[Resume] Who Are The People of Taqwa? – Nouman Ali Khan


Sedikit Tentang Kriteria (tafsir QS Ali Imran ayat 133-135)

Mengejar tanpa tahu seperti apa hal yang kita kejar adalah konyol. Begitu juga setiap Ramadhan, ketika kita diperintahkan untuk shaum agar kita bisa meraih predikat taqwa, tapi konyol rasanya jika kita tak tahu seperti apa taqwa itu. Hmm…

TAQWA

Ketika kita membaca Al Qur’an, akan sangat sering sekali kita menjumpai kata:

…taqwa…
…agar kamu bertaqwa…
…disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa…
…pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa…
…dan bertaqwalah kepada Allah…

Ah, dan masih banyak lagi. Mengapa Allah SWT sering sekali menyebutkan kata taqwa?

…Peringatkanlah (mereka) dengan Al-Qur’an…” (QS. Al An’am: 70)

Allah menyebutnya berulang kali agar kita ingat, ingat tentang taqwa. Karena pada dasarnya manusia memang pelupa, lupa akan hakikat taqwa, dan juga sering lupa mengejar dan menerapkan taqwa dalam kehidupannya. Semakin sering kita diingatkan tentang suatu hal berarti ini menunjukkan bahwa kita memang sering melupakan hal tersebut, begitulah mungkin salah satu tujuan Allah mengulang-ulang penyebutan kata “taqwa” dalam firman-firman-Nya.

Salah satu rangkaian ayat yang menyebutkan tentang taqwa ada pada QS Ali Imran ayat 133-135.

وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Ali Imran: 133)

Dalam ayat tersebut Allah menggunakan kata “bersegera” (wa saari’uu). Apa yang kita bayangkan jika kita harus bersegera terhadap sesuatu? Terbatas. Ya, biasanya kita harus bersegera terhadap sesuatu yang jumlahnya terbatas.

Segera dapatkan kaset dan cd-nya di toko kesayangan anda! Persediaan terbatas!

Namun pada ayat ini bukankah Allah memerintahkan kita untuk bersegera pada ampunan dan surga-Nya yang seluas langit dan bumi? Bayangkan, bumi yang luas permukaannya sudah diketahui saja sudah sebegitu luasnya apalagi jika ditambah dengan luasnya langit yang bahkan tak satupun orang yang tahu dimana batasnya. Sangat luas, bukan? Yang, jika Allah mengijinkan, pasti cukup-cukup saja memuat sebanyak apapun manusia. Tapi mengapa kita harus bersegera?

Selain untuk sesuatu yang terbatas, kata bersegera juga biasanya digunakan untuk sesuatu yang penting. Kita akan bersegera untuk sesuatu yang kita anggap penting terutama bagi diri kita. Segera ke atm jika uang habis, segera minum obat jika sakit, dan sebagainya. Oleh karena itu, salah satu hikmahnya, digunakan kata bersegera agar tergambar pada diri kita bahwa ampunan dan surganya adalah sesuatu yang sangat penting. Memangnya ada ya yang tidak ingin bersegera mendapat ampunan dan surga-Nya?

Ah, dan bukankah termasuk enggan bersegera ketika diri selalu menunda-nunda segenap amalan yang bisa menyampaikan kita ke sana?

Masih ada saja segolongan orang yang menunda-nunda mengikuti shaff pertama, sehingga Allah pun menunda keberadaan mereka di dalam neraka.” (Abu Daud, hadits nomor 679)

Selanjutnya, ternyata surga yang seluas langit dan bumi itu tidak disediakan bagi sembarang orang, surga itu hanya disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa. Orang bertaqwa? Yang seperti apa?

(yaitu) orang-orang yang berinfaq, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS Ali Imran: 134)

#1 Orang-orang yang berinfaq, baik di waktu lapang maupun sempit.

الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ

Allah di sini menggunakan kata infaq bukan amwaal. Kata amwaal hanya berarti harta yang bersifat benda sedangkan infaq adalah segenap potensi yang kita punya, baik itu harta, waktu, pikiran, energi, prioritas, masa muda, kebahagiaan, bahkan segenap kecenderungan dan perasaan. Itulah yang Allah minta untuk kita berikan di jalan-Nya.

Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS At Taubah : 111)

#2 Dan orang-orang yang menahan amarahnya.

وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ

Dalam ayat ini Allah menggunakan kata “kadzim” yang diterjemahkan sebagai “menahan”. Pada suatu penafsiran, kata “kadzim” yang sering diterjemahkan sebagai “menahan” (restrain) sebenarnya lebih tepat diartikan sebagai “menelan” (swallow). Menelan amarah? Kenapa menelan?

Coba bayangkan, jika seseorang sedang mengunyah makanan apakah kita bisa tahu kalau dia sedang mengunyah makanan? Ya, biasanya proses mengunyah akan gampang terlihat dan diketahui orang lain. Tapi menelan? Sulit bagi kita untuk mengetahui seseorang sedang menelan sesuatu atau tidak. Kalau pun bisa mengetahuinya maka kita harus mengamatinya dengan sangat seksama.

Menelan amarah, marah tetapi berusaha untuk tidak menunjukkan rasa marah itu sampai-sampai orang lain bahkan orang yang membuat kita marah pun tak menyadari jika diri sedang marah. Kalau hanya sekedar menahan marah bisa saja kita tetap terlihat marah dan hanya sekedar mengurangi sedikit. Atau sok-sok-an menahan agar terlihat sabar tapi sebenarnya kita ingin tetap membuat orang lain tahu kalau kita sedang marah. Misalnya, katanya ga marah tapi suaranya meninggi. Katanya ga marah tapi banting pintu atau gebrak meja. Katanya ga marah tapi cemberut terus dan mogok bicara.

*Haduh.. saya jadi merasa tersindir >.<

Mengapa kita diminta untuk menelan amarah? Kalau orang yang membuat kita marah itu memang berbuat sesuatu yang salah dan memang perlu untuk diingatkan, ga boleh marah juga?

Hmm, marah sebenarnya adalah fitrah kebaikan. Biasanya kita akan marah terhadap sesuatu yang kita anggap tidak sesuai dengan kebaikan atau nilai kebenaran yang kita anut. Misalnya, kita marah ketika teman kita terlambat datang, itu karena kita menyakini bahwa datang tepat waktu adalah hal yang baik dan benar dan teman kita tersebut telah melanggarnya. Bayangkan jika orang tidak memiliki rasa marah sama sekali, wah, bisa kacau dunia ini.. Yang dimaksudkan di sini bukanlah menghilangkan atau meniadakan rasa marah sama sekali, tetapi yang tidak boleh adalah memperturutkan rasa marah tersebut dan justru perbuatan kita terkendalikan oleh rasa marah tersebut.

Walaupun orang yang membuat kita marah memang bersalah?

Iya, walaupun yang membuat kita marah memang benar-benar bersalah. Kesalahannya memang harus kita ingatkan dan luruskan atau juga mungkin harus dihukum juga. Tapi sekali lagi, tidak dalam kondisi marah. Karena, pertama, seseorang yang sedang marah tidak akan pernah bisa menasehati dengan baik . Perkataannya akan penuh dengan emosi dan bahkan bisa dibumbui kebencian dan kata-kata yang kurang baik. Hal ini akan membuat orang yang kita nasehati tidak akan bisa dengan mudah menerima nasehat itu dan bahkan bisa menolak meskipun isi nasehat itu benar dan baik. Akhirnya, percuma.

Yang kedua, orang yang sedang marah biasanya cenderung tidak bisa berbuat dengan adil sehingga orang tersebut bisa saja terjerumus dalam perbuatan yang dzalim ketika menghukum. Misalnya, seseorang punya kesalahan dengan skala 5 namun karena marah bisa saja kita menghukum orang tersebut dengan skala 10, 100, atau bahkan lebih. Pernah menonton berita kriminal di televisi, kan? Terkadang kita melihat berita yang ironis, seorang ibu membunuh anaknya sendiri atau seorang suami membakar istrinya hidup-hidup- naudzubillahimindzalik- dan ternyata penyebabnya sangatlah sepele. Karena anaknya menangis terus atau istrinya meminta uang untuk belanja. Mengapa perbuatan dzalim seperti itu bisa terjadi? Karena diawali dengan tidak terkendalinya rasa marah.

Jadi teringat kisah Ali bin Abi Thalib RA. Dalam suatu peperangan Ali bin Abi Thalib RA berhasil menjatuhkan musuhnya. Dengan sigap beliau langsung menindih dengan tubuhnya siap dengan pedang terhunus untuk memenggal. Dalam kondisi terjepit musuh Allah tersebut meludahi wajah Ali RA. Seketika itu juga pedang yang sudah siap dihunus diturunkan untuk membatalkan niatnya menghabisi musuh Allah tersebut. Ketika ditanya, “Mengapa engkau tidak melanjutkan niatmu untuk memenggal kepalaku?”

Ali bin Abi Thalib menjawab, ”Ketika aku menjatuhkanmu aku ingin membunuhmu karena Allah akan tetapi ketika engkau meludahiku maka niatku membunuhku karena amarahku kepadamu.

MasyaAllah..

Semua orang bisa marah, itu perkara mudah. Namun untuk marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang tepat, pada waktu yang tepat, dengan cara dan tujuan yang benar lagi tepat, itu tidaklah mudah.” (Aristoteles)

#3 Dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

َ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ

Pada ayat ini, untuk menyebutkan “memaafkan” Allah tidak menggunakan kata “ghafiir” melainkan menggunakan kata “afiin”. “ Ghafiir” memiliki arti hanya memaafkan sedangkan “afiin” (berasal dari kata ‘afia) yang memiliki arti memaafkan dengan cinta. Ya, Allah ingin kita tidak hanya memaafkan, melainkan memaafkan dengan cinta. Memaafkan, entah yang berbuat salah itu meminta maaf atau tidak. Memaafkan, tanpa menyisakan dendam ataupun kebencian.

Terkait memaafkan, jadi teringat kisah Abu Bakar Ash Shidiq RA ketika peristiwa haditsul ifki menimpa putrinya, Aisyah RA. Peristiwa ini terjadi pada tahun ke-5 hijriah setelah perang dengan bani Mustalaq. Setelah peperangan Rasulullah dan rombongannya kembali lagi ke Madinah. Dalam rombongan tersebut turut pula Aisyah R.A. Dalam perjalanan pulang tersebut mereka berhenti di suatu tempat di dekat Madinah. Saat itu malam hari, Aisyah keluar dari sekedupnya untuk suatu keperluan lalu kembali. Tiba-tiba dia merasa kalung zhafar-nya hilang. Dia pun pergi untuk mencarinya dan pencarian itu membuatnya tertahan agak lama. Sementara itu rombongan kembali berangkat dengan persangkaan bahwa Aisyah masih ada di dalam sekedup.

Pada saat itu tubuh wanita ringan-ringan. Mereka tidak suka makan banyak daging. Mereka hanya makan sekepal saja. Maka dari itu, kalaupun aku berada dalam sekedup dan para pengusung mengangkatnya, mereka tidak merasa lebih berat,” demikian ungkap Aisyah.

Mengetahui rombongan sudah berangkat, Aisyah duduk di tempatnya dan berharap sekedup itu akan kembali menjemput hingga ia tertidur. Pada saat bersamaan, lewatlah Shafwan Mu’thil Al Sulami yang juga tertinggal jauh dari rombongan. Betapa terkejutnya Shafwan ketika mendapati istri Rasulullah saw tertidur sendirian. Shafwan pernah melihat wajah Aisyah sebelum turunnya ayat tentang hijab. Dengan refleks ia mengucapkan, “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un, istri Nabi..

Aisyah terbangun dan segera menutupi wajahnya dengan hijab. Aisyah berkata, “Demi Allah ia tak berucap sepatah kata pun kepadaku dan aku tidak mendengarnya mengucapkan sepatah kata pun kecuali istirja.

Dengan hormat, Shafwan mempersilahkan putri kesayangan Abu Bakar ini untuk mengendarai untanya. Shafwan berjalan menuntun unta sampai mereka tiba di Madinah. Orang-orang yang melihat mereka berdua datang segera berbicara dengan pendapat masing-masing. Ah, ternyata “gosip” sudah ada semenjak dulu. “Biang Gosip” kali ini adalah dari golongan kaum munafik yang dipelopori Abdullah bin Ubay bin Salul. Mereka membesar-besarkan berita tersebut hingga fitnah tersebar luas. Jadi terbayang gaya bicara presenter gosip di televisi:

Aisyah, istri Rasulullah yang masih muda belia serta cantik memasuki Madinah bersama Shafwan, seorang pemuda tampan dan gagah..a-pa-kah yang terjadi di antara mereka? Ikuti terus beritanya bersama saya, mengangkat hal yang tabu untuk diperbincangkan, mengungkap fakta secara tajam setajam S****..

Banyak kaum muslimin yang menjadi percaya dengan berita dusta tersebut. Sayangnya, begitu sampai di Madinah Aisyah tidak dapat melakukan “konferensi pers” untuk mengklarifikasi berita bohong tersebut. Sesampainya di Madinah Aisyah jatuh sakit hingga sebulan lamanya. Bahkan Aisyah tidak mengetahui adanya fitnah yang menimpa dirinya.

Tentang hal ini Aisyah bercerita, “Setibanya di Madinah dengan diantar Shafwan, aku jatuh sakit selama sebulan lamanya. Selama itu pula ku tidak mendengar desas-desus terhadap diriku. Namun ada suatu hal yang membuatku sedih bukan kepalang. Aku mendapati seolah Rasulullah seakan berkurang kasih sayangnya kepadaku. Apa yang beliau lakukan kepadaku ketika sakit tidak seperti biasanya. Rasulullah hanya menjengukku, memberi salam, dan berkata, “Bagaimana keadaanmu?” Itulah yang mengherankanku. Aku tidak mengetahui kejelekan yang tersebar kecuali setelah aku sembuh.

Ketika mendengar berita itu, sakit Aisyah semakin parah. Dia pun meminta izin kepada Rasulullah saw untuk kembali pada orang tuanya. Rasulullah saw pun mengizinkan.

Desas-desus itu makin menyebar. Untuk mencegah fitnah yang lebih besar, Rasulullah saw segera memanggil Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid untuk bermusyawarah. Beliau bertanya tentang Aisyah kepada mereka. Usamah meyakinkan Rasulullah saw bahwa Aisyah adalah wanita mulia dan sangat cinta pada Rasulullah saw.

Usamah berkata, “Ia adalah istrimu. Saya benar-benar yakin bahwa Aisyah adalah istri yang setia.

Sementara itu, Ali bin Abi Thalib mengusulkan untuk segera menyudahi peristiwa tersebut dengan menalak Aisyah. Ali berkata, “Wahai Rasulullah, masih banyak kaum wanita yang sanggup menggantikan Aisyah..

Setelah itu, Rasulullah segera mengumpulkan para sahabat dan meminta alasan Abdullah bin Ubay bin Salul, “Wahai kaum muslimin, siapakah di antara kalian yang menyetujui penolakanku terhadap tuduhan yang telah mencemarkan nama baik isriku. Demi Allah, aku yakin istriku bersih dari tuduhan keji yang tidak benar itu. Mereka menyebut seseorang (Shafwan) dan aku hanya mengenal dirinya sebagai orang yang baik-baik. Dia tidak pernah menemui istriku kecuali bersamaku,” demikian sabda Rasulullah saw.

Beliau lalu mengunjungi Aisyah di rumah orang tuanya. Dengan bijak, Rasulullah saw berkata kepada istrinya itu, “Jika engkau tidak bersalah, Allah akan membebaskanmu. Namun, jika engkau benar-benar berdosa, istighfarlah dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya, jika seorang hamba mengakui dosanya dan bertaubat, Allah pun akan menerima taubatnya.

Aisyah menangis tersedu-sedu. Dia berkata, “Demi Allah, aku tidak mendapatkan perumpamaan bagi kasusku ini kecuali apa yang dikatakan Ya’kub, ‘Sabarlah yang paling indah dan hanya Allah-lah tempat meminta pertolongan atas segala tuhan yang dilontarkan mereka.’

Di tengah kebimbangan yang melanda keluarga Rasulullah saw pertolongan Allah pun segera datang. Allah swt menurunkan wahyu yang membebaskan Aisyah dari segala tuduhan. Rasulullah saw bersimbah peluh karena beratnya firman yang beliau terima.

Dengan wajah gembira, beliau segera mengabarkan kepada istrinya, “Hai, Aisyah, bergembiralah. Sesungguhnya, Allah telah membebaskanmu.

Rasulullah saw pun berdiri lalu membaca wahyu yang beliau terima, “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu (juga). Janganlah kamu mengira berita itu buruk bagi kamu, bahkan itu baik bagi kamu. Setiap orang dari mereka akan mendapat balasan dari dosa yang diperbuatnya dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian terbesar (dari dosa yang diperbuatnya), dia mendapat azab yang besar pula.” (QS. An Nur: 11)

Dan ternyata ketika peristiwa fitnah itu menimpa putrinya dan menyebar luas, salah satu orang yang turut menyebarkan berita tersebut adalah Misthah, kerabat Abu Bakar yang tergolong miskin dan selama ini dibiayai hidupnya oleh Abu Bakar. Hal ini tentunya membuat Abu Bakar sangat marah (bayangkan saja, Abu Bakar adalah orang yang paling mencintai Rasululullah SAW. dan ketika peristiwa itu terjadi Rasulullah amat terpukul, terlebih lagi fitnah itu terjadi pada Ummul Mukminin yang tidak lain adalah putrinya sendiri) dan sebenarnya sangat bisa memberikan hukuman pada Misthah. Tapi ternyata Abu Bakar tidak menghukum Misthah, ia hanya bersumpah untuk menghentikan bantuannya terhadap Misthah. Sudah sangat luar biasa bukan mengingat betapa besar kesalahan yang dilakukan Misthah?

Namun ternyata Allah menetapkan standar yang lebih tinggi daripada itu..

Kemudian turunlah ayat,

Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS An Nuur: 22)

Maka Abu Bakar berkata, “Tentu, demi Allah, aku menginginkan agar aku diampuni Allah Ta’ala.

Maka beliau kembali memberi nafkah kepada Misthah yang dulu beliau beri nafkah. Dan beliau berkata, “Demi Allah, aku tidak akan meninggalkan nafkah untuknya.” (HR. Bukhari dan Muslim. Tafsir Al quran Al Azhim, karya Ibnu Katsir rahimahullah).

Hmm, kalau begitu perbandingannya harus diubah. Ketika seseorang berbuat salah terhadap kita, untuk memaafkan jangan membandingkan kesalahan kita terhadapnya tapi bandingkan antara salah orang itu terhadap kita dengan dosa kita terhadap Allah, lebih besar yang manakah?

Ya, maka hendaklah memaafkan dan berlapang dada.

Bukankah kita juga sangat ingin Allah memaafkan kita bagaimanapun besarnya dosa kita ? :’)

#4 Orang-orang yang bertaubat

Sebelum dilanjutkan ke kriteria selanjutnya, tarik napas yang dalam sejenak, haahh.. fiuuh..

Tiga kriteria di awal begitu menohok –bagi saya- dan hampir tampak mustahil bisa senantiasa dilakukan. Senantiasa memberi segala potensi dan aset yang dimiliki di jalan Allah, selalu menelan amarah, dan selalu memaafkan orang lain dengan tulus dan penuh cinta, ah, jika begitu kriterianya apa diri ini bisa jadi orang yang bertaqwa?

Tapi ternyata Allah Yang Maha Pengasih seakan memberi “hiburan” dan harapan di ayat selanjutnya yang juga menjelaskan tentang kriteria orang yang bertaqwa,

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS Ali Imran: 135)

Ayat di atas menyebutkan kriteria keempat dari orang bertaqwa..

Orang bertaqwa bukanlah yang bebas dari dosa, melainkan mereka yang apabila mengerjakan perbuatan keji dan menyakiti diri sendiri segera mengingat Allah dan memohon ampun.

Jikalau seseorang hamba itu melakukan sesuatu dosa lalu dia berkata: “Ya Allah, ampunilah dosaku,” maka berfirmanlah Allah Tabaraka wa Ta’ala: “HambaKu melakukan sesuatu yang berdosa, lalu dia mengerti bahwa dia mempunyai Tuhan yang dapat mengampuni dosa dan dapat pula memberikan hukuman sebab adanya dosa itu. ”

Kemudian hamba itu mengulangi untuk berbuat dosa lagi, lalu dia berkata: “Ya Tuhanku, ampunilah dosaku,” maka Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: “HambaKu melakukan sesuatu yang berdosa lagi, tetapi dia tetap mengetahui bahwa dia mempunyai Tuhan yang dapat mengampuni dosa dan dapat pula memberikan hukuman sebab adanya dosa itu.”

Seterusnya hamba mengulangi dosa lagi lalu berkata: “Ya Tuhanku, ampunilah dosaku,” maka Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: “HambaKu berbuat dosa lagi, tetapi dia mengetahui bahwa dia mempunyai Tuhan yang dapat mengampuni dosa dan dapat pula memberikan hukuman sebab adanya dosa itu. Aku telah mengampuni dosa hambaKu itu, maka hendaklah dia berbuat sekehendak hatinya.” (Muttafaq ‘alaih)

Berbuat kesalahan adalah kekurangan manusia, namun belajar dari kesalahan adalah kelebihan manusia.” (Dekisugi, dalam film Doraemon)

Salah satu “produk andalan setan” untuk menjerumuskan kita adalah rasa putus asa terhadap ampunan Allah atas dosa yang telah kita perbuat. Pernah melakukan suatu kesalahan terhadap seseorang kemudian kita menjadi merasa enggan menemui orang tersebut? Misalnya, kita lupa mengerjakan PR atau tugas sehingga kita merasa enggan bertemu dengan guru kita? Nah, itulah perasaan yang ditimbulkan setan ketika kita berbuat dosa, dia membuat kita enggan memohon ampun dan mendekatkan diri pada Allah. Padahal siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Mau taubat atau nggak pasti ujungnya Allah juga..

😥

Pernah melihat seorang anak kecil yang menangis karena dimarahi oleh ibunya di pasar atau di tempat umum lainnya? Entah karena dia bandel atau rewel atau apalah. Lalu apa yang dilakukan anak kecil itu? Ternyata dia tetap mengikuti ibunya dan bahkan menggandeng tangannya. Karena bagi anak kecil itu, ibunya adalah dunianya, ibunya adalah tempat ia kembali senakal apapun perbuatan yang telah ia lakukan. Seperti itulah yang harus kita lakukan dalam kehidupan, seberat dan sebesar apapun kesalahan kita, kita tetap tak boleh berputus asa dari rahmat dan ampunan Allah. Karena jika bukan pada Allah, lalu pada siapa kita akan kembali?

Ya, begitulah beberapa kriteria orang bertaqwa..dan, walaupun di ayat 132 Allah telah menyebutkan bahwa surga yang seluas langit dan bumi memang disediakan bagi orang bertaqwa, ternyata di ujung pemaparan kriteria orang bertaqwa ini Allah kembali menyebutkan ganjarannya.

Balasan bagi mereka ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga-surga yang sungainya mengalir dibawahnya, mereka kekal didalamnya. Dan (itulah) sebaik-baik pahala bagi orang-orang yang beramal.” (QS Ali Imran: 136)

Jadi, tunggu apalagi?
Mari bersegeraaaa !!! \(^.^)9

***
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a: “Allahumma inni as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina.” (HR. Muslim no. 2721)

Artinya: Ya Allah, aku meminta pada-Mu petunjuk, ketaqwaan, diberikan sifat ‘afaf dan ghina.

An Nawawi –rahimahullah- mengatakan, “’Afaf dan ‘iffah bermakna menjauhkan dan menahan diri dari hal yang tidak diperbolehkan. Sedangkan al ghina adalah hati yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada apa yang ada di sisi manusia.” (Syarh Muslim, 17/41)

#Bonus Taqwa

Apakah jika kita bertaqwa balasannya hanya di akhirat saja? Oh, tentu tidak..serangkaian bonus di dunia telah siap menanti. Di antaranya,

Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hadid: 28)

Rahmat dua bagian, di dunia dan di akhirat. Orang yang tidak bertaqwa hanya akan dapat salah satunya saja (di dunia saja) atau bisa juga tidak mendapatkannya sama sekali (di dunia maupun di akhirat tidak) sedangkan orang yang bertaqwa mendapatkan keduanya! Belum lagi cahaya petunjuk dan ampunan,..masyaAllah..

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqaan dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa) mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al-Anfal: 29)

Al-Furqan: yaitu ilmu dan petunjuk yang dengannya dia bisa membedakan antara hidayah dan dhalalah (kesesatan), hak dan batil, halal dan haram, orang-orang yang bahagia dan orang-orang yang sengsara. Anugerah ini, seperti yang dinukil Ibnu Katsir dari Ibnu Ishaq, adalah menjadi sebab datangnya pertolongan, keselamatan dirinya, dan solusi bagi dirinya dari segala urusan dunia dan kebahagiaannya di akhirat.

Takfir Sayyiat (penghapusan kesalahan) dan Maghfirah Dunub (ampunan dosa). Keduanya, ketika dipisah memiliki makna sama. Namun ketika dikumpulkan, Takfir Sayyiat berarti penghapusan dosa-dosa kecil, sedangkan Maghfirah Dunub yakni penghapusan dosa-dosa besar.

Apabila mereka Telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu Karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar.

Dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah Telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. Ath-Thalaaq: 2-3)

Barangsiapa bertaqwa kepada Allah dengan melakukan apa yang diperintahkanNya dan meninggalkan apa yang dilarangNya, niscaya Allah akan memberinya jalan keluar serta rizki dari arah yg tidak disangka-sangka, yakni dari arah yang tidak pernah terlintas dalam benaknya. (QS. Ath-Thalaq: 2-3 Tafsir Ibnu Katsir)

Diberi jalan keluar, diberi rizki, dan dicukupkan keperluannya oleh Allah. Kurang apa lagi, coba? Dan sekali lagi semua itu CUMA BONUS, balasan utamanya ada di akhirat kelak. Mau? :’)

Tulisan ini dari: Lintang Wahyu Mukti

Sumber referensi:

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s