Sekarang, Adh Dhuhaa…kita mulai dengan izin Allah Ta’ala dengan studi mengenai surat itu sendiri. Konteks turunnya ayat ini adalah. “Yudzkaru annahu inqothoal wahyu ayyaaman.“
Judul Asli: [Illustration] Your Lord Has Not Forsaken You | Lesson Surah Ad-Duha
Video Asli: https://youtu.be/ed9Q3x4hO5k
Disebutkan bahwa turunnya wahyu terputus selama beberapa hari.
“Fahazana ArRasulu shallallahu alaihi wasallam.”
Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam merasa depresi dan sedih karena wahyu berhenti turun kepada beliau. Beliau sangat bersedih.
Hazanan syadiidan hattaa qoola qosama min musyrikiina, “Maa nawaa robbuka illa wadda’aka wa qolaaka.”
Telah berkata sekelompok kaum musyrikin, “Tuhanmu tidak berkehendak kecuali meninggalkanmu.”
Rasulullah benar-benar bersedih karena wahyu berhenti turun selama beberapa waktu. Fathrah (terputusnya wahyu) ini sampai-sampai sekelompok kaum musyrikin, sebagaimana yang disebut oleh Ibnu Katsir radhiallahu anhu, di antaranya istri Abu Lahab yang memulai melemparkan komentar bernada mengejek, yang intinya mengatakan, “Kami melihat bahwa Tuhanmu mengucapkan selamat tinggal padamu.”
“Wadda’aka.”
“Tuhanmu akan mengucapkan selamat tinggal dan menelantarkanmu. Dan Dia tidak senang padamu.”
“Wa qolaa ka.”
“Wadda’aka, bima’na tarokaka” bermakna meninggalkanmu.
“Wa qolaa kaabghodloka wa tarokaka” bermakna marah padamu dan meninggalkanmu.
“Wadda’a” berarti menelantarkanmu dan meninggalkanmu. Dan “Qolaa” yang juga muncul di ayat ini, berarti tidak senang padamu.
Jadi sebagian ahli tafsir mengatakan, ayat ini turun untuk menanggapi komentar yang tajam dari kaum musyrikin ini. Sebelum kita melanjutkan lebih jauh, kita pahami dulu skenario sejarah dibaliknya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan pesan ini dan Beliau benar-benar memperhatikan keadaan umat ini.
Kita harus menghargai beratnya beban yang ditanggung oleh Rasulullah dipundaknya. Dan saya sengaja menyebutkan ini karena di surat selanjutnya, Allah menyebutkan tentang beban ini. Allah Azza wa Jalla akan menyebutkan tentang “Wizr” (QS Al Insyirah ayat 2).
“Wizr” berarti beban di atas pundak Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Tiada nabi lagi datang sesudah Beliau. Jadi jika Beliau tidak menyampaikan ajaran ini dengan baik. Tidak hanya kaum Quraisy yang dimusnahkan, tapi keseluruhan umat manusia turut dimusnahkan.
Ini adalah tekanan teramat berat yang harus ditanggung Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Jadi ketika Beliau menyampaikan ajaran ini dan orang-orang tidak menerimanya, bukannya Beliau mengeluhkan tentang orang-orang yang tidak mau menerima ini. Justru Beliau mengkhawatirkan apakah dirinya sudah berbuat benar. “Mungkinkah ada yang salah dengan cara dakwahku?”
Jadi Beliau hampir-hampir saja menyalahkan dirinya sendiri. Dan Allah Azza wa Jalla terus mengatakan padanya, “Ini bukan kesalahanmu, kamu tidak perlu khawatir. Kesalahan terletak pada orang-orang ini.”
Jadi Allah terus menenangkan Rasul-Nya, tetapi kaum musyrik menggunakan kesempatan ini, ketika beberapa minggu atau beberapa hari wahyu tidak turun. Mereka berkata,
“Oh, tidak ada ayat baru hari ini?”
“Tidak ada surat baru hari ini?”
“Oh, aku kira Tuhanmu sudah tidak suka lagi padamu.”
Dan mereka tertawa terkikik satu sama lain. Mereka pikir itu lucu dan mereka membuat pernyataan yang mengejek Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Kata-kata mereka tidak hanya memberatkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, tetapi juga menimbulkan pikiran yang menghantui benak Beliau shallallahu alaihi wasallam bahwa mungkin,
“Mungkin saja memang aku melakukan suatu kesalahan.”
“Mungkin itulah sebabnya mengapa wahyu tak lagi turun.”
“Mungkin itulah sebabnya mengapa wahyu tak lagi datang.”
Salah satu manfaat mengetahui makna sumpah di awal surat ini (Demi waktu Dhuha) adalah Allah bersumpah demi waktu matahari sepenggalahan naik (waktu Dhuha). Waktu Dhuha adalah waktu di mana ada aktivitas. Waktu fajar (Al-Fajr) adalah waktu pagi buta di mana orang baru mulai bangun tidur.
Waktu Dhuha adalah masa penuh hiruk pikuk kesibukan. Jam macet di jalan raya. Semuanya bergerak. Di masa inilah kehidupan penuh kesibukan, aktivitas dan segala macam pergerakan. Itulah waktu Dhuha. Allah bersumpah dengan waktu ini dan kita sudah menyebutkan tentang ini sebelumnya. Cahaya matahari bisa menghangatkan tapi juga bisa menyengat/membakar. Agak lebih siang, sinar matahari bisa lebih panas menyengat dan menyakitkan.
Tapi di waktu Dhuha matahari bersinar dengan lembut menghangatkan dan menenangkan dan memberi semangat hidup. Allah bersumpah dengan matahari yang menenangkan di waktu Dhuha dan pelajaran yang bisa kita tarik dari situ adalah paralel dengan wahyu yang turun pada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika wahyu turun pada Beliau, seperti cahaya matahari yang menenangkan jatuh atasnya. Penuh daya hidup. Sekarang kita beranjak ke sumpah selanjutnya.
Tapi sebelum itu mari kita melihat lagi sebuah bukti di dalam Al-Quran bagaimana Allah berkata tentang waktu Dhuha.
“Wa an yuhsyaro annaasu dhuhan.” (QS Thaahaa ayat 59)
Manusia berkumpul di waktu Dhuha. Bahkan Al-Quran menyinggung fakta bahwa manusia sibuk dan terburu-buru di waktu Dhuha. Ada sebuah paragraf singkat dari Dr. Fadhil Shalih Al-Samara’i yang akan saya baca dan terjemahkan untuk Anda.
“Wa qod aqsama allahu ta’aalaa bidhdhuhaa wallayli idzaa sajaa.”
“Allah telah bersumpah demi waktu Dhuha dan demi malam apabila telah sunyi.”
Allah bersumpah demi waktu pagi yang menenangkan dan demi malam yang tenang dan tanpa kehidupan. Kita lihat lagi apa yang dikatakannya.
“Wa humaa al-waqtaan fii muntaharriqoh ‘alaa nafsil basyariyyah.”
Dia menambahkan komentar refleksi tentang hal ini. Dia mengatakan bahwa kedua waktu ini amat penting dari sisi psikologis bagi kepribadian manusia, bagi jiwa manusia.
Ishlahiy berkomentar lebih jauh tentang ini. Anda tahu, kedua waktu ini sangat bertolak belakang.
Allah menyinggung tentang kedua waktu ini untuk menggambarkan perbedaan emosi dan situasi yang dihadapi manusia.
Terkadang hidup itu susah, terkadang mudah. Terkadang ada kegembiraan, terkadang ada kesedihan. Kadang ada kemudahan, kadang ada kesulitan. Kadang ada relaksasi, kadang ada rasa sakit. Mungkin Anda akan berpikir,
“Mengapa tidak selalu ada kemudahan?”
“Mengapa tidak selalu ada masa tenang?”
Tapi jika Anda berpikir, Anda akan belajar bahwa seperti halnya malam dan siang. Malam ketika benar-benar sunyi adalah waktu ketika binatang dan manusia dapat beristirahat dan tidur. Itu adalah bagian penting dari kehidupan untuk melewati kegelapan.
Jadi yang kita pelajari dengan menarik kesimpulan adalah melewati kesukaran hidup adalah bagian dari hidup itu sendiri. Keniscayaan hidup. Dan kita harus melewatinya karena ada sesuatu dalam kepribadian kita. Ada suatu potensi/ kualitas baik yang ditempatkan Allah dalam diri kita yang tidak akan tergali dan tidak akan berkembang kecuali bila ditempatkan dalam situasi sulit.
Contohnya, sabar. Bila hidup selalu mudah, Anda tidak akan pernah belajar untuk bersabar. Ini adalah potensi kebaikan yang telah Allah tanam dalam diri kita. Tapi potensi itu hanya keluar, hanya bermanifestasi, dalam keadaan yang sulit.
Rasa syukur. Hanya ketika sesuatu yang Anda punyai diambil baru Anda mensyukuri apa yang Anda punya. Dan ketika kau memliki sedikit, maka kau akan tetap bersyukur dan terus mengasahnya. Jadi bahkan dalam masa sulit sekalipun ada keberkahan.
Pagi hari membawa cahaya matahari yang menenangkan, memberi kenyamanan dan rasa tenang. Malam membawa ketenangan dan mematikan, dia sunyi dari pergerakan, dan membuat depresi. Jadi keduanya punya peranan masing-masing dan punya efek tersendiri bagi manusia.
– Wisam Sharieff membaca surat Adh Dhuhaa –
Aku memohon perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Demi waktu matahari sepenggalahan naik, (QS Adh Dhuhaa ayat 1)
dan demi malam apabila telah sunyi (gelap), (QS Adh Dhuhaa ayat 2)
Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu. (QS Adh Dhuhaa ayat 3)
Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan). (QS Adh Dhuhaa ayat 4)
Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas. (QS Adh Dhuhaa ayat 5)
Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu? (QS Adh Dhuhaa ayat 6)
Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. (QS Adh Dhuhaa ayat 7)
Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. (QS Adh Dhuhaa ayat 8)
Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. (QS Adh Dhuhaa ayat 9)
Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya. (QS Adh Dhuhaa ayat 10)
Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan. (QS Adh Dhuhaa ayat 11)