Saya pernah mengatakan bahwa Islam mengajarkan agar peduli lebih dari dirimu sendiri, ingat? Secara definisi, Islam mengajarkan agar peduli lebih daripada dirimu sendiri.
“Irka’uu wasjuduu, wa’buduu robbakum.” (QS Al Hajj ayat 77)
Seperti yang dikatakan-Nya, “Rukuklah, sujudlah, beribadahlah.”
“Waf’alul khoiro.” (QS Al Hajj ayat 77)
Lakukan kebaikan. Kebaikan menolong siapa? Orang lain.
Sekarang, bila kamu ingin berhasil, kamu harus menolong yang lain. Kamu harus berbuat baik pada yang lain.
“La’allakum tuflihuun.” (QS Al Hajj ayat 77)
Sehingga kamu bisa berhasil.
Bila kamu berbuat baik pada orang lain, itu bukan untuk mereka, tapi untuk siapa? Untuk dirimu sendiri. Jadi kontribusi sukarela kita dalam bentuk apapun sebenarnya adalah usaha untuk membantu diri kita sendiri. Jangan pernah mengingat-ngingat tentang waktu yang kamu berikan untuk masjid, program yang saya bantu pelaksanaannya. Cek yang kamu infakkan ke sekolah atau tempat lain. Dan berkata, “Saya telah membantu mereka.”
Saya hanya membantu diri saya sendiri.
Pada saat saya bilang, “Saya telah membantu mereka.”
Maka pahalanya tidak dihitung untuk saya lagi. Saya tidak bisa kembali ke pada Allah dan bertanya, “Ya, Allah, mana uang yang telah saya infakkan?”
Allah akan menjawab, “Kamu telah mengatakan bahwa kamu yang telah menolong mereka,
kamu tidak bilang kamu telah menolong dirimu sendiri. Kamu tidak bisa mendapatkan keduanya.”
Allah hanya menerima satu niat pada satu waktu. Jadi, bila kamu ingin memberi, apakah itu waktu, uang, usaha, nasehat, sebaiknya hanya mengharap balasan dari Allah. Kamu mengharapkan apapun dari orang lain, Allah tidak suka disekutukan dalam hal niat. Allah sangat cemburu mengenai niat – subhanahu wa ta’ala-. Dia ingin niat menjadi ekslusif. Kamu berniat untuk mendapatkan sesuatu dari selain Allah, apakah itu dirimu sendiri atau orang lain, maka pahalanya hilang.
Banyak organisasi islamis yang bergantung pada donasi. Masjid bergantung pada donasi, sekolah bergantung pada donasi, organisasi dakwah bergantung pada donasi, penerbit bergantung pada donasi.
Pada saat seseorang memberikan cek $30.000, atau semacamnya. Lalu tiba-tiba setan datang dan mengatakan, “Selamat ya!”
“Ngomong-ngomong, bagaimana kalau kamu memberi saran tentang warna karpetnya?”
Bagaimanapun kamu menulis cek yang besar, setidaknya pendapatmu patut didengar lalu kamu memberi saran. Kamu tidak (berniat) memberi saran sebelum menulis ceknya, sekarang tiba-tiba saranmu menjadi $30.000 jauh lebih mahal. Kamu berharap saranmu akan dipertimbangkan dengan serius, kenapa? Karena kamu memberikan sejumlah uang. Sekarang niatmu bukan untuk Allah lagi, tapi hanya agar saranmu lebih didengar, maka hanya itu yang kamu dapat dari sedekahmu. Hanya itu.
Apakah cukup berharga? Coba direnungkan. Sebelum kamu merusak nilai sedekahmu. Dalam hal apapun. Jangan menghubungkan kontribusimu dengan harapan. Bila kamu ingin mengharap, maka mengharaplah kepada Allah. Secara pribadi, bila saya menuliskan cek untuk sedekah, untuk mengingatkan diri saya sendiri, saya tuliskan di atasnya.
“Maa naqosho maa lu ‘abdin min shodaqotin.” (HR Tarmidzi)
“Kekayaan seseorang tidak berkurang bila memberikan sedekah.”
Saya mengingatkan diri saya kepada siapa saya memberikan sedekah. Sebenarnya saya menyimpannya di tabungan akhirat. Dan mengingatkan diri sendiri bahwa uang tersebut bisa diambil setelah mati. Jadi saya tidak berharap untuk mengambil tabungan itu sekarang.
Bila kamu berusaha mengambil tabungan itu sekarang, maka kamu tidak akan mendapatkan apa-apa di akhirat. Saya hanya ingin memastikah bahwa pesan itu sampai kepada kamu semua. Insya Allah ta’ala.