Robbisyroh lii shodrii, wa yassir lii amrii, wahlul uqdatam mil lisaanii, yafqohuu qoulii. Allahumma tsabbitnaa ‘indal mauti bi laa ilaaha illallahu, wallahummaj’alna minalladziina aamanu wa ‘amilusshalihaat watawa saubil haq watawa saubissabr. Aamiin yaa rabbal ‘alamiin.
Tujuan dari khutbah hari ini sebenarnya untuk berbagi dengan Anda bagian dari satu ayat dari surat Al Hadiid. Untuk tujuan itu saya ingin memberikan beberapa konteks. Ayat ini termasuk bagian pertengahan surat Al Hadiid.
Tepat di pertengahan surat Al Hadiid, Allah melukiskan suasana hari pembalasan. Hari pembalasan adalah hal yang sering dibicarakan Allah di banyak tempat dalam Qur’an dan biasanya saat itu Allah juga bicara tentang mereka yang menuju surga, mereka yang percaya (beriman), dan mereka yang menuju neraka atau yang mendustakan.
Namun, pada bagian ini memiliki keunikan khusus, karena Allah tidak membandingkan orang beriman dengan yang tidak beriman, tapi Dia membandingkan mereka yang beriman dengan yang munafik.
“Allahumma la taj’alna minhum.”
Semoga Allah tidak menjadikan kita bagian dari mereka (orang-orang munafik-red).
Allah tidak membandingkan mereka yang beriman dengan yang tidak beriman. Namun membandingkan mereka yang beriman dengan mereka yang ‘merasa beriman’ atau berlagak beriman, atau iman mereka ada tapi tidak berharga di hadapan Allah pada hari kiamat. Inilah para munafik, semoga Allah tidak menjadikan kita bagian dari mereka.
Inilah sebabnya ayat ini sangat penting karena mengajari kita banyak hal tentang cara untuk tidak berakhir pada kondisi tersebut pada hari kiamat.
Cahaya Orang Beriman
Untuk menyimpulkan apa yang terjadi pada ayat ini, Allah ‘azza wa jalla berkata bahwa pada hari kiamat mereka yang beriman saat mereka berdiri, Nabi shallallahu alaihi wasallam akan bisa melihat mereka.
“Yauma tara.” (QS Al Hadiid ayat 12).
Artinya isyarah dari Rasul shallallahu alaihi wasallam, Rasul bisa melihat seluruh ummat.
“Al-mu’miniina wal-mu’minaat.” (QS Al Hadiid ayat 12)
Para lelaki dan perempuan beriman.
“Yas’aa nuuruhum baina aidiihim wa bi‘aimaanihim.” (QS Al Hadiid ayat 12)
Cahaya mereka akan memancar dari depan dan kanan mereka. Artinya, kita punya cahaya yang memancar dari hati kita, dada kita… dan cahaya yang keluar dari tangan (kanan) kita.
Mengapa itu penting? Karena iman Anda dan iman saya, jika tulus kepada Allah dan jika kepercayaan saya kuat, maka ia akan berubah jadi cahaya di hari kiamat. Dan kepercayaan itu membuat saya berlaku dengan cara tertentu. Perilaku saya itu akan berubah jadi cahaya di hari kiamat. Itulah (cahaya dari) perilaku tangan saya.
Jadi Anda punya dua obor pada hari kiamat. Hari kiamat itu gelap, jalan menuju surga sangat jauh dan Anda butuh cahaya untuk mencapainya. Beberapa orang akan punya cahaya yang luar biasa terang. Cahaya mereka bersinar begitu jauh sehingga Nabi shallallahu alaihi wasallam menggambarkannya seperti cahaya yang menyebar dari satu kota ke kota lain. Begitu terangnya.
Yang lain memiliki cahaya yang sangat lemah, mereka masih punya cahaya tapi saking lemahnya mereka hampir tak bisa melihat langkah mereka selanjutnya.
Jadi ada orang-orang dengan kapasitas cahaya yang berbeda. Dan sekarang mereka dalam perjalanan (menuju surga), dan Allah menyelamati mereka karena setidaknya mereka punya cahaya dibanding mereka yang tak punya cahaya, yang tak punya kesempatan masuk surga. Mereka ini tak bisa melihat jalan.
Maka Allah berkata, “Busyrookumul-yauma jannaatun tajrii min tahtihal-an-haaru khoolidiina fiihaa.” (QS Al Hadiid ayat 12)
Kabar gembira bagi kalian semua, (yakni) kebun-kebun yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Kebun-kebun (surga) itu tepat di hadapanmu. Teruslah berjalan, teruslah melangkah.
Orang Munafik Tak Punya Cahaya
Namun pada ayat berikutnya Allah menggambarkan sekelompok orang yang juga bangun di hari kiamat lalu mereka menyadari bahwa mereka tak punya cahaya dan mereka berada di tengah kegelapan.
Lalu mereka melihat jauh di depan…, Anda bisa bayangkan gambaran kegelapan total lalu ada sekelompok orang yang sepertinya punya obor. Anda bahkan tak bisa melihat mereka, hanya kerlip cahaya. Lalu Anda sadari bahwa Anda sebaiknya mengejar mereka karena cahaya-cahaya itu semakin meredup (karena menjauh).
Jadi para munafik ini bangun dalam suasana gelap pada hari kiamat, lalu mereka berusaha lari mengejar mereka yang beriman, karena mereka tidak punya cahaya sendiri. Mereka bangun dan kaget karena tidak punya cahaya yang bisa menuntun mereka.
Jadi, “Yauma yaquulul-munaafiquuna wal-munafiqootu lilladziina aamanunzhuruunaa naqtabis min nuurikum.” (QS Al Hadiid ayat 13)
Pada hari di mana para lelaki dan perempuan munafik akan berkata pada mereka yang beriman,”Tunggu kami.”
“Berhenti! Lihatlah ke sini ke arah kami!”
“Kami bisa memperoleh sebagian cahaya kalian.”
“Naqtabis min nuurikum.” (QS Al Hadiid ayat 13)
“Iqtibas” secara harfiah dapat digambarkan sebagai meminta api dari sebuah obor yang menyala. Jadi mereka berpikir dapat meminjam sebagian api mereka tanpa mengurangi cahaya mereka.
“Tunggu sebentar! Tolonglah kami di sini!”
Lalu sebuah suara terdengar, “Qiila irji’uu waroo’akum.” (QS Al Hadiid ayat 13)
“Berbaliklah, di belakangmu! Balikkan punggungmu!”
“Faltamisuu nuuroo.” (QS Al Hadiid ayat 13)
“Carilah seberkas cahaya! Kami takkan membantu!”
Hari kiamat adalah hari di mana seorang ibu tidak peduli dengan anaknya. Hari di mana Ayah dan anak, kakak dan adik. Semua hubungan ini (digambarkan), “Taqoththo’at bihimul-asbaab.” (QS Al Baqarah ayat 166)
Semua hubungan ini putus. Jadi siapa yang peduli dengan siapa?
“Aku cuma ingin ke surga, uruslah urusanmu sendiri! Saya takkan berbalik. Berbaliklah dan cari cahayamu sendiri!”
Dan maksud dari berbalik juga adalah sebuah sindiran.
Kembalilah ke dunia ini, karena pada hari kiamat jika Anda tidak datang dengan cahaya maka Anda tak bisa memperoleh sedikitpun cahaya. Satu-satunya cara untuk memperoleh cahaya itu adalah di dunia ini.
“Faltamisuu nuuroo.” (QS Al Hadiid ayat 13)
Jadi sekarang mereka masih berusaha mengejar, karena mereka tak mau mendengarnya, jadi masih berusaha mengejar dan seraya mereka semakin mendekati mereka yang beriman.
“Fa dhuuriba bainahum bisuuril lahuu bab.” (QS Al Hadiid ayat 13)
Sebuah dinding raksasa yang berat dijatuhkan di antara mereka, dinding itu memiliki sebuah pintu
dan pintu itu akan kita bicarakan suatu ketika insya Allah.
Tapi Allah berkata, sebuah dinding raksasa dan berat dijatuhkan di antara kedua kelompok ini. Maka bahkan jika mereka mengejar, sekarang tidak bisa lagi. Segera setelah dinding dijatuhkan Allah berkata, “Baathinuhuu fiihir-rohmah.” (QS Al Hadiid ayat 13)
Sisi yang tak lagi bisa mereka lihat, sisi yang tersembunyi itu yang ada ampunan, cinta, dan sayang Allah di dalamnya.
“Wa zhoohiruhuu ming qibalihil-‘adzaab.” (QS Al Hadid ayat 13)
Dan tepat di belakangnya, mengejar mereka adalah sebuah hukuman.
Jadi tidak hanya bahwa mereka berada dalam kegelapan, sekarang ada dinding raksasa, mereka tak bisa ke mana-mana dan saat menoleh ke belakang ada hukuman yang mengejar. Mereka sebentar lagi akan dilindas.
Jadi para munafik ini, semoga Allah tidak menjadikan kita bagian dari mereka, menjadi putus asa, lalu mereka berseru mereka berkata, “A lam nakum ma’akum.” (QS Al Hadiid ayat 14)
“Tidakkah kami biasanya bersama kalian? Bukankah dulu kami bersama kalian?”
Jadi mereka bertanya kepada orang-orang di sisi lain dinding. Kelihatannya pintunya bisa dibuka dari sisi itu.
“Ayo buka teman, kami dulu biasa bersama kalian!”
Jadi sebuah seruan putus asa mereka lontarkan. Ini penting sebelum kita melangkah lebih jauh. Ini sebenarnya alasan saya memilih ayat ini pada khutbah kali ini.
Pernyataan ini, “A lam nakum ma’akum.” (QS Al Hadiid ayat 14)
“Bukankah kami dulu bersama kalian?”
Intinya bahwa orang-orang ini yang berdiri di sisi dinding yang keliru pada hari kiamat. Berada pada kondisi putus asa yang tak punya cahaya sendiri. Sebenarnya berasumsi bahwa mereka adalah bagian mereka yang beriman. Mereka sangat yakin akan hal itu. Begitu yakinnya sehingga pada hari kiamat berpendapat, “Kami biasanya bersama kalian.”
“Kami sholat, berbisnis, berteman, merupakan keluarga atau sepupu kalian, Kita kuliah di kampus yang sama. Kita sama teman. Bagaimana mungkin kita terpisah hari ini? Mengapa?”
Dan dari sisi lain, sekarang mereka merasa selamat. Anda tahu apa yang terjadi saat dinding dijatuhkan?
Bukan saja mereka ini menjadi sangat takut, tapi mereka yang di sisi lain merasa lebih aman sehingga tak lagi harus terburu-buru. Karena sekarang mereka benar-benar aman. Jadi sekarang mereka bisa santai sehingga bisa menjawab pertanyaan mereka di sebelah.
Mereka berkata, “Ini alasannya mengapa kalian tidak bersama kami hari ini.”
Hal pertama yang disampaikan penghuni surga kepada mereka adalah mereka harus mencari cahaya mereka sendiri.
“Faltamisuu nuuroo.” (QS Al Hadiid ayat 13)
Carilah cahayamu sendiri!
Kembalilah dan ambil, jelas bahwa kalian tak punya cahaya. Lalu mereka dalam keadaan syok, “Kami dulu bersama kalian kami seharusnya punya cahaya seperti kalian.”
Sekarang para penghuni surga akan menggambarkan bagaimana mereka ini yang dulunya memiliki cahaya, sekarang kehilangan cahaya itu. Bagaimana mereka bisa kehilangan cahaya itu? Bagaimana mereka bisa jadi bangkrut di hari kiamat?
Bagaimana Seseorang Bisa Kehilangan Imannya?
Ayat ini terutama sangat dalam karena akan memberi kita pemahaman kepada bagaimana seseorang bisa kehilangan imannya. Bagaimana seseorang berakhir dengan menggadaikan harta yang paling berharga dalam hidupnya yakni iman kita, lalu berakhir dengan menyia-nyiakannya dan kehilangannya.
Ini tidak terjadi dalam semalam. Anda tidak bisa begitu saja kehilangan iman. Ini merupakan sebuah proses yang digambarkan dalam ayat yang abadi ini.
“Balaa.” (QS Al Hadiid ayat 14)
Tentu kalian dulunya bersama kami.
“Wa laakinnakum fatantum anfusakum.” (QS Al Hadiid ayat 14)
Namun kalian menempatkan diri kalian… Akan saya beri arti kasarnya dulu, lalu saya jelaskan…
Pertama, kalian menempatkan diri pada keadaan fitnah, pada cobaan. “Fatana” dalam bahasa Arab berarti menempatkan sesuatu sedemikian rupa untuk di uji.
“Fatana” juga digunakan saat menguji kemurnian emas, emasnya dilebur, lalu kontaminannya keluar. Emas tidak melewati ujian yang mudah, tapi ujian yang menyakitkan dan membakar.
Inti dalam “Fatantum anfusakum.” (QS Al Hadiid ayat 14)
Ada banyak pelajaran yang terkait dengannya, untuk tujuan khutbah ini saya bicarakan satu di antaranya. Anda selalu menempatkan diri dalam kondisi di mana iman Anda diuji.
Coba pahami apa maksudnya… Anda selalu menempatkan diri dalam keadaan yang Anda tahu bahwa itu berdampak buruk bagi Anda.
Tapi Anda berkata, “Saya bisa menghadapinya, saya sanggup…”
Anda selalu memposisikan diri di tengah-tengah teman yang akan melakukan hal buruk, mengatakan hal buruk, melihat hal buruk, pergi ke tempat buruk… tapi Anda berkata, “Saya tidak seperti mereka, saya hanya mencoba menolong mereka…”
Dan Anda selalu kembali kepada lingkungan itu… Anda selalu pergi ke acara kumpul-kumpul, tempat-tempat dan kondisi-kondisi (yang semacam itu).
Anda terus menempatkan diri Anda di tempat-tempat tersebut dengan asumsi bahwa itu tidak akan mempengaruhi Anda. itu hanya mempengaruhi orang lain, bukan Anda….
Mereka ini tidak tiba-tiba saja menjadi pendusta agama, awalnya adalah memiliki teman yang tidak baik. Mereka memposisikan diri dalam kondisi yang patut dipertanyakan. Dan mereka mengira kondisi ini tidak akan berpengaruh pada iman mereka. Saat Anda… saya beri contoh sederhana namun efektif.
Jika orang sering memasak di rumah seperti di rumah Desi (perempuan Asia Selatan -red, yang suka memasak. Rumah itu akan berbau seperti (masakan) masala. Tapi jika Anda tinggal di sana, Anda takkan membauinya. Tapi jika orang lain masuk, khususnya seorang Arab, mereka merasa berada dalam daerah terkontaminasi, mereka sangat terpengaruh namun beberapa jam kemudian mereka akan terbiasa. Hanya seperti oksigen saja sekarang, Anda paham?
Ketika pertama kali Anda masuk ke lingkungan yang buruk, Anda akan bisa merasakannya. Anda merasa ini tidak baik, akan merusak saya. Saya pikir sebaiknya saya pergi, hati Anda akan merasa tak nyaman. Tapi jika Anda terus berada dalam kondisi itu berulang kali, tebak apa yang terjadi… Keadaan itu takkan mengganggu Anda lagi.
Seseorang yang pertama kali terpapar asap rokok, akan batuk, matanya memanas. Tapi jika mereka sendiri mulai merokok setahun kemudian, udara itu akan menjadi oksigen mereka, mereka bahkan tak bisa bernafas lega tanpa merokok. Mereka berubah sama sekali.
Masalah pertama adalah, Anda memposisikan diri Anda di lingkungan yang tidak baik.
“Fatantum anfusakum.” (QS Al Hadiid ayat 14)
Apa masalah kedua? Masalah kedua adalah “Wa tarobbashtum.” (QS Al Hadiid ayat 14)
Anda selalu menunda-nunda.
Apa artinya itu? Artinya Anda sadar itu buruk, dan sadari betul bahwa Anda harus berubah, tapi Anda bilang pada diri Anda, “Saya akan segera berubah insya Allah. Saya akan berubah, saya tahu saya harus berubah, saya sadar ini buruk… hanya satu minggu lagi, lalu saya akan menjadi orang yang berbeda…”
“Memang semester ini saya punya teman-teman yang kacau sekali, saya tak mungkin membuat teman-teman saya marah, jadi saya akan tetap berkumpul dengan mereka, tapi semester depan saya akan lakukan jadwal yang berbeda. Saya takkan berada di antara mereka lagi, biarkan saya selesaikan semester ini dulu…”
“Hanya sebulan lagi saja saya lakukan ini… hanya satu akhir pekan lagi… hanya satu-dua pesta lagi… hanya satu-dua gelas minuman lagi…”
Dan Anda terus berkata sebentar lagi dan lagi dan lagi… Dan favorit saya adalah… “Ramadhan tinggal sebentar lagi, hanya sepuluh-sebelas bulan lagi, begitu Ramadhan datang saya akan berubah sama sekali.”
“Saya berencana pergi haji, begitu saya berhaji lihat saja, saya akan menjadi orang yang berbeda. Tapi sebelum itu, berdoa sajalah untuk saya.”
“Tarobbashtum.” (QS Al Hadiid ayat 14)
Kamu tidak ingin berubah sekarang, saat ini… Anda asumsikan bahwa tak hanya memasukkan diri Anda ke dalam lingkungan buruk, Anda tidak siap melakukan perubahan saat ini, terlalu berat tuntutan itu. Anda lebih memilih untuk meneruskannya sedikit lagi.
Inilah “Wa tarobbashtum.” (QS Al Hadiid ayat 14)
Dan Anda mengira bahwa… ini juga ada asumsinya. Asumsi pertama, hal ini tidak mempengaruhi Anda. Tidak ada dampaknya buat Anda, tapi sebenarnya ada. Sesuatu yang sangat buruk menjadi normal bagi Anda, Anda menjadi tidak sensitif.
Apa dampak dari tarabbus, selalu menunda-nunda? Anda mengira bahwa Anda bisa menghentikannya sewaktu-waktu, dan menjauh dari semuanya kapan saja Anda mau…
Saya tidak kecanduan, saya tak butuh ini… Saya tidak terikat padanya, saya bisa pergi kapan saja saya mau… Sesungguhnya bukan demikian, Semakin lama Anda di sana, semakin kecanduan dan semakin tidak mungkin bagi Anda untuk lepas darinya. Anda benar-benar telah tenggelam di dalamnya, Anda tak tahu lagi bagaimana rasanya berada di luar situasi ini.
Lalu Anda mulai mengatakan pada diri Anda, “Sudah terlambat bagiku.”
Jika ini terjadi, rasa bersalah akan muncul. Rasa bersalah bahwa saya sungguh telah cukup rusak.
“Saya sudah berdosa selama ini, sudah berada dalam kondisi ini… Saya seharusnya sudah lama bertobat, sekarang sudah terlambat.”
Dan tak seorang pun suka merasa begitu buruk. Tak ada yang senang merasa bersalah. Lalu syaitan masuk dan bertanya, “Mengapa kamu merasa bersalah?”
“Kamu tidak harus merasa bersalah, satu-satunya yang membuatmu merasa bersalah adalah soal Islam ini… Islam mengatakan ini haram, itu haram, ini dosa, itu dosa… Kamu tidak boleh begini, tidak boleh berkata begitu, tidak boleh ke sana, Islam selalu membuatmu merasa bersalah teman, aku ingin membuatmu merasa senang. Sebenar apa sih Islam itu?”
Lalu pikiran ini mulai berkecamuk di dalam kepala lelaki atau wanita ini, “Mengapa saya harus mengikuti Islam? Sepertinya Islam hanya membuat saya tidak bahagia. Saya cuma ingin menjalani kehidupan saya, saya ingin bebas. Saya hanya ingin melakukan apa yang saya inginkan. Saya hanya ingin berkumpul dengan teman-teman saya. Sebenarnya saya juga tak yakin dengan Qur’an. Bagaimana kita bisa tahu bahwa ada Tuhan? Bagaimana bisa tahu? Apa sih yang dimaksud oleh hadits? Bagaimana kita tahu hadits itu otentik?”
Jadi lelaki atau wanita muda ini. Zainab, Ali, Fathimah, Abdullah, Karim ini… Pemilik nama-nama indah ini mulai mempertanyakan tentang… “Saya tak begitu yakin dengan Islam ini, saya tak tahu… Saya ragu, sungguh ragu…”
Dan mereka ini bukan pemegang PhD dalam bidang filsafat, atau punya pendidikan mumpuni dalam bidang sejarah, di mana mereka mempelajari Islam lalu mulai meragukannya… Mereka berada pada lingkungan yang buruk, mereka tidak merubah dirinya.
Begitulah prosesnya, saya sudah bicara dengan ratusan orang seperti ini, yang benar-benar hidup seperti yang dibicarakan ayat ini. Mereka sampai pada titik di mana mereka mulai ragu. Tapi keraguannya tidak punya hubungan dengan logika.
Faktanya, saat Anda menjawab keraguan pertama, mereka akan bertanya selanjutnya, selanjutnya, dan selanjutnya… Lalu Anda berkata, “Sebentar, jadi berapa lama sudah Anda berada dalam pertemanan yang dipertanyakan ini?”
Lalu kebenaran mulai muncul… “Wartabtum.” (QS Al Hadiid ayat 14)
Kalimat selanjutnya… “Apakah kamu mulai ragu?”
Kamu mulai meragukannya. Apa yang dihasilkan keraguan? Ini akan membuat Anda merasa bebas dari kesalahan, Anda akan bisa berkata pada diri sendiri, “Ini bukan kebenaran yang sesungguhnya, jadi seharusnya saya tidak merasa berdosa jika tidak mengikutinya.”
Sekarang, setelah keraguan itu merasuk, dan Anda bersembunyi di belakangnya, dan berlanjut menjalankan hidup Anda dalam penundaan dan memasukkan diri Anda dalam fitnah.
Ketika Anda mencapai titik itu, maka dua hal diambil dari Anda. Keinginan memperoleh surga diambil, keinginan membuat Allah senang juga diambil, keinginan memperoleh cahaya itu, yang membuat Anda berlari ke tujuan, takkan Anda miliki di dunia ini.
Orang yang ingin mencari keberhasilan dengan Allah, Allah akan memberikan pada mereka di dunia ini. Tapi keinginan itu sudah musnah sekarang. Anda sudah meragukannya, dan rasa takut akan neraka telah hilang.
Kedua hal itu sudah lenyap; rasa takut lenyap, dan harapan serta aspirasi pada Allah di hari kiamat juga hilang. Masa setelah mati tak ada artinya buat Anda. Jika ada seseorang membicarakan surga dan neraka, itu hanya sebuah guyonan bagi Anda.
Jika Anda menafikkan surga dan neraka, jika Anda menghilangkan motivasi untuk berakhir dalam penghargaan Allah, atau menyelamatkan diri dari hukuman Allah di akhirat. Maka satu-satunya motivasi yang tersisa adalah semua hal yang tertinggal di dunia ini bukan?
Anda tak punya apa-apa lagi di kehidupan selanjutnya. jadi hal yang diharapkan hanyalah apa saja yang ada di kehidupan ini. Artinya uang, ketenaran, liburan, kesenangan, semua materi. Hanya itu yang Anda pikirkan, yang Anda pedulikan, satu-satunya yang ingin Anda ketahui, yang menarik buat Anda, satu-satunya hal yang Anda usahakan, karena Anda kira semua ini akan memberi kebahagiaan, akan memberi ketenangan.
Kalimat berikutnya, “Wa ghorrotkumul-amaaniyyu.” (QS Al Hadid ayat 14)
Harapan palsu menipu Anda. Anda punya harapan palsu, bahwa benda-benda duniawi akan memberi Anda kebahagiaan. Dan Anda mengejarnya… Anda korbankan seluruh hidup Anda untuk itu. Dan berpikir bahwa inilah yang Anda cari, namun ketika mendapatkannya seperti orang-orang yang terobsesi dengan film yang akan beredar, mainan atau gadget yang akan dirilis, bukan? Antrian film Star Wars terbaru lebih panjang dari antrian paspor haji.
Mengapa? Karena Anda perlu menontonnya, jika tidak menontonnya bagaimana hidup Anda akan punya tujuan? Hidup Anda tak berarti jika tidak menonton pemutaran perdananya, bukan? Jadi Anda harus menontonnya, dan ngomong-ngomong seraya berharap ini akan memberi Anda semacam pemenuhan yang belum Anda temukan dimanapun. Dan orang-orang keluar dari bioskop dan berkata, “Itu hebat sekali…”
Lalu mereka kembali bosan, “Apa yang harus saya lakukan sekarang?”
“Mungkin saya nonton lagi saja?”
Lalu mereka kembali menonton, meski tak semenarik sebelumnya, namun… masih cukup keren. Anda selalu mencari sesuatu yang lebih untuk memenuhi memuaskan Anda, karena hal yang benar-benar akan memuaskan Anda yakni kesenangan dari Allah, sudah tidak ada lagi. Keinginan itu sudah tak ada lagi.
“Wa ghorrotkumul-amaaniyyu hattaa jaa’a amrulloh.” (QS Al Hadiid ayat 14)
Hingga keputusan Allah datang. Seperti inilah hidup Anda dahulu menurut mereka yang beriman, adalah kesimpulan dari kehidupan seseorang yang sudah kehilangan imannya. Mereka mulai hanya dengan menempatkan diri mereka dalam lingkungan yang dipertanyakan, dan dari sana seperti turunan spiral, secara otomatis hal berikutnya adalah Anda mulai terikat di dalamnya, Anda mulai menunda-nunda ibadah, kemudian mulai muncul keraguan, dari sana, satu-satunya hal yang Anda usahakan adalah pemenuhan duniawi yang penuh nafsu dan materi. Keinginan materi.
“Wa ghorrokum billaahil-ghoruur.” (QS Al Hadiid ayat 14)
Lalu Allah berkata, “Penipu paling ulung.”
“Ghoruur” adalah mubalaghah. (Ghoruur salah satu ekspresi mubalaghah (hiperbola). Artinya (orang) yang paling menipu. -red)
“Penipu paling ulung telah berhasil menipu Anda.”
Inilah yang dikatakan mereka yang beriman kepada para munafik di seberang dinding. Ini adalah adegan yang luar biasa, saudara-saudara. Mereka berdiri dibalik dinding dalam kondisi syok.
“Mengapa kami tidak berada di seberang sana?”
Dan sekarang mereka diingatkan oleh teman-temannya yang beriman di seberang sana, “Ingatkah kalian ketika melakukan ini, ini, dan ini?”
Dan ini adalah hadiah dari Allah bagi Anda dan saya. Hadiah dari Allah bahwa adegan menyeramkan ini sudah digambarkan pada hari kemudian. Karena saya lebih memilih untuk tahu sekarang daripada nanti.
Saya lebih memilih untuk tidak berdiri di sana dalam kondisi syok. Mengapa saya berada di sisi dinding yang salah? Mengapa saya tidak di seberang sana? Mengapa saya tak punya cahaya? Mengapa saya kehilangan hal yang sudah diberi Allah pada saya?
Setiap Anda yang duduk di sini, semua yang beriman, memiliki cahaya dalam hatinya. Allah telah memberikannya bagi kita. Masalahnya adalah apakah Anda dan saya mau menjaganya atau tidak?
Jadi Anda dan saya harus mengidentifikasi posisi kita sekarang mungkin kitalah orang-orang yang mulai menempatkan diri pada kondisi fitnah. Mungkin kita baru saja membuat diri kita terjebak dalam hal yang salah. Atau kita sudah terjebak beberapa lama, menunda-nunda, melepaskan iman kita. Mungkin ini sedang terjadi. Mungkin bahkan sudah lebih jauh dan sekarang mulai muncul keraguan. Mungkin sudah sejauh itu. Mungkin kita sudah terlalu jauh.
“Ghorrotkumul-amaaniyyu hattaa jaa’a amrulloh.” (QS Al Hadiid ayat 14)
Sekarang tujuan hidup kita adalah mainan dan kesenangan. Hanya itu saja, hiburan semata. Kita sudah menjadi seperti itu. Jadi, pada akhirnya, tak satupun yang kita peroleh, berharga di hari kiamat, kecuali cahaya itu.
Inilah mengapa saat bagian ini dimulai, Allah azza wa jalla menggambarkannya dengan cahaya. Dan cahaya itu adalah satu-satunya hal yang berarti di hari kiamat.
“Illaa man ata rabbahu bi qolbin saliim.” (Sepertinya ustadz NAK hendak mengatakan, “Illaa man atalloha bi qolbin saliim.” QS Asy-Syu’ara’ ayat 89 -red)
Orang yang menghadap Allah dengan hati yang hidup (bersih), hati yang bisa memancarkan cahaya ke depan mereka. Semua hal lain yang Anda dan saya miliki yang kita miliki saat ini, tidak berharga. Sama sekali tidak berharga dihadapan Allah pada hari kiamat.
Anda bisa menikmatinya saat ini, tapi jika Anda terjebak di dalamnya dan hal itu memenuhi hati Anda, maka Anda tak punya ruang tersisa dalam hati Anda. Anda tak punya sisa ruang lagi. Itulah sebabnya ayat terakhir dari bagian ini adalah,
“Fal-yauma laa yu’khodzu mingkum fidyatuh, wa laa minalladziina kafaruu, ma’waakumun-naar, hiya maulaakum, wa bi’sal-mashiir.” (QS Al Hadiid ayat 15)
Dan pada hari ini, takkan ada kompensasi atau tebusan yang bisa diterima darimu, Jangan coba untuk menggadaikannya untuk hal apapun. Tak ada akses menuju pintu-pintu itu. Tak ada cara menembus pintu-pintu itu dengan apapun penalti atau pembayaran apapun, kamu tak bisa menembusnya. Tidak darimu, dan tidak dari mereka yang mendustakan.
Hal yang paling menakutkan dari ayat ini adalah,
“Laa yu’khodzu mingkum fidyatuh, wa laa minalladziina kafaruu.” (QS Al Hadiid ayat 15)
Anda sekarang berada dalam posisi yang sama dengan mereka yang kafir. Anda berakhir pada posisi yang sama dengan para pendusta. Aku takkan menerima tebusan apapun darimu, dan Aku takkan menerima tebusan apapun dari mereka. Kamu semua, tempatmu adalah di neraka.
“Wa bi’sal-mashiir.” (QS Al Hadiid ayat 15)
Betapa buruknya untuk berakhir di tempat itu.
Cara Memelihara Cahaya Iman
Jadi pada akhirnya, setelah melukiskan adegan ini, Allah menyimpulkan dan juga saya simpulkan dengan ayat ini. Bagaimana caranya untuk memelihara cahaya kita? Dan terus mengingatkan diri untuk tidak menempatkan diri kita pada turunan spiral itu? Dan seberapapun kecilnya cahaya yang kita miliki, bagaimana cara mengobarkannya menjadi lebih kuat?
Allah azza wa jalla sendiri berkata, “A lam ya’ni lilladziina aamanuu antakhsya’a quluubuhum lidzikrillaah.” (QS Al Hadiid ayat 16)
Belumkah datang saatnya bahwa hati mereka yang beriman. Seharusnya penuh dengan rasa takzim (sangat hormat) dengan mengingat Allah. Sungguh-sungguh mengingat Allah, akan menumbuhkan takzim di dalam hati. Dan semakin hati Anda mengingat Allah, karena Allah sendiri adalah,
“Nuurus-samaawaati wal-ardh.” (QS An Nur ayat 35)
Allah adalah cahaya di langit dan bumi. Semakin Allah berada di hati Anda, semakin banyak cahaya di hati Anda, paham? Jadi Dia berkata, “Ingatlah Allah.”
Bagaimana mengingat Allah? Ini disebut Athaf bayaanan dalam bahasa Arab.
“Wa maa nazala minal-haqq.” (QS Al Hadiid ayat 16)
Dan mereka seharusnya penuh dengan takzim karena apa yang muncul dari kebenaran. Karena wahyu, karena Qur’an. Renungkanlah Qur’an, ingatlah Allah melalui Qur’an. Menangislah saat membaca ayat Qur’an, pikirkanlah apa artinya bagimu, hadiah dari Allah untukmu, karena Allah bukan saja cahaya di langit dan di bumi. Qur’an sendiri juga digambarkan sebagai cahaya.
Dalam Qur’an, “Fa aamiinuu billaahi warosuulihii.” (QS At Taghabun ayat 8)
“Wan-nuur, alladzii andzalna.” (QS At Taghabun ayat 8)
Berimanlah kepada Allah, dan Rasul-Nya, dan cahaya yang Kami turunkan. Qur’an sendiri disebut cahaya.
Jadi banyak waktu yang Anda luangkan dengan buku Allah, adalah untuk keuntungan Anda sendiri. Saat Anda duduk, membacanya, dan merenungkannya, saat Anda memikirkan apa yang dikatakan Allah, Tuhan Anda, kepada Anda.
Itulah yang akan memenuhi hati Anda dengan cahaya, dan tak ada harta yang lebih berharga dalam hidup Anda daripada cahaya itu. Dan Anda, saya, takkan menyadari betapa berharganya hingga kita semua berdiri pada hari itu, ketika di sekeliling kita hanya kegelapan, dan satu-satunya cahaya adalah yang keluar dari dada kita, dan cahaya yang keluar dari tangan kita, pada saat itulah kita menyadari.
“Wa laa yakuunuu kalladziina uutul-kitaaba ming qabl, fa thoola ‘alaihimul-amad, fa qosat quluubuhum, wa katsiirum minhum faasiquun.” (QS Al Hadiid ayat 16)
Mereka seharusnya tidak seperti orang-orang yang datang jauh sebelum mereka, yang diberikan buku (kitab) jauh sebelum mereka, dan masa yang panjang berlalu, dan hati mereka menjadi keras.
Mereka memiliki buku (kitab), namun tidak menghargainya. Mungkin saja, menurut Allah, bahwa sebuah bangsa memiliki buku, mereka memiliki buku Allah, ada bangsa sebelumnya yang juga punya buku, mereka punya Taurat, punya Injiil, mereka punya suhuf Ibrahim dan Musa, namun mereka tidak mengambil manfaat darinya, lam yantafi’u minha.
Mereka tidak mengambil manfaat dari buku-buku itu. Mereka tidak menggunakan buku-buku itu untuk mengisi hatinya dengan cahaya. Mungkin mereka gunakan buku itu untuk alasan yang keliru, mungkin mereka mengecilkan arti buku itu menjadi sekedar untuk perayaan.
Mereka hanya menyukai membacanya pada saat tertentu. Itulah artinya buku itu bagi mereka. Atau pada saat perkawinan, mereka meletakkan Qur’an, dan itulah makna Qur’an bagi mereka. Tapi Qur’an tak lagi untuk melembutkan hati mereka, dan inilah tragedi sejarah.
Orang-orang tidak mengambil manfaat dari firman Allah, yang datang untuk melembutkan hati, mempersiapkan manusia untuk menghadap Allah di hari kiamat. Itulah tanggung jawab kita sekarang, tanggung jawab itu ada di pundak Anda dan saya.
Inilah mengapa, “Wa laa yakuunuu kalladziina uutul-kitaaba ming qabl, fa thoola ‘alaihimul-amad, fa qosat quluubuhum.” (QS Al Hadiid ayat 16)
Jadi hati mereka mengeras, hati mereka mengeras, jika hati mengeras tak ada cahaya tersisa di dalamnya. Hati itu takkan memberi Anda apapun di hari kiamat.
“Wa katsiirum minhum faasiquun.” (QS Al Hadiid ayat 16)
Sebagian dari hati itu sudah rusak.
Banyak dari hati mereka itu sudah rusak. Allah azza wa jalla dalam beberapa ayat ini melukiskan salah satu realitas terpenting dalam kehidupan seorang yang beriman. Iman yang Anda dan saya miliki, bukanlah sesuatu yang bisa kita pertahankan.
Cahaya yang sudah diberikan pada kita ini, bukanlah sesuatu yang bergaransi. Hanya karena Anda memilikinya sekarang Anda merasa aman. Jika seseorang memberi salam kepada Anda, artinya Anda seorang muslim.
Anda jawab, “Wa ‘alaikumus salam wa rahmatullahi wabarakatuh.”
Mereka berdua muslim, keduanya beriman menurut asumsi kita, bahwa kita semua memiliki iman dalam hati kita. Namun menurut ayat ini, beberapa orang akan berdiri dalam keadaan syok pada hari kiamat, “Aku kira aku bersamamu, tapi tidak…”
Jadi kita harus menyadari bahwa hal ini bukan otomatis, tidak ada garansi, ini sesuatu yang Anda sendiri harus berusaha menjaganya. Saya sendiri harus berusaha menjaganya. Dan iman Anda takkan menolong saya. Dan iman saya takkan menolong Anda di hari kiamat. Kita akan menjaga diri masing-masing, cahaya kita sendiri.
“Irji’uu waroo’akum, faltamisuu nuuroo.” (QS Al Hadiid ayat 13)
Kembalilah temukan cahayamu sendiri. Begitu saja. Saat ini kita masih bisa bekerja sama satu sama lain, sekarang kita masih bisa menguatkan iman satu sama lain. Tapi pada hari itu takkan ada pertolongan.
Semoga Allah azza wa jalla menjadikan kita termasuk mereka yang menjaga cahaya dalam hati kita. Semoga Allah azza wa jalla tidak menjadikan kita berada pada sisi dinding yang salah. Menjaga kita, keluarga, dan mereka yang kita cintai dari nifaaq (kemunafikan). Semoga Allah menjauhkan hati kita dari menjadi menjadi keras. Dan semoga Allah azza wa jalla menjadikan kita bagian mereka yang selalu merenungkan firman Allah, yang menjadikan hati kita melembut dan dipenuhi cahaya.
Barakallaahu lii wa lakum fil quraanil hakiim, wanafa’ni wa iyyakum bil aayaati wa dzikril hakiim.
Makasih banyak kepada siapapun yang menerjemahkan ini, Jazaakallahu Khoiron katsiron
LikeLike