Allah Azza Wa Jalla berfirman, “Yaa ayyuhannasu’ buduu rabbakum.” (QS. Al-Baqarah ayat 21) Umat manusia hambakan dirimu, sembah Tuhanmu.
“Alladzii khalaqakum.” (QS. Al-Baqarah ayat 21) Dia yang menciptakanmu.
“Walladziina min qablikum.” (QS. Al-Baqarah ayat 21) Dan mereka yang datang sebelum kau.
“La’alakum tattaqun.” (QS. Al-Baqarah ayat 21) Semoga kau berusaha melindungi diri atau semoga kau menjadi lebih baik. Kau termasuk golongan yang menyelamatkan diri sendiri.
Ini adalah ayat yang bermakna dalam, ini alasan pertamanya. Ada sebuah transisi. Secara keseluruhan di awal sampai sekarang dalam surat ini memakai kata ganti orang ketiga. “Alladziina yu’minuuna bil ghaib.” (QS. Al-Baqarah ayat 3) Mereka percaya kepada yang gaib. Mereka percaya apa yang diwahyukan kepada mereka. Ada sebagian dari mereka yang mengatakan mereka beriman. Mereka yang tidak beriman. Mereka, semua itu. Semua dalam bentuk orang ketiga.
Secara retorik dan linguistik, orang ketiga berada jauh. Mereka jauh. Bahkan saat Anda mendekati akhir, beberapa ayat terakhir yang saya gambarkan kepada Anda kemarin, mereka sangat jauh karena mereka tersesat jauh di padang pasir dan tak ada yang bisa mendengar. Atau mereka ada di ujung tebing saat hujan deras di tempat yang terpencil. Tetapi, dengan penggambaran keterpencilan dan jarak itu, juga pemakaian orang ketiga, ada pergantian yang cepat, bahkan sebaliknya Allah memberi tahu rasul-Nya Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, untuk memanggil kita.
Qul “Yaa ayyuhannasu’ buduu rabbakum.” (QS. Al-Baqarah ayat 21) Katakan kepada mereka, “Umat manusia sembahlah Tuhanmu.”
Allah memutuskan “mubasyaratan” dan “wa bila wasithoh“. Tanpa apa pun di antaranya, Allah bicara kepada Anda dan saya secara langsung. Bahkan tidak hanya umat muslim “Yaa Ayyuhannas“. Ini adalah saat yang bermakna di dalam Al-Qur’an, wahyu dalam Kitab Allah. Allah telah memutuskan untuk berbicara langsung kepada umat manusia. Penciptamu berbicara langsung kepadamu, “Yaa ayyuhannasu’ buduu rabbakum“, hambakan dirimu kepada Tuhanmu.
Imam Fakhruddin Ar-Razi Rahimahullah kagum kepada ayat ini. Dia berkata, “Wa qad yu’maru man laisa bi mu’min bil ibadah kama yu’marul mu’min bi istimraar ‘alal ibadah wal izdiyadi minha fal khithabu fil jami’i mumkin.” (dan telah diperintahkan pada orang yang bukan mu’min untuk beribadah seperti halnya diperintahkan pada mu’min untuk meneruskan ibadah dan menambahkan nya (ibadah), maka perkataan (ayat ini) untuk orang sebanyak mungkin)
Imam Razi berkata bahwa seperti orang beriman dapat diperintahkan untuk meningkatkan imannya. “Yaa ayyuhalladzina amanu aminu.” Kalian yang beriman perkuat iman kalian. Perdalam iman kalian. Sama bagi semua umat manusia.
Allah adalah Tuhan semua umat manusia. Allah berhak memerintahkan mereka untuk menghambakan diri walaupun mereka non-muslim. Kitab ini tidak hanya untuk para muslim. Kitab ini adalah seruan bagi seluruh umat manusia.
Anda mungkin berpikir ayat Al-Qur’an Makkiyah sebagian besar ditujukan kepada non-muslim. Ayat Al-Qur’an Madaniyah memfokuskan kepada masyarakat Islam, “Yaa ayyuhal ladziina aamanuu“. Hampir setiap saat.
Tetapi di sini, hanya pada ayat pengantar saja. Kita belum mendengar “Yaa ayyuhal ladziina aamanuu“. Kita belum mendengarnya. Pertama yang kita dengar adalah “Yaa ayyuhannas, buduu rabbakum” (QS. Al-Baqarah ayat 21) Hambakan dirimu kepada Tuhanmu, sembah Tuhanmu.
Ada tiga hal yang ingin saya sampaikan tentang kata “nas” yang digunakan dalam ayat ini. Ibnu Abbas Radhiyallahu Ta’ala Anhuma dan sebagian sahabat lainnya memandang bahwa kata “nas” yang merupakan bentuk jamak dari “insan” sebenarnya berasal dari “nisyan“. Kata asalnya adalah “nisyan” yang berarti sifat pelupa. Secara harfiah berarti manusia pelupa. Allah Azza wa Jalla telah mengadakan perjanjian atau memegang janji mereka sebelum terlahir di bumi ini dan mereka melupakan itu. “Fanasiya“. Itulah salah satu arti dari “nas“.
Manusia yang melupakan bahwa mereka punya Tuhan. Bahwa Anda punya Pemilik. Ingatkan diri Anda bahwa Anda harus kembali dan memenuhi kewajiban kepada-Nya. Itu salah satu artinya.
Arti lainnya yang berhubungan dengan kata “nas” berasal dari kata “aanasa“. “Inaas” dalam bahasa Arab berarti kemampuan untuk memahami dan melihat suatu hal. “Falladzi yu’nas” berarti seseorang yang bisa dilihat.
Di sini perbedaannya adalah antara jin dan manusia. Jin berasal dari kata kerja “janna” dengan arti yang tertutupi. “Jannah” juga berarti surga. Dari asal kata yang sama karena semua kotoran tertutupi, semua tersembunyi. Itu alasan disebut jin karena tersembunyi dari pandangan mata. Itu alasan bayi dalam kandungan disebut “janin“. Rahim sendiri disebut “janin” karena menyembunyikan bayi.
Lawan dari semua itu, manusia tidak tersembunyi, mereka bisa terlihat. Itu alasan mereka disebut “insan” atau “nas“, dari yang terlihat.
Arti ketiga yang paling umum diketahui, pandangan yang paling populer dan meyakinkan
dari arti kata “nas” sebenarnya berasal dari kata “uns“.
Kata “uns” adalah lawan kata dari “wahsy“. Dengan kata lain hewan buas, yang berbahasa Urdu bahkan mengerti (bicara dalam Bahasa Urdu).
Ya? Dan “wahsy” berarti kebuasan. Tidak ada rasa iba.
Seekor serigala tidak memasang serbet sebelum mereka menyerang… Mengoyak mangsanya semau dia. Tetapi, manusia punya rasa sopan santun dalam cara mereka makan. Hewan tidak punya rasa iba seperti manusia. Walaupun kita bisa lihat contoh baru-baru ini, manusia bisa menjadi lebih rendah dari hewan.
Ketika tiba saatnya, Allah berfirman, “Tsumma radadnaahu asfala saafiliin.” (QS. At-Tin ayat 5) Kita diturunkan ke tingkat yang mungkin terendah. Bahkan perilaku mereka bisa lebih rendah daripada hewan. Bahkan hewan tidak membunuh dengan kejam.Hewan membunuh saat lapar. Hewan membunuh saat merasa terancam.
Saat ancaman itu hilang, mereka lanjutkan hidup. Saat kenyang, mereka lanjutkan hidup. Hewan tidak membunuh karena benci. Hewan tidak membunuh tanpa alasan. Jadi, saat manusia melakukan perilaku seperti itu, mereka menjadi lebih rendah dari hewan.
Itulah “asfala saafiliin“. Itulah kenapa di beberapa bagian Allah membandingkan manusia dengan sapi, dengan hewan dan berfirman, “Bal hum a’dhal“. Mereka bahkan yang terburuk. Mereka bahkan lebih buruk dari itu. Paling tidak, mereka berperilaku sesuai kodratnya. Ini bukan kodrat. Ini benar-benar tidak alami.
Bagaimana pun, inilah tiga arti dari “nas“. Pandangan yang paling terkemuka adalah manusia merupakan makhluk dengan rasa iba. Pada dasarnya, mereka punya kemampuan untuk menunjukkan kasih sayang dan rasa iba berbeda dari makhluk lainnya.
Itulah kenapa kita tidak hanya menunjukkan rasa iba kepada diri sendiri dan keluarga kita. Kita mampu menunjukkan rasa iba kepada tetangga kita. Kepada orang asing. Bahkan kepada hewan, tanaman.
Kita menunjukkan rasa iba ke sekeliling kita. Kita menunjukkan rasa iba saat berjalan di pinggir jalan dan melihat batu, lalu kita singkirkan. Itu bagian dari Anda menjadi “insan“.
Umat manusia sebenarnya disebut umat manusia karena mereka peduli terhadap sesama. Saat rasa itu, kualitas itu, disingkirkan dari manusia, maka mereka bukan lagi “insan“. Allah memakai istilah itu, Dia bisa saja memakai istilah lain, tetapi memanggil umat manusia dengan istilah ini “Yaa ayyuhannas“, itu bermakna sesuatu.
Makna itu adalah memanggil rasa iba umat manusia. Itulah daya tarik pertama kita dengan Allah. Pertama dan yang paling utama, hubungan saya dengan Allah berdasarkan keinginan saya untuk rasa cinta.
Anda tahu kata Bahasa Arab untuk hubungan kita dengan Allah saat kita bersyahadat kita katakan “Laa ilaha ilallaah“. Kita pakai kata “illah” untuk Allah. Kata “illah” berasal dari kata kerja “aliha” yang berarti jatuh cinta kepada seseorang secara obsesif dan mengandalkan, juga bersandar kepada seseorang. Bangsa Arab di masa lampau menjelaskan sembilan tingkat cinta. Suatu hari jika membahas ayat kursi, saya akan bicarakan secara terperinci. Hari ini, singkat saja.
Mereka sebenarnya menjelaskan 10 tingkat cinta. Sembilan darinya adalah “illah”
atau mungkin “uluhiyya” itu adalah tingkatan cinta, bukan hanya menyembah. Itu sebenarnya tingkatan cinta, saat kau merasa kosong, tak ada rasa sakit karena dipenuhi dengan cinta. Kau tidak merasa lapar karena cintamu memenuhi selera makanmu.
Cinta yang seperti itu. Cinta yang ada di atasnya hanyalah cinta yang membunuhmu. Itu bentuk cinta terekstrim yang kita punya untuk Allah Azza Wa Jalla. Tentunya kita mampu untuk cinta seperti itu karena kita adalah umat “uns“. Umat dengan rasa iba.
Bagi Allah Azza Wa Jalla, hubungan kita dengannya sebenarnya berakar, terpenting dalam sifat manusia ini yang menginginkan dan mencari cinta dengan rasa iba. Ini bukanlah hubungan yang otoriter, itu yang terpenting. Bukan juga hubungan atasan dan bawahan, itu yang terpenting. Yang terpenting, ini adalah hubungan yang penuh kasih sayang. Itulah saat Anda sampai di kata “ibadah”.