebuah Kemenangan
Apa yang berubah? Pikirkan ini, apa yang sudah berubah? Dalam seluruh kejadian ini, mereka masih tetap berbalik ke Makkah, mereka harus mengembalikan tawanan, mereka dipermalukan, tidak bisa berhaji…
Tidak ada yang berubah. Satu-satunya yang berubah hanyalah Allah memutuskan bahwa kalian harus melihatnya dari sudut pandang yang berbeda, dan itu sudah cukup. Kalian cuma harus melihatnya secara berbeda. Setiap ilmuwan politik, para ahli, tentara, semua orang akan melihatnya dari satu sisi. Tapi Allah berkata, “Tidak, Aku ingin kamu tunduk tak hanya dalam perbuatan tapi secara emosi dan sikap, sikapmu terhadap kejadian ini adalah bahwa ini kemenangan.”
Jadi Allah membaliknya. Jadi begitulah Allah mendefinisikan kemenangan dalam makna Qurani. Dan ini tidak mampu kita definisikan dalam pemahaman manusiawi kita. Ini sebuah definisi kemenangan yang berbeda, surat Fath adalah tentang hal ini. Untuk melihat makna kemenangan dari kacamata yang diinginkan Al-Quran, daripada melihatnya dari kacamata duniawi. Ini pelajaran yang sangat hebat dari Al-Quran, yang saya bahkan kesulitan untuk menekankan betapa luar biasa dan menakjubkannya.
Kemenangan Dan Ampunan
Dalam pendahuluan ini saya bisa membicarakan beberapa topik yang muncul dalam surat ini, akan saya bicarakan beberapa. Pertama Allah menggambarkan kemenangan, lalu tujuan dari kemenangan itu. Tujuan dari kemenangan adalah ampunan. Alih-alih memberi penjelasan yang sangat tekstual dari surat ini, biarkan saya membicarakan satu hal kepada Anda.
Apa tujuan kemenangan? Biasanya kemenangan itu sendiri yang menjadi tujuan. Mengapa Anda ingin berjuang dalam pemilu? Agar saya menang. Mengapa Anda ingin menang? Tidak, kemenangan itulah tujuannya.
Dalam surat ini kemenangan bukanlah tujuan. “Innaa fatahnaa laka fat-han mubiinaa.” (QS Al Fath ayat 1) adalah maknanya.
Makna untuk apa? “Liyaghfiro lakalloh,” maka Allah akan mengampunimu. Pikirkan ini, apa hubungan kemenangan dengan ampunan? Beberapa hubungan yang tidak biasa kita lihat digambarkan di sini. Dan pada puncaknya, ini adalah ayat pertama surat ini. Di mana Allah mengatakan tujuan kemenangan adalah ampunan.
Bagian akhir surat ini, kalimat terakhir surat ini, “Wa’adallohulladziina aamanuu wa ‘amilush-shoolihaati min-hum maghfirotan wa ajron ‘azhiimaa.” (QS Al Fath ayat 29)
Allah telah menjanjikan mereka yang beriman dan beramal sholeh… Apa yang dijanjikanNya? Kemenangan? Bukan, Dia berkata, “Aku akan menjanjikan mereka ampunan dan kompensasi yang besar.”
Misi Islam
Jadi tujuan kemenangan adalah ampunan pada awalnya, tujuan yang besar pada akhirnya juga adalah ampunan. Dan pada bagian tengah surat ini, ayat ke-15, tepat di tengah-tengah, Allah berkata, “Wa lillaahi mulkus-samaawaati wal-ardh, yaghfiru liman yasyaaa’u wa yu’adzdzibu man yasyaaa’, wa kaanallohu ghofuuron rohiimaa.” (QS Al Fath ayat 14)
Bagian awal, tengah, dan akhir surat adalah tentang ampunan.
Apa maknanya itu? Tujuan dari misi Nabi bukanlah untuk meluaskan wilayah, tujuan dari misi Nabi adalah untuk membebaskan rumah Allah yang dibangun oleh Ibrahim ‘alaihissalaam.
Ibrahim ‘alaihissalaam membangun rumah itu agar manusia bisa menyembah Allah dan memperoleh ampunanNya. Tujuan muslim berhaji adalah agar mereka bisa memperoleh ampunanNya. Tapi Allah tetap memberikan ampunan itu karena sekarang Quraisy telah menandatangani perjanjian itu, Quraisy akan runtuh seperti domino, mereka tak pelu diperangi lagi.
Dan saat hal itu terjadi, Ka’bah akan dibebaskan. Dan saat Ka’bah dibebaskan, pintu bagi manusia untuk meminta ampunan akan terbuka lebar. Dan akan datang milyaran manusia dari seluruh dunia, generasi demi generasi akan mencoba memperoleh ampunan dari Allah dengan datang mengunjungi rumah Allah, sehingga Allah akan bisa mengampuni. Sehingga Allah akan mengampuni.
Tujuan Islam adalah membuka pintu ampunan bagi manusia, itulah tujuan Islam.
Itulah tujuan kemenangan Islam yang begitu indahnya diartikulasikan dalam surat yang luar biasa dan sangat memikat ini.
Saya sudah meluncurkan serial kuliah yang panjang tentang surat ini karena begitu pentingnya. Karena saya merasa bahwa sikap kita terhadap kemenangan dan sikap kita terhadap misi Nabi dan apa tujuan dari perjuangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat ini terbelit oleh konsep lain. Dan saya berharap dengan ini kita bisa kembali kepada ruh awal Al-Quran. Ini adalah salah satu surat yang saya rekomendasikan untuk dipelajari sedalam mungkin yang Anda mampu.
Barakallaahu lii wa lakum, assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
[…] —- Transkrip: https://nakindonesia.wordpress.com/2016/12/27/episode-9-surah-al-fath/ […]
LikeLike
[…] Sumber: [Transkrip Indonesia] Get To Know – Episode 9 – Surah Al Fath – NAK – Quran … […]
LikeLike
Assalamu alikum, Can I have the transcript in English
LikeLike
Waalaikumussalam, first we apologize for late respon. Most of our transcript is in indonesian language, only a few in english.
LikeLike
serial kuliah yang panjang tentang surat alfath bisa dibaca dimana min? terima kasih
LikeLike
Ustadz NAK pernah memberikan kajian panjang surat Al Fath di London pada acara “A Dream Come True: An in-Depth Journey Through Surah al-Fath”
LikeLike