A’uudzu billahi minasyaithonirrojiim, bismillaahir-rohmaanir-rohiim.
“Thoo siiin miiim.” (QS Al-Qasas ayat 1)
“Tilka aayaatul-kitaabil-mubiin, natluu ‘alaika min naba’i muusaa wa fir’auna bil-haqqqi liqoumiy yu’minuun.” (QS Al-Qasas ayat 2-3)
Robbisyroh lii shodrii, wa yassir lii amrii, wahlul uqdatan min lisaanii, yafqohuu qoulii. Alhamdulillaah wash-shalatu was-sallaamu ‘alaa Rasuulillaah, wa ‘alaa aalihi wa shahbihi ajma’iin. Tsumma ‘amma ba’du.
Hari ini insya Allah kita mencoba mengenal surat Al-Qasas, surat ke-28 dari Al-Qur’an. Di dalamnya diceritakan bagian yang terpanjang dari kisah Musa alaihissalam. Musa adalah rasul yang paling banyak disebutkan di dalam Al-Qur’an. Lebih dari 70 bagian ditujukan hanya untuk Musa alaihissalam.
Namun dalam surat ini dia dibicarakan dengan cara yang berbeda dan sangat unik. Pada bagian lain di dalam Qur’an yang membicarakan Musa pasti ada bahasan singkat tentang masa kecilnya, saat dia diselamatkan, sebagaimana dalam surat Thaha. Dan sebagian besarnya membicarakan mulai dari “gunung” dan seterusnya.
Dengan kata lain, saat dia melihat api ditinggalkannya keluarganya untuk menyelidikinya, lalu berusaha mengambil sedikit api untuk keluarganya, dan di sana dia berbicara dengan Allah, dari sana dia lalu menantang Fir’aun. Dan semua episode itu diulang sebagian atau bagian lainnya di seluruh Qur’an.
Sebelum Peristiwa Di Gunung Thur
Tapi di dalam surat Al-Qasas, dibicarakan pendahuluannya. Kita dibawa kembali kepada adegan di mana dia hampir dibunuh karena tentara Fir’aun akan datang dan membantai semua orang, dan ibunya melemparkannya ke dalam sungai, dan dari sana seluruh kisah hidupnya berjalan menuju gunung.
Dan meskipun bagian ini atau surat ini juga melingkupi kejadian saat dia menantang Fir’aun dan bagaimana hal itu mengungkap jati dirinya dan kita juga mempelajari detil baru tentang hal tersebut. Penekanannya adalah semua hal menuju gunung itu.
Jadi bagaimana kisahnya sebelum sampai ke gunung, bagaimana dia menikah, bagaimana dia lari dari Mesir, mengapa dia lari dari Mesir, mengapa mereka mengejar dan ingin membunuhnya, apa yang mendorongnya kembali ke Mesir. Semua hal itu ditangkap dengan sangat indah dan sangat dramatis di awal surat ini.
Ada satu hal yang perlu Anda tahu tentang cara bercerita di dalam Qur’an. Di banyak tempat di dalam Qur’an Allah akan menceritakan sebuah kisah, dan saat Dia hampir menyimpulkan kisah itu, Dia akan memberikan sebuah komentar khusus hanya untuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Perhatikan bahwa kita semua adalah pemirsa kisah ini, namun pemirsa pertamanya adalah penerima asli dari wahyu ini, Nabi sendiri a’laihi shalatu wassalam.
Jadi Allah akan berkata, “Ngomong-ngomong ini pelajaran yang harus kamu ambil dari kisah ini.”
Artinya Nabi sendiri a’laihi shalatu wassalam. Jadi ini adalah pengakuan istimewa bahwa Nabi adalah penerima asli dari Qur’an. Akan Anda temukan di banyak kasus bahwa sebuah kisah diceritakan diikuti oleh komentar terhadap Nabi.
Yang sangat keren dari surat ini adalah khususnya, Anda akan sangat menghargai kekuatan dialog dalam Qur’an jika Anda memahami atau memperhatikan bagaimana Qur’an/surat-suratnya disusun.
Perbandingan Musa Dengan Qaruun
Ini adalah surat yang cukup panjang, Anda perhatian pada bagian akhirnya ada tiruan. Dengan kata lain pada awal surat ada bagian panjang tentang kehidupan Musa, diikuti oleh komentar terhadap Nabi.
Pada bagian akhir surat ada kisah lain, dan karakter lain yang bernama Qaruun. Dia (Qaruun) tidak dibicarakan dengan detil di surat lain kecuali di surat ini. Kisah yang dibicarakan adalah unik, bahkan bab yang membicarakan kehidupan Musa, dan tentunya yang kita pelajari tentang Qaruun juga unik, kita tidak mempelajari apapun lagi tentang dia seperti yang kita pelajari di surat ini.
Jadi Allah menceritakan pada kita kisah Qaruun, dan segera setelah kisah tersebut berakhir, Anda bisa menebak surat ini disimpulkan dengan komentar terhadap Nabi. Jadi kisah dengan komentar pada bagian awal, kisah dan komentar pada bagian akhir. Begitulah semua hal ini disusun.
Dan pada bagian tengah surat akan saya bicarakan berikutnya. Tapi pertama saya ingin bicarakan tentang Musa dan Qaruun, apa pentingnya memasukkan mereka berdua ke dalam surat yang sama, dan pada bagian ujung yang berlawanan (awal-akhir) dari surat ini.
Anda perhatikan dalam kisah Qaruun. Allah ceritakan hal-hal yang membuat kita berpikir seakan Qaruun adalah versi alternatif Musa. Bahwa segala sesuatu yang bukan Musa adalah Qaruun, dan segala sesuatu yang bukan Qaruun adalah Musa. Allah memulai dengan, “Inna qooruuna kaana min qoumi muusaa.” (QS Al-Qasas ayat 76)
Qaruun adalah bagian dari bangsanya Musa, jadi mereka, Musa dan Qaruun memiliki kesamaan. Tapi kemudian Dia berkata, “Fabaghoo a’laihim.” (QS Al-Qasas ayat 76)
Dia memberontak terhadap bangsanya. Berlawanan dari awal dengan Musa, yang meskipun hidup sebagai pangeran di Mesir, di dalam istana, dia tidak hidup di antara kelompok yang lebih rendah dari bangsa Israil yang diperbudak.
Meskipun demikian, dia tetap datang untuk menolong mereka. Jadi meskipun dia benar-benar pada posisi tidak memungkinkan untuk peduli pada kaumnya tapi dia tetap peduli.
Dan di pihak lain ada Qaruun yang hidup di antara kaumnya, dia khianati mereka, dia jual mereka dan menghasilkan banyak uang dari mengintai mereka atau hal-hal seperti itu.
Lalu Anda temukan bahwa Musa a’laihissalam memiliki kekayaan yang banyak, tapi dia datang di siang bolong untuk menolong yang miskin dan butuh. Karena itulah dia muncul ke kota.
“Hiini ghoflatin min ahlihaa.” (QS Al-Qasas ayat 15)
Pada saat yang lain sedang tidur, karena bagi Musa a’laihissalam adalah ilegal untuk menolong bani Israil sebagai seorang Mesir, khususnya seorang pangeran. Tapi dia pergi saat semua orang tidur, dan melakukan kegiatan sukarelanya.
Di pihak lain Anda melihat gambaran sebaliknya. Anda lihat Qaruun, “Khoro ja’alaa qoumihii fii ziinatihii.” (QS Al-Qasas ayat 79)
Dia datang ke kota kepada kaumnya dengan bergaya, memperlihatkan kekayaan yang dia miliki, kendaraan yang dia pakai. Dan masyarakat melihatnya seraya berkata, “Yaa laita lanaa mitsla maaa uutiya qooruun.” (QS Al-Qasas ayat 79)
Aku berharap memiliki apa yang dimiliki Qaruun, seandainya aku punya apa yang dia punya.
Dia ingin orang-orang iri dengan statusnya. Jika Anda bandingkan, Qaruun bisa dikatakan tidak punya jika dibandingkan dengan Musa. Dia (Musa) secara harfiah adalah anak emas Fir’aun. Jadi jika ingin mempertontonkan kekayaan, Musa lebih layak untuk mempertontonkan kekayaan. Tapi dia tidak melakukannya, dia malah sukarela melayani kaumnya.
Pada pihak lain ada Qaruun yang punya sedikit, tapi suka pamer. Dan Allah geram kepadanya. Anda perhatikan juga di surat ini ada dua jenis penjahat, ada Fir’aun yang merupakan penjahat luaran, dan Qaruun yang merupakan penjahat yang berada di dalam kelompok kaum muslimin.
Dia berada di dalam kelompok itu, tapi juga digambarkan sebagai penjahat. Anda perhatikan juga bahwa salah satu dari mereka ditenggelamkan ke dalam air, yakni Fir’aun. Dan, “Khosafnaa bihii wa bidaarihil-ardh.” (QS Al-Qasas ayat 81)
Ketika Qaruun ditenggelamkan, dia secara harfiah ditenggelamkan ke dalam bumi. Dan di atas semua ini Anda perhatikan bahwa tentang Fir’aun Allah berkata, “‘alaa fil-ardh,” di bagian awal surat, bahwa dia punya kekuasaan yang sangat tinggi di daratan, dan dia mengangkat kepalanya tinggi-tinggi karena sombongnya di daratan, itulah makna frasa “‘alaa fil-ardh”. (QS Al Qasas ayat 4)
Akar kata yang sama digunakan untuk menggambarkan bagian akhir kisah Qaruun, “Tilkad-daarul-aakhiroh, naj’aluhaa lilladziina laa yuriiduuna ‘uluwwan fil-ardhi wa laa fasaad.” (QS Al-Qasas ayat 83)
Dan kata yang sama muncul kembali, ini adalah rumah penghabisan. Kami membuatnya – artinya rumah syurga – bagi mereka yang tidak menginginkan “uluw”. Akar kata yang sama dengan sikap Fir’aun, mereka tidak ingin menjadi “tinggi” (sombong) dan memperlihatkan keunggulan dan kelebihan mereka di atas yang lain.
“Wa laa fasaadan,” mereka tak ingin menimbulkan kerusakan. Dan kembali kisah ini ditutup dengan komentar terhadap Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Sungguh ini adalah susunan yang hebat.
Bagian Pertengahan Surat Al-Qasas: Keindahan Sistematika Al-Qasas
Sekarang saya ingin memperlihatkan pada Anda apa yang terjadi di tengah surat. Jika Anda ingin memahami bagian tengahnya dengan baik, Anda juga bisa membaginya ke dalam dua bagian. Jadi Anda punya dua bagian pada kedua ujung surat, dan ada dua bagian di tengah. Dan cara untuk benar-benar memahami dalam hal inti dari surat ini adalah – saya akan menggunakan sedikit aljabar untuk membantu Anda memahami jadi saya akan membahas separuh bagian pertama dan kedua.
Pada paruh pertama Anda bisa menganggap susunannya sebagai A-B-A. Apa maksudnya? Pertama Allah akan bicara tentang Quraisy dan alasan-alasan yang mereka kemukakan, akan saya bacakan beberapa di antaranya.
Para Quraisy akan beralasan seperti, “Lau laaa uutiya mitslamaaa uutiya muusaa.” (QS Al-Qasas ayat 48)
Mengapa dia (Nabi) belum diberikan hal-hal seperti yang diberikan kepada Musa? Dia bicara tentang semua hal ajaib yang terjadi kepada Musa, tapi kita belum melihat satu tongkatpun berubah jadi ular? Kita tak melihat air tersibak, lalu mengapa kita harus terkesan dengan Muhammad? Mengapa dia tidak memperlihatkan kepada kita hal-hal mengesankan seperti yang bisa diperlihatkan Musa kepada Fir’aun? Para Quraisy membuatnya jadi alasan. Dan mereka tidak dewasa dalam pendekatannya terhadap masalah validitas atau kebenaran Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.
Dan Allah membandingkan perilaku mereka dengan kelompok kedua yang merupakan kelompok yang tulus di antara Yahudi dan Nasrani yang mendengar pesan Qur’an dan itu menggema dalam diri mereka, dan Allah bicara tentang mereka sebagai orang-orang yang tulus di antara ahli kitab. Dengan mengatakan, “Hum bihii yu’minuun, idzaa yutlaa ‘alaihim qooluuu aamannaa bihii innahul-haqqu min robbinaaa innaa kunnaa min qoblihii muslimiin.” (QS Al-Qasas ayat 52-53)
Kami percaya pada hal ini, ini kebenaran dari Tuhan kami, kami selalu menjadi muslim, kami merasa sudah menjadi muslim bahkan sebelum mendengar hal ini.
Jadi ada pertentangan, ada Quraisy yang buta huruf yang membuat berbagai alasan; kami ingin dibuat terpana seperti Fir’aun mereka tidak sadar bahwa dengan cara itu mereka menjadikan diri mereka seperti Fir’aun. Di pihak lain ada mereka yang dewasa dalam bersikap meski mereka belum muslim, mereka yang mendengar wahyu ini dan sangat tersentuh olehnya sehingga ingin menerima keyakinan ini.
Lalu Dia kembali lagi kepada A, di mana Quraisy kembali beralasan. Kali ini mereka berkata, “In nattabi’il-huda ma’ak,” jika kami mengikuti petunjuk ini bersamamu. “Nutakhoththof min ardhinaa,” (QS Al-Qasas ayat 57) kami akan tercerabut dari negeri ini, kami akan diusir karena orang-orang tidak suka kami berubah keyakinan.
Dan Allah lalu bicara tentang bagaimana Dia memberi mereka berkah, dan ini adalah alasan murahan. Bukan mereka yang melindungi diri mereka sendiri, tapi Allah yang sudah menjaga mereka. Allah berkata, “A wa lam numakkil lahum haroman aaminan yujbaaa ilaihi tsamarootu kulli syai’in.” (QS Al-Qasas ayat 57)
Bukankah Kami sudah mengamankan tempat berlindungmu? Bukankah saat tentara bergajah datang Kami tetap melindungi tempat perlindunganmu itu? Apakah kamu yang memberi perlindungan karena paganisme-mu? Allah-lah yang memberimu perlindungan.
Anda perhatikan paruh pertama ini ada alasan-alasan dari Quraisy, lalu ada orang-orang yang bersikap lebih dewasa terhadap wahyu dengan mencoba mempertimbangkannya. Lalu Dia kembali membicarakan alasan-alasan yang dikemukakan mereka. Inilah yang dimaksudkan dengan susunan A-B-A pada paruh pertama surat ini.
Pada paruh berikutnya, terdapat susunan yang berbeda yakni A-B-A-B. Anda bisa menganggap susunannya seperti A-B-A-B. Saya menekankan hal ini karena saya ingin Anda menghargai bagaimana sistematik dan terpolanya bahasa Al-Qur’an. Ini merupakan tradisi oral (disampaikan dari mulut ke mulut) tapi tersusun dengan sangat indah.
Apa itu A-B-A-B? Dalam A Allah bicara tentang apa yang dilakukanNya untuk kita di kehidupan dunia ini dan bagaimana Dia menciptakan kehidupan dunia yang sementara untuk bisa kita nikmati dan berkah yang diberikanNya kepada kita di kehidupan dunia ini.
Pada B, Dia menggambarkan Hari Pembalasan, hari di mana Dia akan meminta pertanggungjawaban kita terhadap apa yang diberikanNya kepada kita. “Yauma yunaadiihim,” hari di mana Dia memanggil mereka, “Fa yaquulu aina syurokaaa ‘i.” (QS Al-Qasas ayat 74)
Jadi A adalah hadiah dari Allah dan apa yang Dia lakukan di dunia ini, B adalah menyadari bahwa waktunya telah tiba, ini bukanlah cuma-cuma, kamu bertanggung jawab atas apa yang kita peroleh di dunia, dan kamu akan dipanggil dan bertanggung jawab atas berhala-berhala yang kamu sembah.
Lalu Dia kembali kepada hadiah duniawi dengan berkata, -kamu bahkan tidak menghargai bagaimana Allah mempertukarkan malam dengan siang untukmu-,
“Qul a ro’ aitum in ja’alallohu ‘alaikumun-nahaaro sarmadan ilaa yaumil-qiyaamah, man ilaahun ghoirullohi ya’tiikum bidhiyaaa’.” (QS Al-Qasas ayat 71)
Jika Allah menjadikan malam permanen (selamanya) bagimu, Tuhan mana selain Allah yang akan membawa siang? Jika Allah memutuskan untuk menjadikan malam selamanya bagimu, subhanallah. Jadi Allah menekankan kembali kepada hadiah duniawi.
Tebakan Anda benar, selanjutnya kembali kepada B yakni mengingatkan kembali kepada Hari Akhir. Jadi Allah berkata, “Wa yauma yunaadiihim fa yaquulu aina syurokaa’iyalladziina kuntum taz’umuun.” (QS Al-Qasas ayat 62)
Hari di mana Dia memanggil mereka dan berkata di mana sekutu-sekutuKu yang dulu sangat kamu percayai. Mereka-mereka yang kamu asumsikan, “Wa naza’naa min kulli ummatin syahiidan.” (QS Al-Qasas ayat 75)
Dan Kami akan mengambil seorang saksi yang melawan mereka dari setiap bangsa. Akan ada seseorang yang maju ke pengadilan dan bersaksi melawan mereka.
Jadi susunan yang hebat dari surat ini menekankan beberapa hal, dan akan saya akhiri dengan itu. Pertama yang kita pelajari adalah bahwa Qur’an adalah percakapan yang memiliki banyak aspek khususnya ayat makkiyyah. Ada kisah yang diceritakan, namun kita tidak boleh masuk terlalu dalam ke dalam kisah tersebut, karena kita akan kehilangan fakta bahwa ini adalah bagian dari percakapan yang berlangsung dengan orang-orang di dunia nyata.
Nabi shalallahu’alaihi wasallam-lah yang pertama dikeluarkan dari kisah ini, dan kepadanya dikatakan, ngomong-ngomong ini ada oleh-oleh untuk kamu bawa. Kamu tidak duduk di sana, “Wa maa kunta bijaanibil-ghorbiy.” (QS Al-Qasas ayat 44)
Kamu tidak berada di bagian barat gunung saat Allah bercakap-cakap dengan Musa ‘alaihissalam. Kamu tidak berada di sisi kanan gunung Thur. Allah mengatakan -kamu tidak punya akses pada peristiwa ini- Aku memberimu akses kepada peristiwa ini, hargailah bahwa Aku telah memberimu akses.
Dan di bagian akhir saat Nabi kembali dikomentari, “Wa maa kunta tarjuuu an yulqooo ilaikal-kitaab.” (QS Al-Qasas ayat 86)
Kamu tidak berharap untuk memperoleh sebuah kitab, kamu tidak ingin diberi sebuah buku, Akulah yang memutuskan untuk memberimu wahyu, sama seperti Musa yang tidak berharap memperoleh wahyu saat dia mendaki gunung.
Ada paralel yang mencengangkan bahwa Allah tidak membiarkan kita menganggap kisah ini sekedar cerita. Dia ingin kita berpikir tentang kisah ini sebagai sesuatu yang bisa menolong kita di dunia nyata.
Ini ada dalam kisah ini; ibu Musa akan melemparkan anaknya ke sungai, dan Allah berkata, “Innaa rooodduuhu ilaiki.” (QS Al-Qasas ayat 7)
Jangan khawatir, Kami akan mengembalikan dia kepadamu.
Jadi Dia memberikan inspirasi ini ke dalam hati ibu Musa, bahwa bayi ini akan dikembalikan kepada ibunya, jangan khawatir, dia akan kembali. Betapa tidak mungkinnya itu, dia tempatkan putranya di dalam keranjang di sungai,
bisa saja keranjang itu terbalik, membentur batu, atau sejenis predator di sungai akan memangsanya, atau keranjang itu akan bocor, ada banyak sekali kemungkinan. Kalaupun keranjang itu sampai di tepian, bagaimana jika dia remuk saat menepi dengan cepat, bayi sangatlah lembut. Bagaimana dia bisa tahu bayi ini akan selamat?
Yang dikatakan Allah kepadanya – jangan khawatir tentang bayimu, Kami akan mengembalikannya kepadamu – “Rooodduuhu ilaiki.” (QS Al-Qasas ayat 7)
Jadi hal ini terjadi dengan cara yang tidak terbayangkan. Ini adalah rencana Allah vs. rencana manusia, tentunya rencana terbaik dari semua rencana, bukan?
Pada bagian akhir surat, Allah katakan kepada Nabi, shallallahu ‘alaihi wasallam.
“Innalladzii farodho ‘alaikal-qur’aan, larooodduka ilaa ma’aad.” (QS Al-Qasas ayat 85)
Kata yang sama kembali. Yang memberikan mandat Al Quran kepadamu, yang mewajibkanmu untuk menyampaikan Quran, akan membawamu kembali ke tempat di mana kamu seharusnya kembali, dengan kata lain Dia akan memberimu keamanan di tempat yang paling tidak aman bagimu.
Istana Fir’aun di Mesir sebenarnya adalah Ka’bah di Makkah. Tempat menyembah berhala, pusat kepemimpinan dari musuh Nabi, namun tempat ini seharusnya menjadi pusat di mana Allah disembah. Dan Allah berkata, yang memberi mandat Al Quran kepadamu akan membawamu kembali ke sana, dan kamu akan bisa kembali ke tempat itu, -”Ilaa ma’aad”-, tempat di mana seharusnya kamu kembali, jangan khawatir tentang itu.
Sama seperti sang ibu yang dijanjikan bayinya akan dikembalikan, Nabi juga dijanjikan bahwa dia akan kembali ke Makkah. Ini menyinggung fakta bahwa Nabi akan meninggalkan Makkah juga. Terkadang dalam kisah-kisah dalam Quran ada indikasi tentang apa yang akan terjadi.
Saat Musa ‘alaihissalam meninggalkan Mesir dan dia melalui air (laut) ini sebenarnya paralel dengan apa yang akan terjadi dengan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, karena beliau akan meninggalkan Makkah menuju Madinah, dan Allah akan mengamankan jalan yang dilaluinya. Tapi Allah berkata Dia akan membawanya kembali, Aku tahu kamu ingin kembali ke sini, subhanallah.
Dengan ini, sedikit lagi tentang gambaran umum, dari pengaturan yang hebat dan pelajaran hebat yang terkandung dalam surat Qasas. Salah satu hal khusus yang saya sampaikan tentang surat Qasas yang sangat mengena bagi saya adalah kisah Qaruun pada khususnya.
Yang dilakukan Allah adalah menggambarkan Qaruun, kita harus membandingkannya dengan Musa. Seperti apa yang sudah dikatakan tentang Musa – “Wa ahsin kamaaa ahsanallohu ilaika.” (QS Al-Qasas ayat 77) –
Kaumnya mengatakan kepadanya, kamu seharusnya berbuat baik karena Allah sudah berbuat baik kepadamu, dan kamu harus melakukan hal yang sama, kembali dan berbuat baik kepada orang-orang, dan menjadi yang terbaik yang kamu mampu. Ini sebenarnya kontras dengan apa yang telah diraih Musa ‘alaihissalam sewaktu muda, “Wa kadzaalika najzil-muhsiniin.” (QS Al-Qasas ayat 14)
Dia adalah seorang yang ihsan seperti yang disebut sebelumnya dalam surat ini. Jadi kita harus membandingkan dua karakter ini, dan dalam perbandingan itu kita mempelajari banyak hal tentang diri kita sendiri dan belajar begitu banyak kearifan yang muncul di dalam Qur’an.
Semoga Allah azza wa jalla membuat kita menghargai dan mengakui kisah-kisah di dalam Quran, tidak sebagai legenda sepanjang masa, atau fakta sejarah yang menarik, tapi sebagai pelajaran hidup, agar kita semua bisa memperbaiki kehidupan kita.
Barakallahu lii wa lakum, assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.