Assalamu’alaikum semuanya. Pada Tur Teluk, saya menerima sejumlah surat dan ini salah satunya. Saya seorang non-muslim yang bekerja di Kuwait beberapa tahun ini. Saya sangat dekat untuk memeluk Islam karena kagum pada kolega muslim saya yang saleh dan berniat menikah dengannya.
Judul Asli: What Are the Rights of the Wife? – NAK – Gulf Tour Q&A
Video Asli: https://www.youtube.com/watch?v=C1XVLo9c8Tw
Saya ingin belajar lebih jauh tentang Islam. Lelaki yang saya sukai berasal dari Pakistan dan untuk mengenal budayanya saya berbincang dengan kolega wanita saya yang menikah dengan keluarga Pakistan.
Saya mempelajari Islam dalam Al Qur’an, yang mana hak seorang istri sangat mengagumkan dan penuh kesetaraan. Tapi, saat saya lihat kehidupan teman wanita saya, banyak sekali pekerjaan yang harus dia kerjakan kedua mertuanya dan suaminya juga memaksa dia mengurus ibu mertuanya.
Si ibu mertua sering menyiksa dirinya dengan buat pertengkaran antara pasangan ini. Selain itu, kakak iparnya juga memperkerjakannya setiap saat seperti seorang pelayan.
Suaminya sangat tegas. Saya melihat banyak ketidakadilan, terutama saat sang suami mengancam untuk meninggalkannya jika dia tak mau dengar dan lakukan apa yang mertuanya inginkan.
Jika seperti ini Islam, maka saya ragu untuk memeluk Islam. Apa nasihat Anda?
Ini bukan kali pertama saya mendapat pertanyaan seperti ini. Ada banyak sekali yang bertanya pada saya tentang hak-hak wanita, khususnya yang berhubungan dengan mertua. Ini topik yang rumit, tapi saya mau menjelaskan beberapa dasarnya agar semua bisa mengerti.
Bagi penanya, pertama, saya berterima kasih atas pertanyaan Anda. Masalah ini tak hanya bermanfaat untuk Anda, tapi juga untuk yang lainnya.
Pertama, menurut Islam, di dalam setiap hubungan yang kita punya ada rangkaian hak dan tanggung jawab. Saya, sebagai contohnya, sebagai lelaki punya kewajiban kepada istri saya, begitu juga sebaliknya. Saya juga punya kewajiban kepada orang tua saya, begitu juga mereka kepada saya. Saya punya hak-hak atas mereka. Prinsipnya adalah Anda tak bisa biarkan salah satu hak dari hubungan-hubungan ini diterapkan secara tidak adil atas hak orang lain. Bagaimana Anda menyeimbangkan semua ini?
Secara khusus, kita sedang bicarakan tentang seorang suami, istri dan mertua. Sebagai anak lelaki kepada orang tuanya, saya harus patuh, hormat, berlaku baik dan lakukan apa pun yang diminta oleh mereka. Kecuali jika permintaan mereka di luar Islam atau untuk tak menaati Allah, saya tak berkewajiban patuh kepada mereka, dalam masalah apa pun.
Akan tetapi,istri saya harus menghormati mereka, berlaku sopan sewajarnya kepada mereka, tapi tak harus mematuhi mereka. Untuk saya yang berharap istri saya untuk melayani orang tua saya sesungguhnya adalah ketidakadilan bagi istri saya.
Dia harus melayani orang tuanya. Dia punya orang tuanya sendiri. Mereka ini bukan orang tua dia, tapi orang tua Anda.
Pada kenyataan, pertalian darah berbeda dengan pertalian pernikahan. Sebagai suami, berharap sang istri untuk melayani orang tua Anda adalah bentuk ketidakadilan. Secara Islam, ini tidak diperbolehkan. Pada kenyataannya, Islam tak berikan sanksi untuk ini.
Ada pendapat bahwa Anda harus selalu patuh pada suami. Pendapat ini tak sepenuhnya benar. Kita tak harus patuh pada manusia mana pun dengan alasan ‘apa pun perkataannya’. Bahkan saya tak dapat mematuhi orang tua saya dengan ‘apa pun perkataan mereka’.
Jika ayah saya meminta untuk ambil pinjaman pendidikan berbunga, saya tak akan bisa mengambilnya. Itu adalah ketidaktaatan kepada Allah. Saya tak kan lakukan itu.
Pada kenyataannya, kadang Anda harus tidak mematuhi orang tua Anda karena rasa hormat, (yakni) saat mereka keterlaluan/tidak masuk akal. Terkadang harus terjadi. Saat ayah Anda meminta Anda untuk ambil pinjaman walau bukan yang berbunga atau berbisnis yang Anda tahu akan gagal, Anda yakin tidak akan berhasil. Tapi, dia minta Anda menaruh seluruh isi tabungan Anda untuk bisnis itu. Anda tak dengarkan ayah Anda pada saat itu bukan ketidakpatuhan kepada ayah Anda. Tak begitu caranya.
Pada kenyataannya, kepatuhan kita pada orang tua kita harus realistis, dan tentunya ketidakpatuhan kita kepada mereka bukan tidak dengan rasa hormat. Jika situasinya sulit untuk kita, kita tetap harus patuh pada mereka. Walaupun sulit untuk kita, tapi jika sangat tak beralasan atau buat orang lain menjadi sulit, seperti contoh yang diberikan, misalnya.
Jika saya kehilangan seluruh tabungan atau aset saya dalam bisnis yang mereka minta saya lakukan yang saya tahu akan gagal. Saya tidak hanya lakukan apa yang mereka mau tapi, saya akan buat anak dan istri saya berada dalam kesulitan. Saya akan buat orang yang bergantung pada saya berada dalam kesulitan. Mereka bisa minta saya lakukan apa saja, tapi mereka tak boleh biarkan saya berlaku tak adil pada yang lain. Tak begitu caranya.
Ada keluarga yang memaksa si suami untuk miliki satu rekening di mana kedua orang tuanya sebagai pemegang rekening bersama, dan sang istri hanya menerima 20 dolar per minggu. Tak begitu juga caranya. Anda tak bisa lakukan itu.
Istri Anda, ketika Anda menikahinya, Anda mengambilnya dari ayahnya untuk jadi walinya. Anda sekarang punya tanggung jawab yang dulu dipikul ayahnya. Sekarang dia diperlakukan seperti warga kelas dua di rumah. Sebagai pelayan orang tua atau kakak perempuan Anda atau orang lain. Ini sangat tidak masuk akal. Kita akan dipertanyakan masalah ini di hari perhitungan nanti.
Di samping itu, ada pandangan lainnya. Pada pandangan Anda, menantu dijadikan sebagai pelayan, sangat tidak masuk akal. Tak bisa diterima dalam Islam.
Di samping itu, Anda juga mendapatkan istri ataupun suami yang sangat benci kepada mertua mereka. Tak mau berurusan dengan mereka. Tak mau melihat mereka. Tak mau mereka berkunjung. Aku tak mau kau ke rumah ibumu. Aku tak mau kau bicara dengannya lagi. Aku benci dia, tak tahan dengannya, dan sebagainya. Sangat menjauh dari keluarga sang suami.
Ini juga pandangan ekstrim dan bentuk ketidakadilan. Mereka orang tuanya. Mereka berhak atasnya. Mereka harus bisa bertemu cucu-cucunya dan berkunjung tanpa khawatir bertengkar. Atau Anda terlihat murung dengan kedatangan mereka. Ini ketidakadilan dari sisi Anda.
Seharusnya karena rasa sayang pada suami, paling tidak Anda berlaku sopan pada keluarganya. Kesantunan dan rasa hormat, itu saja. Tapi tak bisa dipaksakan, harus datang dari Anda sendiri.
Hal-hal seperti ini, untuk menghilangkan keterkejutan Anda, adalah sesuatu yang memang lazim dilakukan kepada sesama muslim. Apalagi kepada mereka yang jadi keluarga kita. Kita seharusnya berusaha berlaku sebaik mungkin kepada keluarga kita.
Benar, masalah seperti ini terjadi, terutama dalam keluarga besar, yang situasinya pasti rumit. Pada kebudayaan lain, khususnya kebudayaan Desi (*India, Pakistan, Bangladesh -red), inilah yang kami tekankan, seperti semua tinggal di bawah satu atap, dan keuangan dikelola oleh orang tua, menantu perempuan harus lakukan banyak hal agar jadi istri yang baik.
Keadaan ini tak berhasil bagi banyak keluarga, dan jika tak berhasil, saya bukan menyarankan para wanita untuk memutuskan tali pernikahan, tapi hal ini harus dibicarakan. Karena ini tidak islami.
Jika Anda sepakat untuk melakukannya, jangan bersembunyi dengan beralasan ini yang diinginkan Islam. Bukan itu yang diinginkan Islam, itu yang diinginkan keluarga Anda. Anda harus buat kesepakatan sebagai keluarga.
Allah Azza wa Jalla…
“Tsumma latus’alunna yawma idzin ‘anin na’iim.” (QS At-Takatsur ayat 8)
Anda akan dipertanyakan atas semua kenikmatan yang Anda terima. Istri, anak, orang tua yang saya miliki, semua ini adalah kenikmatan yang saya terima dan harus saya perlakukan dengan baik.
Saya berdoa agar semua ini bantu meringankan persoalan, bahwa ini berhubungan dengan Islam. Tak ada hubungannya. Ini berhubungan dengan budaya dan perlakuan tertentu terhadap wanita yang tidak dibenarkan oleh kitab suci Allah dan juga oleh sunnah nabi shallallahu alaihi wasallam.
Barakallahu li walakum. Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Reblogged this on Jiwa Pembuka and commented:
Alhamdulillah..
LikeLike