A’uudzu billahi minasy-syaithonir-rojiim, bismillaahir-rohmaanir-rohiim.
Alif Laaam Miiim (QS Al-Ankabut ayat 1)
A hasiban-naasu ay yutrokuu ay yaquuluuu aamannaa wa hum laa yuftanuun (QS Al-Ankabut ayat 2)
Wa laqod fatannal-ladziina min qoblihim falaya’lamannallohul-ladziina shodaquu walaya’lamannal-kaadzibiin (QS Al-Ankabut ayat 3)
Robbisyroh lii shodrii, wa yassir lii amrii, wahlul uqdatan min lisaanii, yafqohuu qoulii. Alhamdulillaah wash-shalatu was-sallaamu ‘alaa Rasuulillaah, wa ‘alaa aalihi wa shahbihi ajma’iin. Tsumma ‘amma ba’du.
Sekali lagi semua, assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Kisah Khabab bin Arad
Bersama mari kita coba mengenal surat Al-Ankabut, surat ke-29 dari Al-Qur’an. Dan surat Makkiyyah kelompok yang terakhir turun. Salah satu hal yang menunjukkan bahwa surat ini turun pada akhir era perjuangan Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam di Makkah adalah bahwa surat ini dimulai dari kaum muslimin yang dianiaya dan diuji.
Ini diriwayatkan oleh Khabab bin Arad, seorang sahabat Nabi bahwa Quraisy mencengkeramnya, menjambak bajunya, dan menjatuhkannya di atas bara, lalu berdiri diatasnya hingga kulit punggungnya meleleh. Lalu mereka meninggalkannya agar membusuk. Dengan berada pada kondisi mengerikan tersebut, terpanggang. Lalu dia datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Dia dalam kondisi sangat berantakan, dan bertanya, “Mengapa ini terjadi pada kita? Mengapa? Kita sudah berkomitmen kepada kebenaran, kitalah yang benar-benar beriman. Mengapa pertolongan Allah tidak datang?”
Pertanyaan sebangsa itu. Dan sangat bisa dipahami bagi seorang yang mengalami pengalaman yang mengerikan itu untuk bicara begini.
Jadi ayat ini diturunkan pada bagian awal surat.
“Alif Laaam Miiim.” (QS Al-Ankabut ayat 1)
Sudahkah orang-orang berasumsi bahwa mereka akan dibiarkan mengaku beriman begitu saja tanpa diuji? Dan secara harfiah “yuftanuun” digunakan. Kata “fatana” dalam bahasa Arab digunakan untuk “melebur emas”.
Seperti punggungnya yang meleleh, maka kata “yuftanuun” digunakan. Ini sebenarnya cara Allah mengatakan bahwa “kamu adalah emas bagiKu.”
Cara Allah untuk menekankan nilai dari orang seperti Khabab bin Arad. Dan seperti emas dimurnikan (dilelehkan), seperti itu pula kamu dimurnikan oleh pengalaman mengerikan ini.
Dan ayat ini berlanjut kepada bagaimana kamu harus berpegang teguh kepada keyakinan dan jangan berpikir bahwa penjahat yang telah melakukan hal ini kepadamu “ay yasbiquunaa”.
“Am hasibal-ladziina ya’maluunas-sayyi’aati ay yasbiquunaa, saaa’a maa yahkumuun.” (QS Al Ankabut ayat 4)
Orang-orang berpikir bahwa mereka yang melakukan kekejian ini lebih baik dari kita; betapa buruknya keputusan yang mereka buat. Kamu pikir kamu adalah korban? Merekalah korban sesungguhnya karena apa yang mereka lakukan. Tetaplah kamu berharap kepada Allah. Jadi para muslim disuruh untuk tetap menjaga imannya. Ini adalah ketika muslim tak hanya diolok-olok karena keyakinannya, tapi juga disiksa.
Kisah Nuh & Ibrahim: Allah Menyelamatkan Kaum Muslimin Dari Bencana
Keadaan sudah semakin buruk di Makkah. Apa yang terjadi selanjutnya? Ini sungguh keren. Segera setelah ayat tentang kesabaran turun kepada kaum muslimin, Allah lalu bicara tentang dua orang Nabi. Dia bicara tentang Nuh ‘alaihissalam,
“Wa laqod arsalnaa nuuhan ilaa qoumihii fa labitsa fiihim alfa sanatin illaa khomsiina ‘aamaa.” (QS Al-Ankabut ayat 14)
Kami turunkan Nuh kepada kaumnya, dia berada di antara mereka selama 1000 atau 950 tahun. Perjuangan Nuh -sekarang kepadamu dikatakan- kamu sudah berjuang selama beberapa tahun, tapi ada orang-orang yang datang sebelummu yang berjuang selama seribu tahun, jadi belajarlah dari mereka.
Lalu Dia beralih, tiba-tiba entah dari mana, Dia mengalihkan topik kepada Ibrahim alaihissalam.
“Wa ibroohiima idz qoola liqoumihi’budulloha wattaquuh, dzaalikum khoirul lakum in kuntum ta’lamuun.” (QS Al-Ankabut ayat 16)
Dan juga Ibrahim ketika dia berkata kepada kaumnya, “Takutlah dan berhati-hatilah akan Allah, dan sembahlah Dia, itu baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Apa kesamaan antara Nuh dan Ibrahim? Allah sebenarnya memperlihatkan kepada kita bagaimana Dia menyelamatkan manusia. Nuh ‘alaihissalaam telah diselamatkan dari air, dan Ibrahim ‘alaihissalaam telah diselamatkan dari api. Dari dua unsur yang sangat bertolak belakang.
Jadi Allah bisa menyelamatkan kita dari segala sesuatu. Dia bisa menyelamatkan kita dari banjir terburuk, dan Dia bisa menyelamatkan kita jika kita tenggelam di tengah kobaran api raksasa. Dia bisa melakukannya. Jadi Dia mengatakan kepada kita kaum muslim, jika Dia bisa mengeluarkan Nuh dan Ibrahim dari air dan api, maka Dia bisa mengeluarkan kita dari bencana.
Inspirasi Migrasi (Hijrah)
Yang menarik dengan berlanjutnya kisah ini adalah Allah bicara tentang Luth. Dia bicara tentang Luth;
“Inni muhaajirun ilaa robbi, sayahdiin.” (Ustadz NAK menggabungkan QS Al-Ankabut ayat 26 dan As Saffat ayat 99)
Aku bermigrasi menuju Tuhanku, Dia akan menunjukiku. Luth juga berada dalam situasi yang sangat tidak memungkinkan, dan dia secara harfiah menggunakan kata “Aku bermigrasi menuju Tuhanku“.
Sekarang kita punya 3 kasus kaum yang melarikan diri dan bermigrasi. Mengapa ini penting? Muslim dianiaya di Makkah, dan dengan kisah-kisah yang ada dalam Qur’an ini, ide bahwa ini saatnya untuk bermigrasi (hijrah) ditanamkan di dalam pikiran. Alih-alih mengucapkan (menyuruh) bermigrasi, Dia (Allah) menyuruh mereka bermigrasi melalui kisah-kisah ini. Ini sungguh luar biasa.
Lalu Dia bicara tentang bangsa-bangsa yang sudah dihancurkan sebelumnya, namun orang-orang yang beriman akan selalu diselamatkan. Jadi jangan khawatir, jika kaum Quraisy berada di jurang kehancuran. Itu tidak berarti bahwa kalian (kaum muslimin) akan dihancurkan. Kamu harus mencari jalan untuk melarikan diri, jalan untuk pergi.
Jadi saat Allah melakukan semua ini -bagian favorit saya, ini surat Makkiyyah- di Makkah kaum muslimin utamanya menghadapi para pemuja berhala, Quraisy, kaum musyrik Makkah. Namun pada bagian akhir surat Dia berkata,
“Wa laa tujaadiluuu ahlal-kitaabi illaa billatii hiya ahsan.“ (QS Al-Ankabut ayat 46)
Jangan berdebat dengan para ahli kitab, komunitas Yahudi dan Nasrani, kecuali dengan hal yang lebih baik. Artinya argumen yang lebih baik, juga etika (cara bicara) yang lebih baik. Jika mereka bicara padamu dengan bahasa yang kasar, jangan membalas dengan bahasa yang kasar. Jika mereka bicara dengan nada marah, jangan balas dengan kemarahan.
“Illaa billatii hiya ahsan, illalladziina zholamuu min-hum.” (QS Al-Ankabut ayat 46)
Mengapa dalam ayat Makkiyyah Allah mengatakan kepada nabiNya dan komunitas muslim untuk menghadapi para ahli kitab dengan kebaikan dan melakukan pembicaraan dengan mereka? Alasannya adalah, bahwa mereka akan meninggalkan Makkah menuju Madinah, sesampainya mereka di Madinah, mereka akan kembali menghadapi para ahli kitab.
Jadi instruksi kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam begitu indahnya tertera di dalam narasi Al-Qur’an. Mereka yang mengalami hal ini dapat mendengar kodenya, mereka bisa mendengar kodenya dari ayat Quran, mereka memahami hal yang disampaikan kepada mereka. Dan mereka dipersiapkan secara mental untuk melaksanakan hal ini, inilah mengapa; “Walladziina jaahaduu fiinaa.” (QS Al-Ankabut ayat 69)
Perhatikan kesimpulan yang hebat dari pesan ini.
“Walladziina jaahaduu fiinaa lanahdiyannahum subulanaa.” (QS Al-Ankabut ayat 69)
Mereka yang berjuang di jalan Kami dengan tiada tujuan lain kecuali Kami, Kami akan menunjukinya ke jalan Kami. Kami akan membukakan jalan untuk memandu mereka. Karena tak hanya satu jalan ke Madinah, ada banyak jalan.
Jadi surat ini memiliki makna spiritual umum, namun juga dalam konteks bagaimana surat ini diturunkan, ada makna yang sangat khusus. Di antara kamu yang sedang berjuang untuk berpegang teguh pada keyakinanmu. Aku akan memberimu banyak jalan keluar.
“Lanahdiyannahum subulanaa, wa innalloha lama’al-muhsiniin.” (QS Al-Ankabut ayat 69)
Dan Allah sesungguhnya bersama mereka yang unggul, mereka yang selalu menyadari kehadiranNya.
Tentang Ihsan
Dan ngomong-ngomong tentang ihsan -saya simpulkan dengan ini- Ihsan artinya menyadari kehadiran Allah, “anta’budallaah kaannaka taraahu”, bahwa kamu menyembah Allah seakan-akan melihatNya.
Jika Anda memperhatikan kisah migrasi (hijrah) Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan saat mereka sedang di dalam gua – surat At-Taubah akan menceritakan ini nantinya dalam Qur’an, surat yang turun lebih belakangan dari Al-Ankabut –
“Idz yaquulu lishoohibihii laa tahzan innalloha ma’anaa.” (QS At-Taubah ayat 40)
Nabi mengatakan kepada sahabatnya Abu Bakar, jangan khawatir, memang para pencari sedang berada tepat di atas kita, mereka sangat banyak, dan jika mereka melihat ke bawah kita akan mati, jangan khawatir, Allah bersama kita.
Dan di dalam surat Al-Ankabut ini Allah berkata; mereka yang bertahan di jalan Kami, akan Kami tuntun ke jalan Kami,dan Allah bersama mereka yang selalu menyadari kehadiranNya.
Secara harfiah itulah yang dilakukan Nabi, beliau dituntun ke jalan yang menuju Madinah, dan secara harfiah beliau menyadari kehadiran Allah di saat-saat terburuk, di saat-saat yang paling menakutkan dan paling sulit. Semoga Allah azza wa jalla membuat kita selalu menyadari kehadiranNya di saat-saat tersulit di kehidupan kita.
Barakallahu lii wa lakum, assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
[…] Transkrip: https://nakindonesia.wordpress.com/2016/11/24/episode-7-surah-al-ankabut/ […]
LikeLike