
Pada suatu pagi hari ada pemandangan yang menarik perhatian saya. Pemandangan yang membuat saya kembali merenungkan, apa yang harus kita punyai untuk mendidik anak. Kejadiannya di masjid Nurul Asri, saat itu saya melihat seorang anak berusia 4 tahun sedang menghafal Qur’an bersama ibunya. Namanya Latifa (nama yg sebenarnya) yang menarik perhatian saya, anak itu menghafal dengan tampak gembira dan antusias, meski sesekali sambil bermain-main. Saya bertanya-tanya, bagaimana membuat anak sekecil itu bisa menghafal Qur’an dengan riang gembira?

Saya melihat ibu Latifa ini sangat sabar membersamai Latifa dalam mengulang bacaan Qur’annya. Sesekali Latifa berhenti dan lebih memilih bermain, ketika latifa memilih bermain, Ibunya tidak memaksakannya. Setelah bermain latifa kembali menghafalkan Qur’an. Kata ibunya, “Namanya anak-anak, kita biarkan saja kalau dia bermain-main. Meski dia bermain, dia masih mendengarkan bacaan saya. Atau terkadang dia bisa berlari-lari sambil membaca hafalan Qur’annya.”
Saya kagum dengan kesabaran ibu Latifa yang tetap bisa menjaga mood baik Latifa terhadap Qur’an. Pertemuan saya denga ibu Latifa membuat saya teringat dengan kajian parenting yang pernah saya ikuti. Secara alami anak-anak akan mengikuti bagaimana cara kita memandang sesuatu. Misalkan orang tuanya memandang mobil mewahnya adalah sesuatu hal yang sangat penting dalam hidupnya. Maka dalam kesehariannya orang tuanya akan tampak sangat protektif dengan mobil mewah tersebut, termasuk meluapkan kemarahannya ketika mobil itu bila tergores, maka otomatis pikiran anak-anak akan tersetting bahwa mobil mewah milik ayah adalah suatu hal yang berharga, jangan sampai tergores!
Saya juga pernah melihat sebuah keluarga, orang tuanya menafkahi kehidupan keluarganya dari hasil meminta-minta. Anak-anaknya sering melihat bagaimana orangtuanya meminta. Hingga anak-anaknya menganggap ‘meminta’ adalah sesuatu hal yang wajar dan biasa saja. Saya melihat tradisi meminta ini dilanjutkan oleh anaknya, bahkan ketika anaknya sudah punya anak lagi. Anaknya menghidupi kebutuhan cucunya dengan meminta juga. Padahal anaknya ini masih muda dan cukup kuat untuk bekerja. Miris rasanya, saya pikir anak SMP pun juga tahu. Menggantungkan hidup pada org lain adalah sesuatu yg memalukan. Tapi keluarga ini merasa biasa saja.
Menurut saya, mendidik anak yang paling efektif adalah dengan mengkondisikan keluarganya terlebih dulu. Bahkan dari jauh-jauh hari sebelum anak itu lahir.
“Tidak apa-apa nilai jelek, bagi ayah ibu yang penting kamu sudah sungguh-sungguh, jujur & bertanggung jawab! Tugas kita itu hanya berusaha, sedangkan hasil bukanlah ranah kita. Kalau kamu sudah sungguh-sungguh dan jujur, bagi ayah ibu kamu itu sudah jadi juaranya, tidak peduli bagaimanapun hasilnya . Tentang penyebab apa yang membuat kita gagal, tidak apa-apa. Kegagalan adalah hal yang wajar dalam kehidupan ini. Bagaimanapun kegagalan juga ada manfaatnya. Kegagalan bisa kita jadikan pelajaran untuk lebih baik kedepannya. Dalam jangka pendek mungkin orang melihatnya jelek, namun jangka panjangnya ini akan membuat kamu mempunyai karakter yang baik. Kalau kamu sudah punya karakter baik seperti jujur dan bersungguh-sungguh, kamu nanti akan bisa ahli dalam hal apa saja. Kalau kamu berbuat apa-apa, pertama kali yang harus kamu lakukan adalah berpikir, apakah itu adalah sesuatu yang membuat Allah rido? Jika kamu yakin Allah rido, maka itu adalah hal yang baik untukmu.”
Semoga Allah mampukan agar kelak kita bisa menjadi org tua yg baik, Aamiin.. [Arkandini Leo]
Tulisan ini dari Arkandini Leo dan bersumber dari blognya di Jalan Penghapal.
Reblogged this on Assalamu'alaykum Reader.
LikeLike